CEO dingin Ardan Hidayat harus bertunangan dalam tiga bulan demi warisan. Ia memilih Risa Dewi, gadis keras kepala yang baru saja menghancurkan kuenya, untuk kontrak pertunangan palsu tanpa cinta. Tapi saat mereka hidup bersama, rahasia keluarga Risa sebagai Pewaris Tersembunyi keluarga rival mulai terkuak. Bisakah kepura-puraan mereka menjadi kenyataan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ᴛʜᴇ ꜱᴀᴅɪᴇ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan Bersama dan Kebiasaan Tak Terduga
Setelah pesta makan malam di kediaman Tuan Dirgantara, kehidupan Risa di mansion Ardan berubah menjadi rutinitas yang aneh. Di depan publik, mereka adalah pasangan yang serasi, namun di balik pintu tertutup, mereka adalah dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap, terikat oleh selembar kertas dan uang.
Risa telah dipindahkan ke kamar tidur di lantai yang sama dengan kamar Ardan, sebuah kewajiban untuk mempertahankan kepura-puraan mereka di depan para pelayan dan staf. Meskipun mereka tidur di kamar yang berbeda, kebutuhan untuk berbagi ruang yang sama di mansion raksasa itu menciptakan momen-momen yang canggung dan tak terhindarkan.
Suatu malam, Risa sedang mencoba memahami setumpuk dokumen bisnis yang ditinggalkan Ardan di meja ruang tamu. Sejak menjadi 'tunangan,' ia merasa perlu memahami sedikit tentang dunia Ardan, agar sandiwaranya lebih meyakinkan. Tiba-tiba, Ardan masuk, hanya mengenakan celana tidur, rambutnya basah setelah mandi.
Risa refleks menahan napas. Penampilan Ardan yang santai, tanpa setelan jas mahal, menghilangkan sebagian besar aura dinginnya, memperlihatkan sisi Ardan yang lebih manusiawi dan—jujur saja—sangat memikat.
"Sedang apa kau?" tanya Ardan, suaranya sedikit serak. Ia terkejut melihat Risa masih terjaga, apalagi sedang membaca laporan keuangannya.
Risa menutup berkas itu dengan cepat. "Hanya... mencoba memahami ini. Anda meninggalkan ini di sini."
Ardan maju dan mengambil laporan itu. "Kau tidak perlu repot. Tugasmu hanya tersenyum dan hadir."
"Saya tahu. Tapi saya benci terlihat bodoh saat orang berbicara tentang proyek properti," balas Risa. "Dan lagi pula, bukankah Anda harus menjaga rahasia kontrak kita? Jangan tinggalkan dokumen sensitif di mana-mana."
Ardan menatapnya sejenak. Risa memiliki semangat dan kecerdasan yang ia hargai, meskipun ia enggan mengakuinya.
"Kau cerdas. Itu sebabnya kau membuat sandiwara ini lebih mudah," kata Ardan, nadanya datar, tetapi bukan berarti tidak menghargai. "Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kau adalah Risa. Bukan seorang ahli strategi bisnis."
"Dan Anda adalah Ardan. Bukan orang baik," cibir Risa, menyesali kata-katanya begitu kata-kata itu keluar.
Ardan tidak marah. Sebaliknya, ia menyeringai kecil. "Tentu saja. Tapi kau sudah tahu itu sejak kita menandatangani kontrak. Sekarang, kembalilah tidur. Besok pagi kau punya pelajaran bahasa Prancis."
Momen canggung itu berlalu, tetapi sejak saat itu, interaksi kecil mereka mulai meningkat. Ardan mulai menyadari kebiasaan Risa: cara Risa selalu bangun pagi-pagi sekali untuk memasak makanan ringan di dapur besar (ia masih merindukan masakan rumahnya), atau cara Risa selalu meninggalkan secangkir teh panas di meja Ardan sebelum ia berangkat kerja, sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu Nenek Wulan.
Di sisi lain, Risa mulai melihat kebiasaan Ardan yang tak terduga. CEO yang dingin itu ternyata seorang pecandu kerja yang hanya tidur empat jam sehari. Ia juga sangat menyukai musik klasik di pagi hari, dan ia memiliki kebiasaan aneh meninggalkan kancing kemejanya yang paling atas terbuka saat ia sedang berpikir keras.
Suatu sore, Ardan sedang frustrasi dengan masalah proyek yang macet. Ia duduk di kantor pribadinya, wajahnya tegang. Risa, baru selesai dari kelas etiketnya, melihatnya dan merasa ada dorongan aneh untuk membantu.
Ia masuk ke kantor itu dengan membawa dua cangkir teh, bukan kopi.
"Saya tahu Anda suka kopi hitam. Tapi teh ini dari Nenek Wulan. Beliau selalu bilang ini untuk menenangkan pikiran," kata Risa, meletakkan cangkir itu di meja Ardan.
Ardan mengangkat kepalanya, ekspresinya terkejut. "Kau tidak perlu melakukan ini."
"Saya tahu," jawab Risa, bersandar di pintu. "Tapi Anda terlihat seperti akan meledak."
Ardan menatap teh itu sejenak, lalu beralih ke Risa. "Proyek di Makassar. Ada masalah izin yang merugikan kita miliaran. Ini hanya menghabiskan waktuku."
Risa mendekat, tertarik. Ia membaca sekilas berkas di layar Ardan. "Jika proyeknya adalah resor di pantai terpencil, mengapa Anda perlu izin penambangan? Bukankah seharusnya izin konservasi?"
Ardan mendongak, matanya yang tajam menyipit. "Apa yang kau bicarakan?"
"Saya pernah melihat berita ini di koran lama saat saya masih bekerja. Area Makassar itu dulunya sempat diklaim oleh aktivis lingkungan karena ada terumbu karang yang dilindungi," jelas Risa, mengingat-ingat. "Jika Anda meminta izin penambangan, mereka pasti akan menolaknya. Anda harus mengubah strategi izin Anda, mungkin izin pengembangan ekowisata? Itu akan lebih cepat disetujui."
Ardan terdiam. Ini adalah sebuah wawasan yang sederhana, namun brilian, yang dilewatkan oleh seluruh tim pengacaranya. Risa, si gadis pengantar kue, baru saja memberikan solusi bisnis yang berpotensi menyelamatkan proyek miliaran dolar.
"Kau..." Ardan terdiam, mencari kata yang tepat. "Bagaimana kau tahu ini?"
"Saya suka membaca berita. Berita itu tidak hanya untuk orang kaya," jawab Risa dengan bangga.
Ardan bersandar di kursinya, menatap Risa dengan tatapan yang benar-benar berbeda. Tidak ada lagi rasa jijik atau merendahkan. Ada kekaguman yang nyata.
"Kau sangat menarik, Risa Dewi," gumam Ardan. "Jauh lebih menarik daripada yang kubayangkan."
Malam itu, Ardan menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya bersama Risa, bukan karena kewajiban kontrak, tetapi karena ia benar-benar menikmati percakapan itu. Mereka berbicara tentang politik kota, seni, dan bahkan ketakutan Risa tentang kehidupan mewahnya.
Saat mereka berpisah di koridor, Risa kembali merasakan sentuhan Ardan, kali ini di bahunya.
"Terima kasih atas sarannya," kata Ardan. "Dan untuk tehnya."
Risa mengangguk, jantungnya berdebar kencang. Ketika ia masuk ke kamarnya, ia menyentuh bahunya. Risa sadar, kontrak palsu ini perlahan-lahan mulai rusak. Keakraban yang mereka hindari kini tumbuh, dan batas antara sandiwara dan kenyataan menjadi kabur. Risa menyadari bahaya yang lebih besar: ia jatuh cinta pada CEO yang seharusnya ia benci, sementara ia menyembunyikan rahasia yang bisa menghancurkannya.