Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FOKUS ABSOLUT DAN DEKONSTRUKSI DIRI
Dion telah pergi, meninggalkan aroma parfum mahal dan peringatan tentang Serena. Aku duduk di sana, dingin, menyadari bahwa permainan ini bukan lagi tentang melunasi utang, tetapi tentang membongkar jaringan yang diciptakan untuk menghancurkan jiwa-jiwa kritis, dimulai dari Amara sendiri.
Aku memiliki ‘Fokus Absolut’ (Randomizer Skill pertama) dan sekarang, aku memiliki alasan yang sangat pribadi. Amara bukan sekadar tubuh yang harus aku koreksi; dia adalah korban yang harus aku bela.
“Sistem, berikan analisis risiko. Jika aku menonjol di kelas Pak Arka, apakah itu akan mempercepat ancaman dari Serena?”
[RESPON SISTEM]
Risiko Tinggi. Serena (Penjaga Data Kelas S) memantau metrik akademik Amara. Kenaikan performa yang drastis akan memicu deteksi anomali. Namun, menonjol adalah prasyarat untuk mendapatkan aliansi Target 1. Tanpa kredibilitas akademis, Anda tidak akan bisa menyelesaikan Misi Seri 1. Keberanian adalah satu-satunya jalur.
Kinara menarik napas. Keberanian. Baiklah. Aku akan menggunakan kelas Sosiologi Kritis sebagai panggungku. Hari ini, aku tidak akan menjadi Amara si pemabuk. Aku akan menjadi Amara si sosiolog yang dihancurkan oleh sistem, dan Kinara si mesin yang memperbaiki kerusakan itu.
Kelas Sosiologi Kritis, hari Rabu pagi. Suasananya tegang. Pak Arka, dengan kacamata bingkai hitamnya yang khas, berdiri di depan kelas, memegang sebuah artikel koran yang membahas peningkatan kasus perundungan siber di kalangan mahasiswa.
“Kemarin kita membahas Foucault dan mekanisme kekuasaan yang tak terlihat,” Pak Arka memulai, suaranya dalam dan berwibawa.
“Hari ini, saya ingin Anda mendiskusikan: Di kampus ini, yang kita anggap sebagai ‘institusi pencerahan’, di mana letak kekerasan strukturalnya yang paling nyata?”
Seluruh mata tertuju pada Pak Arka. Kemudian, beberapa mata melirik ke arahku—Amara Nasywa—si perwujudan kegagalan struktural, duduk di bangku belakang.
“Silakan, Jatmiko,” Pak Arka menunjuk seorang mahasiswa di barisan depan yang selalu menjawab dengan buku teks.
Jatmiko berdiri tegak. “Menurut Bourdieu, Pak, kekerasan struktural adalah reproduksi ketidaksetaraan melalui habitus. Di kampus, ini terlihat dari mahalnya biaya kuliah, diskriminasi berdasarkan kelas sosial, dan akses terbatas ke sumber daya yang dikontrol oleh elit tertentu.”
Pak Arka mengangguk perlahan. “Jawaban yang sangat textbook, Jatmiko. Anda berhasil mengutip Bourdieu. Tapi, bisakah Anda tunjukkan bagaimana kekerasan itu dirasakan secara individual? Bagaimana kekerasan struktural kampus merobek jiwa seorang mahasiswa?”
Jatmiko terdiam. Ia bisa menjelaskan teori, tetapi ia tidak bisa merasakan trauma.
Pak Arka menyapu pandangannya, berhenti di wajahku. “Amara. Anda biasanya memiliki perspektif yang... unik. Bagaimana kekerasan struktural kampus telah memengaruhi Anda secara personal?”
Aku merasakan adrenalin Kinara bercampur dengan rasa sakit Amara. Ini adalah ujian yang sempurna.
Aku mengaktifkan 'Fokus Absolut'. Seluruh keramaian, suara napas Jatmiko yang tegang, dan tatapan sinis dari mahasiswa lain, semuanya lenyap. Hanya ada aku, Pak Arka, dan pertanyaan yang menusuk itu. Aku memproses diary Amara dan teori Foucault secara bersamaan.
Aku berdiri. “Kekerasan struktural, Pak, bukanlah biaya kuliah. Itu adalah kewajiban untuk bahagia dan berprestasi,” kataku, suaraku terdengar serak tetapi jelas.
Pak Arka mengangkat alisnya, tertarik. “Jelaskan.”
“Kampus tidak hanya menjual pendidikan, Pak. Ia menjual janji bahwa jika Anda mencapai IPK 4.0, memenangkan debat, dan menjadi Ketua BEM, Anda akan menjadi manusia yang berharga,” jelasku, menatap langsung mata Pak Arka.
“Ini adalah mekanisme kontrol yang jauh lebih efektif daripada kekerasan fisik.”
Aku melangkah maju sedikit, menggunakan bahasa tubuh yang penuh keyakinan. “Foucault berbicara tentang panopticon. Kita tidak perlu diawasi 24 jam. Kita hanya perlu yakin bahwa sistem ranking melihat kita, dan kita akan mengatur perilaku kita sendiri. Kita berhenti menjadi kritis, berhenti menjadi kreatif, dan mulai menjadi ‘mahasiswa patuh’ yang sempurna. Itu adalah kekerasan paling brutal: penghapusan identitas diri demi metrik yang steril.”
Kelas hening. Mahasiswa yang tadinya ingin menertawakan Amara kini terpaku.
“Dan apa hasilnya, Amara?” tanya Pak Arka, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut, seolah dia sedang berbicara dengan seorang kolega, bukan mahasiswa bermasalah.
Aku merenungkan isi diary Amara. “Hasilnya adalah kami, Pak. Mahasiswa yang kelelahan. Jika kami gagal mencapai standar, kami tidak hanya gagal ujian; kami gagal sebagai manusia. Jika kami kritis, kami diberi label 'pemberontak' atau 'masalah'. Kami diberi label ‘Antagonis Terbuang’,” kataku, menggunakan gelar yang diberikan sistem padaku.
“Saya adalah hasil dari kekerasan itu. Saya memilih judi online, alkohol, dan IPK 0.9, bukan karena saya bodoh, tetapi karena saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menghancurkan diri saya sendiri lebih cepat daripada yang bisa dilakukan oleh sistem Anda.”
Aku tahu aku menggunakan terlalu banyak detail pribadi Amara, tetapi itu efektif. Itu adalah ‘narasi perundungan’ pertamaku, dan itu datang dari dalam tubuh ini.
Pak Arka menghela napas panjang. Dia tidak tersenyum, tetapi ada kilatan pemahaman yang mendalam di matanya.
“Itu adalah argumen yang sangat kuat, Amara. Anda baru saja mendefinisikan kembali kekerasan struktural dalam konteks kampus ini dengan sangat tajam,” komentarnya, membuatku terkejut. Itu adalah pujian pertama dari Target 1.
“Namun,” lanjutnya, menantang, “apakah Anda yakin bahwa pilihan destruktif Anda itu adalah bentuk perlawanan, atau hanya sekadar pelepasan tanggung jawab?”
“Awalnya pelepasan tanggung jawab, Pak,” jawabku jujur. “Amara memilih jalan itu karena dia lelah melawan saudara angkatnya, lelah melawan ekspektasi orang tuanya, dan lelah melawan kampus. Tapi sekarang, aku menatap tanganku yang menggenggam pena, setelah saya melihat betapa sistem ini bekerja keras untuk memastikan saya tetap di posisi ‘Terbuang’, saya menyadari bahwa kehancuran diri adalah politik. Dan jika itu adalah politik, maka memperbaikinya adalah revolusi.”
Pak Arka bertepuk tangan pelan, hanya dua kali. Cukup untuk menarik perhatian seluruh kelas kembali kepadanya.
“Saya tidak peduli bagaimana Anda tiba pada kesimpulan itu, Amara, tetapi itu adalah esai verbal terbaik yang saya dengar di kelas ini sepanjang semester,” katanya.
“Anda mendapatkan nilai kuis sempurna hari ini. Dan sekarang, saya memiliki tugas khusus untuk Anda.”
Jatmiko tampak menelan ludah. Dion yang baru saja masuk kembali ke kelas setelah dari toilet, membeku di ambang pintu.
“Tugas 10 Narasi Perundungan yang saya berikan kepada seluruh kelas adalah tugas observasi biasa. Namun, saya ingin Anda mengubahnya menjadi studi kasus,” kata Pak Arka, mencondongkan tubuh ke mejanya.
“Saya ingin Anda tidak hanya mengumpulkan 10 cerita. Saya ingin Anda mengidentifikasi mekanisme yang memungkinkan cerita-cerita itu berulang, dan Anda harus menemukan bukti bahwa mekanisme tersebut dilindungi oleh elit kampus.”
Dia tersenyum tipis. “Anda telah membuktikan bahwa Anda mengerti rasa sakitnya. Sekarang, buktikan Anda mengerti anatomi kekuasaannya. Gunakan reputasi Anda sebagai ‘Antagonis Terbuang’ sebagai senjata, Amara. Karena orang yang paling tidak diharapkanlah yang sering kali melihat kebenaran paling jelas.”
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
Misi Harian Selesai: Kuis Sosiologi Kritis (Nilai A). Status Target 1: Arka mulai melihat Kinara sebagai 'Variabel Intelektual'. Pintu menuju aliansi terbuka. Reward Point diterima.
Aku meninggalkan kelas dengan kepala tegak, merasakan tatapan ratusan pasang mata yang kini melihat Amara dengan cara yang berbeda. Aku tidak lagi bodoh. Aku berbahaya.
Kini, aku harus segera menemukan aliansi, seperti yang diperingatkan Sistem. Misi Pak Arka mengharuskan aku untuk berinteraksi dengan mahasiswa lain, terutama mereka yang tertekan oleh BEM.
Aku menuju perpustakaan. Bukan untuk membaca, melainkan untuk mencari target yang tepat. Siapa yang menjadi korban kekerasan struktural, tetapi masih memiliki keinginan untuk melawan?
Aku melihat seorang mahasiswa tahun pertama, duduk sendirian di pojok. Namanya Maya. Dia dikenal sangat cerdas, tetapi akhir-akhir ini sering terlihat murung. Dia sedang memegang laptop, tetapi tangannya gemetar.
Aku duduk di depannya, tanpa meminta izin. Maya terkejut, matanya membelalak melihatku, Amara Nasywa, si hantu kampus.
“Apa yang kau inginkan, Amara?” tanyanya, suaranya pelan dan penuh ketakutan.
“Aku sedang mengumpulkan cerita. Narasi perundungan,” jawabku langsung.
“Kau tampak seperti korban yang baik. Apa yang dilakukan BEM padamu?”
Maya menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. BEM sangat baik. Kak Rendra sangat efisien.”
“Efisiensi seringkali adalah topeng untuk otoritarianisme, Maya,” ujarku, mengutip Pak Arka.
“Aku tahu kau mengajukan proposal reformasi sistem presensi. Dan aku tahu proposal itu ditolak mentah-mentah oleh Rendra (Target 2) di rapat BEM tertutup, bahkan sebelum sempat didiskusikan.”
Maya menunduk, air mata mulai menggenang. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku punya koneksi yang aneh,” aku mengangkat bahu.
“Serena (saudara angkatku) sangat dekat dengan BEM. Aku mendengar banyak hal yang tidak seharusnya kudengar. Dia suka menyombongkan betapa mudahnya ‘mematahkan’ semangat mahasiswa idealis.”
Aku mencondongkan tubuh, memastikan tidak ada yang mendengar. “Dengarkan aku, Maya. Aku butuh ceritamu. Aku butuh bukti bahwa Rendra (Target 2) menggunakan BEM untuk membungkam kritik. Aku tidak akan mempublikasikannya di media sosial. Aku akan menggunakannya untuk tugas Sosiologi Kritisku, yang akan dibaca oleh Pak Arka.”
Maya mengangkat wajahnya, menatapku skeptis. “Mengapa kau peduli? Kau Amara. Kau selalu tertawa di atas penderitaan orang lain.”
“Karena aku sudah membayar utangku pada kehancuran. Sekarang aku harus membayar utang pada jiwa Amara yang lama,” jawabku, suaraku kembali ke nada introspektif.
“Aku tidak memintamu percaya pada Amara. Aku memintamu percaya pada sistem yang sedang aku bangun. Sistem yang memungkinkanmu bersuara.”
Aku mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasku, buku yang sama yang aku gunakan untuk mencatat diary Amara.
“Beri aku ceritamu, Maya. Dan aku akan menjamin proposal reformasimu akan didengar, meskipun aku harus berdebat dengan Rendra secara langsung.”
Maya ragu-ragu sejenak. Akhirnya, dia mengangguk, membuka laptopnya, dan menarik napas dalam-dalam.
“Baiklah, Amara. Ini adalah cerita tentang bagaimana Ketua BEM Rendra, yang semua orang anggap pahlawan, membunuh semangat kritikku dengan cara yang sangat efisien...”
Saat Maya mulai bercerita, aku mencatatnya dengan teliti. Ini adalah Narasi Perundungan kedua (setelah cerita Amara sendiri). Aku merasakan Sistem sedikit bergetar, menyetujui arahku.
Aku sedang membangun aliansi, langkah demi langkah, dimulai dari yang paling lemah.
Keesokan harinya, aku berhasil mengumpulkan total lima narasi, termasuk cerita Maya. Aku merasa sedikit lega, tetapi utang 150 juta itu masih menghantui. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan sampingan.
Aku sedang berjalan melewati papan pengumuman kampus, mencari lowongan kerja yang tidak mengharuskan referensi atau merusak citra, ketika aku melihat pengumuman yang mencolok:
LOMBA ESSAI MINGGUAN DENGAN HADIAH TOTAL 10 JUTA RUPIAH. Tema: Peran Mahasiswa dalam Membangun Ekosistem Bisnis yang Etis.
Sepuluh juta. Itu cukup untuk cicilan utang pertamaku yang harus dibayar minggu depan (Outline Bab 9: Membalas Utang). Dengan 'Fokus Absolut' dan pemahaman baru tentang kritik struktural, aku yakin bisa menang.
Aku tersenyum tipis. Essai yang kritis. Tepat di jalurku.
Saat aku hendak memfoto pengumuman itu, bayangan tinggi jatuh di atasku. Aku berbalik, dan mendapati Pak Arka berdiri di belakangku. Wajahnya serius.
“Amara, kita harus bicara. Saya baru saja dipanggil oleh administrasi kampus,” katanya, menahan lengan bajuku, membawaku ke area sepi di dekat auditorium.
“Kenapa, Pak? Apakah tentang nilai kuis saya yang sempurna itu?” tanyaku, berpura-pura polos.
Pak Arka menggeleng. “Mereka tidak peduli dengan nilai Anda. Mereka peduli dengan argumen Anda tentang ‘kekerasan struktural’. Administrasi kampus merasa Anda, dan mungkin saya, mengganggu narasi 'kampus yang damai'.”
“Apakah Bapak mendapat masalah karena saya?” tanyaku, merasa bersalah.
“Masalah adalah pekerjaan saya, Amara. Tapi ada yang lebih serius,” kata Pak Arka, menurunkan suaranya.
“Saya mendengar kabar burung. Ketua BEM, Rendra, sedang mencari cara untuk menyelenggarakan Debat Internal Fakultas yang wajib dihadiri semua perwakilan angkatan. Tujuannya, bukan untuk diskusi, melainkan untuk membungkam suara-suara kritis.”
“Dan Rendra menargetkan saya?”
“Tidak secara langsung. Tapi Rendra dikenal karena taktik politiknya yang halus. Jika Anda berpartisipasi dan gagal, dia bisa secara sah menyatakan bahwa kritik Anda tidak berdasar, dan itu akan mengakhiri reputasi baru Anda sebelum dimulai.”
Aku menyeringai. Rendra (Target 2) ingin menyeretku ke domainnya: retorika dan politik kampus.
“Saya akan ikut, Pak,” kataku tegas.
“Jika saya ingin membongkar sistemnya, saya harus mengalahkannya di panggung yang dia ciptakan.”
Pak Arka menatapku dengan tatapan campuran antara kekaguman dan kekhawatiran. “Anda benar-benar berbeda dari Amara yang saya kenal, Nasywa.”
“Mungkin Amara yang lama sudah mati, Pak. Dan yang ini, dia tidak punya waktu untuk takut,” balasku.
“Sekarang, Bapak harus membantu saya. Jika saya menang debat, dan memenangkan esai 10 juta itu, saya akan mendapatkan kredibilitas untuk menghancurkan Rendra dan membayar cicilan utang saya.”
Pak Arka terdiam sejenak. “Baiklah. Saya akan membantu Anda mempersiapkan Debat Internal itu. Tapi ingat, Amara. Jika Anda menang, Anda tidak hanya menarik perhatian Rendra. Anda menarik perhatian Serena. Dan saya yakin, dia tidak akan hanya mengirim penagih utang lagi.”
Aku mengangguk. Aku sudah tahu itu. Serena tidak ingin aku hanya gagal; dia ingin aku hancur total.
Aku kembali ke kamar sewa malam itu, sibuk mempersiapkan esai untuk hadiah 10 juta, dan mulai membaca literatur debat. Tiba-tiba, ponselku berdering. Bukan dari sindikat judi, tapi dari nomor tak dikenal.
Aku mengangkatnya. Suara di seberang sana terdengar lembut, manis, namun menusuk.
“Hai, Amara. Lama tidak bicara. Aku dengar kau menjadi bintang di kelas Sosiologi? Kau harus berhati-hati, sayang. Semakin tinggi kau terbang, semakin sakit saat kau jatuh. Terutama jika utangmu sudah mencapai tenggat waktu, dan seluruh kampus tahu kau tidak punya uang untuk membayarnya.”
Itu Serena.
“Kau tidak perlu repot-repot menelepon, Serena. Aku akan membayar cicilan pertamaku tepat waktu,” kataku dingin.
Serena tertawa renyah. “Oh, Amara. Kau selalu lucu. Tapi aku bukan menelepon untuk menagih. Aku menelepon untuk mengucapkan selamat. Selamat atas partisipasimu di Debat Internal Fakultas. Aku dengar Rendra sangat menantikan untuk melihatmu di panggung. Tapi kau tahu, Rendra sangat benci kalah. Dan jika dia merasa terancam, dia akan memastikan kau tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk berbicara lagi.”
Aku merasakan dingin menjalar di punggungku. Serena tidak hanya memantauku. Dia sudah bersekutu dengan Target 2.
“Tentu saja, Serena,” balasku, mencoba mempertahankan nada tenang.
“Aku juga menantikan debat itu. Aku punya banyak hal untuk dibicarakan, terutama tentang bagaimana mahasiswa yang paling berprestasi justru menjadi manipulator paling kejam.”
Hening sejenak di seberang telepon.
“Kita lihat saja siapa yang akan menjadi manipulator terakhir, Amara. Sampai jumpa di kampus.”
Sambungan terputus. Kinara memandang ponsel Amara yang murah itu. Aku tidak hanya akan menghadapi Rendra di debat, tetapi aku juga akan menghadapi Serena yang mengendalikan semua benang di belakang layar. Persaingan ini bukan lagi akademis. Ini adalah perang yang melibatkan seluruh jaringan kekuasaan kampus