Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
persiapan untuk modal
Khusus untuk mahasiswa. Harga lebih murah dari laundry kampus. Tapi jujur, bertanggung jawab, dan kualitas terjamin.
Malam itu, setelah shift selesai dan sampai di kos, Fajar tidak langsung tidur. Ia menyalakan lampu—meskipun harus bayar listrik lebih—dan mulai menulis di buku catatan lusuhnya.
ANALISIS PASAR:
Mahasiswa Universitas Adidaya: sekitar 8.000 orang
Asumsi 30% sering pakai jasa laundry \= 2.400 orang
Rata-rata laundry 3 kg per minggu per orang
Laundry kampus: Rp 10.000/kg
Keluhan: mahal, sering hilang barang, kualitas jelek, lama
SOLUSI:
Laundry kiloan murah: Rp 5.000/kg (setengah harga laundry kampus)
Jujur: ada sistem tanda terima, jaminan barang tidak hilang
Berkualitas: pisahkan pakaian berdasarkan warna, jangan campur
Cepat: maksimal 24 jam selesai
TARGET PELANGGAN:
Mahasiswa yang mau hemat
Mahasiswa yang trauma dengan laundry kampus
Mahasiswa yang menghargai kejujuran dan kualitas
Fajar menulis sampai jam dua pagi. Tangannya gemetar—bukan karena kedinginan, tapi karena excitement yang luar biasa. Untuk pertama kalinya sejak datang ke kota ini, ia merasa menemukan sesuatu. Menemukan jalan keluar. Menemukan peluang.
Ini dia. Ini bisnis yang bisa aku jalankan. Bisnis dengan modal kecil, tapi high demand. Dan yang paling penting—ini bisnis yang punya value: membantu mahasiswa yang butuh jasa laundry murah dan jujur.
Tapi kemudian realitas menohoknya.
Modal.
Ia membuka catatan keuangannya. Uang yang ia punya sekarang: tiga puluh lima ribu rupiah. Gaji minggu depan belum keluar.
Untuk buka laundry, ia butuh:
Mesin cuci: minimal 1 unit \= sekitar Rp 1.500.000 (bekas)
Deterjen, pewangi, dan bahan cuci untuk stok awal \= Rp 500.000
Jemuran, keranjang, hanger \= Rp 200.000
Setrika \= Rp 300.000 (bekas)
Tempat usaha \= ?
Total minimal: Rp 2.500.000 belum termasuk tempat.
Dua juta lima ratus ribu.
Fajar menatap angka itu lama sekali. Jumlah yang sangat besar. Hampir mustahil untuk dikumpulkan.
Tapi... tapi harus bisa. Kalau aku nggak punya modal gede, aku harus kreatif.
Ia mulai menulis lagi:
STRATEGI MENGUMPULKAN MODAL:
Kerja di warung: Rp 175.000/minggu
Hidup super hemat: kurangi pengeluaran maksimal
Target waktu: 4 bulan
Total bisa dikumpulkan: Rp 175.000 x 16 minggu \= Rp 2.800.000
Cukup!
Tapi kemudian ia sadar satu hal yang membuat dadanya sesak:
Kalau aku kumpulkan semua gaji untuk modal bisnis, berarti aku nggak bisa kirim uang ke rumah lagi.
Bayangan wajah ibunya muncul di kepala. Wajah yang lelah tapi bahagia setiap kali menerima kiriman uang darinya. Wajah ayahnya yang hampir menangis karena terharu. Wajah Rani yang tersenyum lebar.
Tapi kalau aku terus kirim uang ke rumah, aku nggak akan pernah bisa kumpulkan modal. Aku akan selamanya jadi buruh. Selamanya miskin.
Fajar menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ini adalah keputusan paling berat dalam hidupnya.
Akhirnya, dengan hati hancur, ia membuat keputusan:
Empat bulan ke depan, aku harus fokus kumpulkan modal. Aku akan kirim setengah gaji aja ke rumah—Rp 75.000 per minggu. Sisanya Rp 100.000 aku tabung untuk modal. Dalam empat bulan, aku bisa kumpulkan Rp 1.600.000. Sisanya... aku cari cara lain.
Ia mengambil ponsel tuanya, mengetik pesan untuk ibunya:
Bu, mulai minggu depan, aku cuma bisa kirim Rp 75.000 per minggu. Maafin aku. Bukan karena aku egois. Tapi aku lagi kumpulin modal untuk usaha kecil-kecilan. Kalau usaha ini jalan, aku janji bisa kirim lebih banyak. Bahkan bisa bawa pulang lebih banyak. Aku mohon pengertian Ibu.
Jarinya gemetar di atas tombol "kirim". Ia tahu ini akan membuat ibunya sedih. Membuat keluarganya semakin susah.
Tapi kalau ia tidak melakukan ini, ia akan selamanya terjebak dalam kemiskinan.
Dengan mata berkaca-kaca, ia menekan tombol "kirim".
Kemudian ia menangis. Menangis keras-keras di kamar sempit yang bau apek itu. Menangis karena merasa seperti anak durhaka. Menangis karena merasa egois. Menangis karena tidak tahu apakah keputusan ini benar atau salah.
Tapi di tengah tangisannya, ada tekad yang membara:
Empat bulan. Hanya empat bulan. Aku harus bisa. Aku harus buktikan bahwa pengorbanan ini nggak sia-sia.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.