NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Garis Perang yang Ditarik

Udara di antara Raya dan Arlan mengental, lebih berat dari beton dan lebih dingin dari es. Kata-kata Raya, "Aku akan memperjuangkan Langit," bergema di dinding keheningan, memantul kembali ke telinganya sendiri dengan getaran yang menyakitkan. Ia menatap Arlan, jantungnya berdebar kencang, menanti. Menanti kehancuran, atau mungkin, sebuah keajaiban.

Tatapan Arlan kosong, jauh, seolah jiwanya telah pergi meninggalkan raganya di sana. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya mengeras. Tidak ada kemarahan yang meledak-ledak, tidak ada air mata yang jatuh. Hanya kehampaan yang mengerikan, yang jauh lebih menakutkan daripada amarah mana pun.

"Arlan?" bisik Raya, suaranya serak. Ia melangkah maju, ingin menyentuh tangan suaminya, mencari kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. Namun Arlan mundur selangkah, seolah sentuhannya kini adalah api yang membakar.

"Kau... kau serius?" Akhirnya, Arlan bicara. Suaranya terdengar asing, parau, seperti seseorang yang baru saja berteriak sekuat tenaga hingga pita suaranya robek. "Setelah semua ini? Setelah kebohongan yang menghancurkan kita, kau masih akan melanjutkannya? Melanjutkan sandiwara ini, Raya?" Ada rasa sakit yang begitu dalam di setiap kata yang keluar, seperti luka menganga yang tidak akan pernah sembuh.

Raya menggeleng, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Ini bukan sandiwara, Arlan. Ini... ini Langit. Anak kita. Anak yang aku besarkan, anak yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Darah tidak akan pernah lebih kental dari sembilan tahun kenangan, Arlan. Sembilan tahun kita sebagai sebuah keluarga." Ia berusaha meraih tangan Arlan lagi, kali ini dengan lebih mantap.

"Keluarga?" Arlan tertawa hambar, suara itu menyayat hati Raya. "Keluarga yang dibangun di atas kebohongan, Raya? Di atas intrik gila Damar? Kau pikir aku bisa melupakan fakta bahwa setiap kali aku memandang Langit, aku akan melihat Damar? Melihat pengkhianatan itu?" Ia menunjuk ke arah Raya, tangannya gemetar.

"Aku tahu ini sulit! Aku tahu ini menyakitkan!" Raya balas meninggikan suara, emosinya memuncak. "Kau pikir aku tidak terluka? Aku yang paling terluka di sini, Arlan! Aku yang harus menghadapi kenyataan bahwa anak yang aku lahirkan ternyata bukan anakku! Aku yang harus hidup dengan bayangan bahwa Damar, mantan suamiku, adalah ayah biologis dari putraku! Tapi rasa sakit itu tidak pernah mengurangi cintaku padanya, Arlan! Tidak sedikit pun!" Raya berlutut di hadapan Arlan, memeluk lutut suaminya erat. "Tolong... tolong mengerti. Aku tidak bisa melepaskannya. Aku tidak akan pernah bisa."

Arlan menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia mencintai Raya. Ia mencintai Langit. Cinta itu kini menjadi belati bermata dua yang menusuknya dari segala arah. Bagaimana bisa seseorang memilih di antara dua cinta yang sama-sama berharga, namun salah satunya datang dengan harga pengkhianatan yang tak terlukiskan?

"Bangun, Raya," kata Arlan, suaranya kini lebih tenang, namun dingin. Raya menolak, masih memeluk lutut Arlan. "Bangun!" Kali ini perintah itu lebih tegas, ada nada putus asa di dalamnya. Raya perlahan bangkit, menatap Arlan dengan mata basah.

"Aku mencintai Langit. Kau tahu itu," Arlan melanjutkan, suaranya kembali parau. "Aku sangat mencintainya. Dia adalah duniaku. Tetapi... ini tidak hanya tentang cinta, Raya. Ini tentang kebenaran. Tentang bagaimana kita akan hidup dengan kebenaran ini. Bagaimana aku bisa memandangmu setiap hari, memandang Langit, tahu bahwa semua ini dimulai dari kebohongan dan manipulasi?"

"Kita akan melewatinya bersama," Raya memohon, tangannya terulur lagi. "Kita adalah kita. Kita sudah melewati banyak hal. Jangan biarkan ini menghancurkan kita, Arlan. Jangan biarkan Damar menang. Jangan biarkan dia mengambil anak kita. Anak yang kita besarkan."

Arlan memejamkan mata, kepalanya tertunduk. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, seolah sedang melepaskan sebagian dari jiwanya. "Aku tidak tahu, Raya. Aku benar-benar tidak tahu. Hatiku... hatiku hancur berkeping-keping. Aku butuh waktu. Aku butuh ruang." Tanpa berkata-kata lagi, tanpa menatap Raya, Arlan berbalik dan berjalan menuju kamar tidur mereka, lalu mengunci pintunya.

Bunyi kunci yang berputar itu menghunjam hati Raya, lebih tajam dari pisau. Ia berdiri terpaku di ruang tamu, sendirian. Suaminya mengunci diri, menguncinya keluar dari kehidupannya, dari hati mereka. Ini adalah konsekuensi pertama dari keputusannya. Namun, tidak ada penyesalan. Hanya rasa sakit yang dalam dan tekad yang semakin membara.

Raya menyeka air matanya dengan punggung tangan, lalu mengambil ponselnya. Tidak ada waktu untuk berlarut dalam kesedihan. Perang telah dimulai, dan ia harus siap. Ia mencari kontak seorang pengacara yang direkomendasikan teman lamanya, seorang wanita tangguh yang dikenal karena kegigihannya dalam kasus hak asuh anak.

"Halo, Ibu Karina? Saya Raya Anindita," katanya, suaranya bergetar namun penuh kekuatan. "Saya perlu bantuan Anda. Ada kasus hak asuh yang sangat kompleks... ya, melibatkan mantan suami dan... yah, ini cukup rumit. Bisa kita bertemu sesegera mungkin?"

Karina menyanggupi pertemuan di keesokan paginya. Raya menghabiskan malam itu tanpa tidur, menyusun setiap detail kronologi, mengumpulkan setiap bukti yang ia miliki, mulai dari hasil tes DNA awal hingga semua percakapannya dengan Damar. Ia harus memenangkan ini. Demi Langit. Demi masa depan yang ia impikan untuk putranya.

Keesokan paginya, Raya tiba di kantor Karina dengan mata sembab namun tatapan mata yang tajam. Ia menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir, tanpa melewatkan detail sekecil apa pun, bahkan hingga kebuntuan hubungannya dengan Arlan. Karina mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat, raut wajahnya serius.

"Ini memang rumit, Bu Raya," kata Karina setelah Raya selesai bicara. "Ada beberapa aspek yang harus kita pertimbangkan. Pertama, status Langit sebagai anak yang terdaftar di akta pernikahan Anda dengan Pak Arlan. Kedua, hasil tes DNA yang mengonfirmasi bahwa beliau bukan anak biologis Anda, namun anak biologis Pak Damar. Ketiga, motif Pak Damar dan bagaimana ia bisa sampai pada dugaan manipulasi ini. Dan yang paling penting, bukti yang kuat tentang kehendak Langit, jika ia sudah cukup dewasa untuk menyatakannya, dan yang utama adalah bukti cinta dan pengasuhan Anda selama ini." Karina menatap Raya dengan ekspresi campur aduk antara simpati dan profesionalisme. "Pertarungan ini akan sangat berat, Bu Raya. Pak Damar memiliki hak biologis, dan itu adalah poin kuat. Kita harus membuktikan bahwa kepentingan terbaik anak adalah bersama Anda, bahwa pemindahan hak asuh akan merugikan psikologis Langit, dan bahwa Pak Damar mungkin tidak pantas menjadi wali utama karena motif manipulatifnya."

Raya mengangguk. "Saya mengerti. Saya siap untuk yang terburuk, Bu Karina. Yang saya inginkan hanya Langit tetap bersama saya. Apakah ada cara untuk meminta tes DNA Langit dengan Damar sebagai bukti di pengadilan? Untuk membuktikan manipulasi Damar?"

Karina berpikir sejenak. "Itu ide yang bagus. Jika kita bisa membuktikan bahwa Pak Damar melakukan manipulasi genetik atau menukarkan bayi, itu akan melemahkan klaimnya secara signifikan. Kita bisa mengajukan permintaan tes DNA kedua di bawah pengawasan pengadilan. Tapi Pak Damar tidak akan diam. Dia pasti akan melawan dengan segala cara." Karina menghela napas. "Kasus seperti ini seringkali menjadi perang habis-habisan." Ia menyerahkan setumpuk dokumen kepada Raya. "Ini adalah beberapa formulir awal dan daftar dokumen yang kita butuhkan. Kita harus bergerak cepat."

Saat Raya meninggalkan kantor pengacara, ponselnya berdering. Nama Damar tertera di layar. Jantungnya berdebar kencang. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri, lalu mengangkat panggilan.

"Halo, Damar," katanya, suaranya tegas.

"Raya. Kudengar kau sudah menghubungi pengacara?" Suara Damar terdengar dingin, penuh kepastian. "Kau benar-benar akan berjuang untuk anak yang bukan darah dagingmu? Untuk anakku?"

"Dia adalah anakku, Damar," Raya membalas, rasa jijik merayap di dadanya. "Dan aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Jangan pernah kau berani berpikir untuk mengambilnya dariku."

Damar tertawa, tawa yang menusuk tulang. "Oh, aku tidak hanya berpikir, Raya. Aku sudah memulainya. Kau akan menerima surat hari ini. Surat dari pengacaraku. Gugatan hak asuh penuh atas Langit. Aku akan mengambil anakku, dan kau tidak akan bisa menghentikanku."

Ponsel terasa dingin di tangan Raya. Gugatan hak asuh penuh. Damar sudah selangkah di depannya. Perutnya mual, namun tekadnya semakin menguat. Ia tidak akan menyerah. Langit adalah miliknya, jiwanya, hatinya.

Ketika Raya tiba di rumah, sebuah amplop cokelat tebal tergeletak di depan pintu, distempel dengan lambang kantor hukum. Surat gugatan dari Damar. Dia tidak main-main. Ini adalah perang yang nyata, dan Raya kini berada di garis depan, sendirian... kecuali jika Arlan entah bagaimana menemukan jalan kembali padanya. Ia melihat ke arah kamar yang terkunci itu, hatinya dipenuhi keraguan. Apakah Arlan akan berdiri di sisinya, ataukah ia sudah kehilangan segalanya bahkan sebelum perang ini dimulai? Pintu kamar tetap tertutup rapat, seolah menyegel nasib mereka di dalam keheningan yang tak terucap.

Sebuah pesan baru masuk ke ponselnya. Dari nomor tak dikenal. "Hati-hati, Raya. Ada lebih banyak kebenongan yang belum terungkap. Damar hanya pion. Ada dalang yang lebih besar." Isi pesan itu membuat darah Raya berdesir dingin. Dalang yang lebih besar? Siapa lagi yang terlibat dalam kekacauan ini? Dan apa lagi yang harus ia hadapi? Pertarungan ini ternyata jauh lebih luas dan berbahaya dari yang ia bayangkan.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!