Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Hilang Ingatan
"S—saya yang sudah menyelamatkan anda. Apakah anda masih ingat sewaktu saya menyelamatkan anda dari dalam sungai? Andai terdampar di bebatuan besar. Jika saja anda tidak bertemu dengan saya kemungkinan besar anda bakalan hanyut terbawa arus, atau mungkin juga nyawa anda tak terselamatkan. Kalau boleh tahu anda ini berasal dari mana?"
Pria itu nampak bingung. Dia hanya memandang ruangan sekelilingnya yang tak seberapa besar, bahkan di dalam ruangan itu tak banyak menyimpan barang-barang rumah tangga. "Jadi nona yang sudah membantuku? Tapi kalau boleh tahu ini rumah anda?" Bukannya menjawab dia malah bertanya mengenai tempat yang kini ditingalinya. Dia benar-benar tak bisa mengingat apapun.
"Ini tempat saya. Tuan belum menjawab pertanyaan saya. Anda bukan orang daerah sini kan? Anda berasal dari mana? Mungkin saya bisa membantu anda untuk mencari tahu tentang keluarga anda?"
Pria itu menggeleng dengan memijit keningnya. "Aku tidak mengingatnya. Aku lupa."
Sari mendelik terkejut. "Hah? Lupa? Maksudnya?"
Kembali pria itu menggeleng. "Aku tidak ingat di mana tempat tinggalku, aku juga bingung kenapa tiba-tiba berada di tempat ini, siapa yang sudah membawaku, dan kenapa aku bisa berada di sungai? Ini benar-benar membuatku bingung!"
Sari tercengang. Bagaimana ia bisa menemukan keluarga pria itu jika tempat tinggalnya saja tak bisa diingat. Mungkinkah pria itu hanya berniat bergurau dan ingin mengambil keuntungan darinya? Tapi apa yang bisa diambil darinya? Kehidupannya saja serba pas-pasan, rumah sudah reyot berbilik bambu.
"Tuan, anda masih mengenal diri anda sendiri kan?"
Kembali pria itu menggeleng. "Tidak nona, saya tidak bisa mengingat apapun. Saya masih bingung!"
"Loh! Kok jadi begini sih? Tapi anda masih ingat sama nama anda kan?"
Lagi-lagi pria itu menggeleng. "Tidak! Bahkan saya tidak mengingat nama saya nona. Saya lupa segalanya!"
Refleks Sari terbelalak. "Apa? Bagaimana bisa begitu? Anda tidak sedang membohongi saya kan?"
"Buat apa aku berbohong! Apa untungnya bagiku! Sungguh aku tidak mengingat apapun!"
Pria itu menarik nafas lelah. Dia berusaha keras untuk bisa mengingat identitasnya tapi hasilnya nihil, bahkan namanya saja dia tidak bisa mengingatnya.
"Ada apa ini?" Sang kakek yang baru saja memasuki rumah langsung menegur Sari yang bersuara cukup kencang menegur pria itu.
"Kakek, dia bilang tidak bisa mengingat namanya! Apakah kakek percaya dengan penjelasannya?"
Pria tua itu berjalan mendekat dengan mengamati wajahnya. Dia mengambil tempat duduk tepat di depan pria asing itu. "Apa benar kau tidak mengingat namamu anak muda?"
Pria itu mengangguk. "Benar kakek, aku bahkan tidak mengenali tempat ini. Nona ini bilang telah menyelamatkanku dari sungai, tapi kenapa aku bisa berada di sungai? Dan aku benar-benar tak sadar saat nona ini membawaku kemari."
"Bohong! Kenapa anda harus bohong Tuan? Anda bahkan meminta bantuan saya, dan akhirnya saya membantu anda dan membawa anda ke rumah kami. Bisa-bisanya anda tidak bisa mengingatnya! Kakek jangan percaya sama dia kek, bisa jadi dia ini berniat untuk menipu kita. Menyesal saya sudah menolong anda! Bukannya berbalas budi malah sok-sokan lupa ingatan. Sebenarnya apa tujuan anda? Sekarang anda sudah sehat, lebih baik anda segera pergi dari sini!"
Sari emosi merasa dibohongi oleh pria itu. Dia tak segan-segan untuk mengusir dari kediamannya. Jauh-jauh membopongnya untuk memberikan bantuan tapi malah dibohongi.
"Sari! Jaga sikapmu! Jangan marah-marah kayak gitu! Dengarkan dulu penjelasannya, siapa tahu saja dia memang hilang ingatan. Kalau niat menolong orang itu jangan setengah-setengah!"
Di situ Rahmat langsung menegur cucunya yang dianggapnya kurang sopan. Dia memang belum mengenal pria itu, tapi melihatnya dalam keadaan terluka sangatlah jahat kalau sampai mengusirnya begitu saja, apalagi pria itu mengatakan bahwa dirinya tak bisa mengingat apapun. Sebenarnya ia juga tak begitu suka ada orang asing berada di rumahnya, tapi demi keprimanusiaan, ia masih berbesar hati untuk memberinya tampungan untuk sementara waktu.
"Tapi kakek!?" Sari mendengus. Dia khawatir pria itu memiliki niatan jahat kepada keluarganya bahkan penduduk di sekitarnya. Banyak sekali modus kejahatan, ia hanya tidak ingin tertipu oleh akal bulusnya.
"Tapi apa? Buang pemikiran burukmu itu! Lebih baik bantu dia! Ayo ambilkan makanan untuknya."
Walaupun tak mengenali sosok pria itu tapi nalurinya mengatakan harus memberinya bantuan, setidaknya bisa meringankan penderitaannya.
"Membantunya makan? Maksudnya aku kakek suruh menyuapinya?"
"Ya iyalah, kamu harus membantunya," jawab Rahmat.
Lagi-lagi Sari mendengus dibuat kesal oleh kakeknya. Di situ kakeknya lebih peduli pada pria asing itu dibandingkan dengan dirinya. "Tapi kakek, dia kan punya tangan, kenapa harus aku yang menyuapinya? Aku sudah buatin dia bubur, tapi bukan berarti aku harus menyuapinya?"
"Lihatlah Sari, tangannya terluka. Dia tidak bisa makan sendiri!"
Sari melirik ke tangan pria itu yang memang terluka dengan banyak luka lebam. Lagi-lagi dia membuang nafas. Seharusnya dia tak membantunya dan membiarkannya terbawa arus. Kini ia dibuat repot dengan keberadaannya.
"Kenapa masih bengong? Ayo suapi dia! Kau ingin dia mati kelaparan di sini?"
"Oke baiklah-baiklah! Aku akan menyuapinya! Dan kamu..., aku harap kamu tidak sedang bersandiwara memanfaatkan kami yang sudah tulus membantumu!"
Pria itu tak banyak bicara. Dia juga mengabaikan ocehan Sari. Dia hanya berpikir bagaimana bisa terdampar di tempat itu dan bagaimana ia bisa pulang ke rumahnya, sedangkan ia tak bisa mengingat apa-apa.
"Anak muda, kami harus memanggilmu apa? Kau bahkan tidak bisa mengingat identitasmu. Bagaimana kami bisa membantumu untuk bisa bertemu dengan keluargamu?"
Pria itu menggeleng. Dia nampak kebingungan untuk bisa mengingat kembali identitasnya, tapi ia yakin ada sesuatu hal yang membuatnya terjatuh hingga terdampar di tempat itu. Sembari menunggu ingatannya kembali ia berinisiatif untuk sementara waktu menetap di kampung itu.
"Kakek, kondisiku sangatlah tak mungkin untuk bisa keluar dari tempat ini. Aku bahkan tak mengingat di mana tempat tinggalku. Kalau kakek berkenan, bolehlah aku menginap di sini untuk sementara waktu? Aku janji, setelah kondisiku pulih aku bakalan pergi."
Rahmat dan Sari saling pandang. Mereka tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya mereka berniat ingin membantu, tapi di sisi lain mereka juga takut akan mendapatkan masalah dari tetangga sekitarnya. Sebelum memutuskan untuk memberinya jawaban, Rahmat meminta pendapat dari cucu perempuannya.
"Ndok, menurutmu bagaimana? Apa kita~~
"Maaf kek, aku kurang setuju kalau dia tinggal di rumah kita. Apa tanggapan warga di sini mengenai keberadaannya? Aku yakin sekali mereka akan semakin membenci kita. Permasalah yang kita hadapi sudah terlalu banyak kek, jangan menambahnya lagi."
"Iya, kakek sepemikiran dengan pendapatmu, tapi tidakkah terlalu jahat kalau kita mengusirnya dari sini?"