kanya adalah seorang Corporate Lawyer muda yang ambisinya setinggi gedung pencakar langit Jakarta. Di usianya yang ke-28, fokus hidupnya hanya satu, meskipun itu berarti mengorbankan setiap malam pribadinya.
Namun, rencananya yang sempurna hancur ketika ia bertemu adrian, seorang investor misterius dengan aura kekuasaan yang mematikan. Pertemuan singkat di lantai 45 sebuah fine dining di tengah senja Jakarta itu bukan sekadar perkenalan, melainkan sebuah tantangan dan janji berbahaya. Adrian tidak hanya menawarkan Pinot Noir dan keintiman yang membuat Kanya merasakan hasrat yang asing, tetapi juga sebuah permainan yang akan mengubah segalanya.
Kanya segera menyadari bahwa Adrian adalah musuh profesionalnya, investor licik di balik gugatan terbesar yang mengancam klien firman tempatnya bekerja.
Novel ini adalah kisah tentang perang di ruang sidang dan pertempuran di kamar tidur
Untuk memenangkan kasusnya, Kanya terpaksa masuk ke dunia abu-abu Adrian, menukar informasi rahasia de
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FTA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Yang Membakar
Pukul 04:15 WIB.
Kanya mengendarai mobilnya kembali ke penthouse Adrian dengan kecepatan yang tidak wajar, memotong jalanan Jakarta yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Gaun sutra hitamnya kotor oleh debu gudang, dan jubah mandi Adrian yang ia kenakan sebagai penutup kini terlihat ironis dan lusuh. Dia tidak hanya lelah; dia marah. Marah pada dirinya sendiri karena tertangkap, dan marah pada Adrian karena menyembunyikan kebenaran yang begitu besar di balik pesona dan Pinot Noir.
Dia memasuki penthouse dengan kunci cadangan yang diberikan Adrian, melangkah masuk seperti prajurit yang baru kembali dari medan perang.
Adrian sudah terbangun. Dia berdiri di ruang tamu, hanya mengenakan celana tidur, menyeduh kopi di dapur high-tech-nya. Cahaya biru fajar yang masuk dari jendela besar menyorotkan ketegasan rahangnya. Dia terlihat tenang, terlalu tenang, seolah dia sudah menduga Kanya akan kembali dalam keadaan seperti ini.
"Kopi?" tawar Adrian, suaranya santai, seolah Kanya baru saja kembali dari lari pagi.
Kanya membanting kunci mobilnya di atas meja marmer. Bunyi nyaring itu memecahkan keheningan pagi. "Aku baru saja bertemu Maya."
Wajah Adrian mengeras. Ketenangannya lenyap. Cangkir kopi yang ia pegang bergerak sedikit, tetapi matanya mengunci Kanya dengan tatapan yang sangat berbahaya—tatapan yang ia sembunyikan selama keintiman mereka.
"Kau pergi ke gudang itu," kata Adrian, itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.
"Sendirian. Jam empat pagi. Setelah aku memberimu berkasnya dan memintamu untuk percaya."
"Aku tidak dibayar untuk percaya, Adrian. Aku dibayar untuk tahu," balas Kanya, melangkah mendekat.
"Kau memberiku tablet yang sudah di-sensor, Adrian. Kau tidak memberiku konteks. Kau tidak memberitahuku bahwa Maya tidak hanya menuntut uang, tetapi aset yang kau bangun dengannya, yang merupakan jantung dari seluruh The Vanguard Group."
Kanya menunjuk jubah yang ia kenakan. "Aku tertangkap oleh mantan tunanganmu, di project pertamamu, dengan mengenakan jubahmu. Dia memperingatkanku tentang bekas luka! Kau ingin aku menjadi pengacaramu, tetapi kau mengirimku ke pertempuran tanpa peta!"
Adrian meletakkan cangkir kopinya perlahan. Dia berjalan ke Kanya, tingginya menjulang. Kemarahan Kanya berhadapan langsung dengan bahaya Adrian yang terkendali.
"Dan kau ingin aku memberitahumu semua rahasia tergelapku setelah kita berbagi satu malam, Kanya?" Adrian menyeringai sinis.
"Kau naif. Aku memberimu berkasnya agar kau mulai bekerja di kantor, bukan agar kau menjadi private eye dan mempertaruhkan lehermu di gudang yang ditinggalkan."
"Lalu kenapa kau menyembunyikan foto itu di kotak kayu tua? Tujuh tahun lalu, Adrian. Sama dengan bekas luka di tulang selangkamu! Ada sesuatu yang terjadi antara kalian berdua di gudang itu yang lebih dari sekadar kontrak!"
Adrian meraih pergelangan tangan Kanya. Sentuhannya dingin dan kuat, tidak ada hasrat di dalamnya, hanya kemarahan.
"Jangan pernah sentuh barang pribadiku lagi, Kanya. Jangan pernah menyelinap keluar saat aku tidur. Itu adalah batas. Aku bisa membantumu menjadi Partner, Kanya. Tapi jika kau melanggar aturanku, aku akan menghancurkanmu sebelum kau bisa menghancurkanku."
Kanya tidak gentar. Dia menarik tangannya dari genggaman Adrian. "Kau tidak bisa menghancurkanku, Adrian. Karena aku sudah tahu kelemahanmu Maya. Dan gedung tua itu."
"Aku memberimu kekuatan, dan kau menggunakannya untuk menyerangku," kata Adrian, menggelengkan kepalanya dengan campuran frustrasi dan kekaguman yang tersembunyi.
"Aku menyukai ambisimu, Kanya, tapi aku tidak suka pengkhianatan."
"Ini bukan pengkhianatan. Ini adalah due diligence. Dan aku membutuhkan semua detailnya sekarang, atau aku akan keluar dari retainer fee ini. Dan aku akan menggunakan semua yang kutahu tentang Vanguard Group untuk menyerang gugatan Dharma Kencana-mu di pengadilan,"
ancam Kanya, menaikkan taruhannya.
Ancaman itu berhasil. Adrian menatapnya lama, mempertimbangkan kata-kata Kanya yang menusuk. Dia tahu Kanya serius. Dia tahu Kanya adalah satu-satunya orang yang bisa memahami berkasnya dan mengalahkan Maya.
"Duduk," perintah Adrian, suaranya melunak sedikit. Dia berjalan ke mini bar dan menuangkan wiski, bukan kopi.
"Aku akan menceritakan padamu. Semua detail. Tapi kau harus mendengarkan dan tidak menyela."
Kanya duduk di sofa, memeluk jubahnya. Dia tahu ini adalah momen truth.
Adrian duduk di seberangnya, menyesap wiski.
"Tujuh tahun lalu, aku, Maya, dan seorang mitra ketiga, Daniel, pria yang kau lihat tadi pagi, memulai The Vanguard Group di gudang itu. Kami merancangnya sebagai proyek kami untuk mengubah peta Jakarta. Malam sebelum kami seharusnya mendaftarkannya secara resmi, terjadi pertengkaran hebat karena Daniel mencoba memalsukan dokumen kepemilikan untuk menguasai mayoritas saham."
Adrian menatap bekas lukanya. "Aku tertusuk, bukan oleh pisau, tetapi oleh pecahan kaca saat aku mencoba menghentikan Daniel. Aku hampir mati. Saat aku pulih, Maya menghilang. Dia mengambil salinan dokumen partnership informal itu dan pergi, meninggalkan Daniel dan aku untuk merangkak kembali dari nol."
"Dan sekarang Maya kembali menuntut itu," Kanya menyimpulkan.
"Dia kembali menuntut itu, karena dia tahu aku tidak pernah menjual aset itu. Aku tidak bisa,"
aku Adrian, suaranya mengandung kesedihan yang langka. "Itu adalah pengingat kegagalanku, dan pengingat bahwa tidak semua yang berharga bisa didaftarkan di pengadilan."
Adrian menatap Kanya dengan mata yang kini tidak lagi dingin. "Aku tidak bisa menyerahkan aset itu, Kanya. Itu adalah simbol. Dan Maya tahu itu. Dia tidak hanya ingin uang. Dia ingin menghancurkanku secara emosional. Itulah mengapa aku membutuhkanmu. Aku butuh pengacara yang bisa membedah pengkhianatan."
Kanya merasa simpati bercampur dengan naluri pengacara. "Daniel... apakah dia masih mitra Maya?"
"Dia bekerja untuk Maya sekarang. Dia tahu setiap celah dalam pertahananku," jawab Adrian.
Kanya menarik napas, kini berkas kasus itu menjadi jelas. Ini bukan sengketa aset. Ini adalah perang balas dendam pribadi yang bersembunyi di balik gugatan hukum.
"Baik," Kanya mengambil tablet itu. "Aku akan memenangkan kasus ini untukmu, Adrian. Tapi harga retainer fee naik. Mulai sekarang, kau tidak akan pernah menyembunyikan satu pun detail dariku. Dan sebagai pengacaramu, aku akan memutuskan, kapan kita akan menyerang balik. Bukan hanya Maya, tapi Daniel juga."
Adrian tersenyum, senyum yang menunjukkan ia akhirnya bertemu lawan yang setara.
"Kesepakatan. Tapi Kanya, aku memberimu kekuasaan penuh atas kasus ini. Jangan pernah berpikir untuk menghancurkan apa yang tersisa dari kepercayaanku pada wanita."
Kanya kini memiliki semua rahasia. bekas luka, pengkhianatan, dan ancaman eksistensial Maya dan kekuasaan penuh untuk menggunakannya.
Bersambung...