Wulan, seorang bayi perempuan yang diasingkan ke sebuah hutan karena demi menyelamatkan hidupnya, harus tumbuh dibawah asuhan seekor Macan Kumbang yang menemukannya dibawa sebatang pohon beringin.
Ayahnya seorang Adipati yang memimpin wilayah Utara dengan sebuah kebijakan yang sangat adil dan menjadikan wilayah Kadipaten yang dipimpinnya makmur.
Akan tetapi, sebuah pemberontakan terjadi, dimana sang Adipati harus meregang nyawa bersama istrinya dalam masa pengejaran dihutan.
Apakah Wulan, bayi mungil itu dapat selamat dan membalaskan semua dendamnya? lalu bagaimana ia menjalani hidup yang penuh misteri, dan siapa yang menjadi dalang pembunuhan kedua orangtuanya?
Ikuti kisah selanjutnya...,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagas
Nafas Bagas tersengal, sebab berlari kencang, usaha terakhirnya untuk menghindari dua pria yang menakutkan dan berpakaian serba hitam dengan tubuh tinggi besar yang terus mengejarnya, dengan ikat kepala yang juga berwana hitam.
Rasa putus asa menyelimuti dirinya, sejenak ia terpikir untuk mengakhiri segalanya, namun ketakutan akan kematian masih menghantuinya.
Dalam kepanikan itu, ia melihat rimbunan rumpun bambu dan bersembunyi di dalamnya, berharap dua penagih upeti yang dikirim oleh Tumenggung Arga yang terkenal kejam dan pro terhadap Adipati Bisrah, tidak dapat menemukannya.
Nasib baik sepertinya berpihak padanya, dua sosok pria itu terlihat kebingungan dan kehilangan arah.
Mereka celingukan mencari pemuda yang sudah menunggak membayar hutang upeti, dan kini mereka yang terkena imbasnya, karena akan dimarahi oleh Tumenggung, sebab tidak berhasil memenuhi syarat pembayaran pajak.
"Sial! Kita sudah kehilangan jejaknya. Tumenggung pasti akan marah besar, karena gagal menangkap si bocah tengil! Hutang upeti sudah menunggak, kalau sampai tertangkap, kita bisa menjualnya untuk dijadikan budak, dan lunasi semua!" ucap salah satu pria, sambari mengepalkan tinjunya dan tampak geram.
Mereka menyisir area sekitarnya dengan tatapan tajam, namun gagal menemukan jejak Bagas, dengan berat hati, mereka pun memutuskan untuk pulang.
Dari persembunyian, Bagas menghela nafas lega. Rasa syukur dan keberuntungan menyelimutinya. Dalam diam, ia merasakan getaran ketakutan yang mulai mereda, menyisakan detak jantung yang masih berdegup kencang.
Hari ini, ia masih bisa bernafas lega, tetapi ia tahu, perjuangan belum berakhir. Ia beranjak dari tempatnya, dan sesaat matanya melihat sebuah gubuk yang terbuat dari potongan bambu dan itu membuatnya berinisiatif untuk menuju gubuk tersebut, setidaknya meminta makan atau minum untuk melepaskan dahaganya.
Bagas keluar dari persembunyiannya, lalu mempercepat langkahnya, detak jantungnya berpacu seolah mengiringi irama kecemasannya.
Rumah yang terbuat dari bilah bambu itu terlihat sepi, begitu sunyi hingga suara langkah kakinya sendiri terdengar menggema.
Sesaat ia terdiam di depan pintu, mencoba menguasai diri, sembari mengatur napas yang masih tersengal.
"Permisi…" ucapnya dengan suara serak, namun hanya keheningan yang menjawab. Tidak ada sahutan. Tidak ada gerakan. Segalanya terasa seperti membeku. Ragu-ragu, ia menaiki anak tangga yang berderit di setiap pijakannya.
Matanya mengintip melalui celah pintu yang setengah terbuka. "Aku tidak punya pilihan lain, aku harus masuk," pikirnya, membenarkan langkah yang hendak diambilnya. Perutnya lapar, haus tak tertahankan, tubuhnya lelah setelah berlari menghindar dari para penagih utang upeti yang tidak memberinya ampun.
Tanpa banyak berpikir, Bagas melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sederhana itu. Pandangannya segera menyapu isi ruangan. Gubuk ini tidak memiliki sekat, hanya ruangan kosong yang begitu polos tanpa perabot berharga. Kosong—tidak ada makanan, tidak ada minuman.
Harapannya sirna, dan kekecewaan perlahan menghimpit hati. "Bahkan di tempat sesunyi ini pun aku tak menemukan apa-apa. Apa ini artinya aku memang harus menyerah pada nasib?"
Baru saja ia hendak menyandarkan tubuhnya yang lelah di dinding bilah bambu, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang mengusik. Sebuah hembusan napas panas menerpa tengkuknya, membuat bulu kuduknya berdiri seketika.
Matanya melebar, ia membeku di tempat. Dalam detik itu, pikirannya mulai saling berkejaran. "Mungkin hanya halusinasiku saja? Atau memang ada seseorang di sini?" Bagas mulai ragu dengan fikirannya, ia memberanikan diri menoleh perlahan.
Dan di sana, tepat di belakangnya, tampak berdiri seorang wanita cantik dengan tatapan dingin dan penuh selidik.
Sesaat Bagas merasakan tiap detik itu terasa seperti melarutkan waktu. Terlalu lama. "Siapa dia? Dari mana dia datang?" Pikirnya dengan rasa ngeri yang mulai menguasai benaknya..
Pemuda itu ingin bertanya, tetapi ia merasakan jika mulutnya tetap terkunci, terlalu takut untuk mengeluarkan sepatah kata atau bahkan sekedar bergerak saja ia seolah tidak mampu untuk melakukannya..
Bagas merasakan bagai terkurung dalam ketakutan, ia hanya bisa menatap balik sosok asing itu dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Hah!" Bagas tersentak kaget saat melihat sosok wanita cantik tersebut berjalan kearahnya.
Wajahnya cukup cantik, tetapi entah mengapa, aura yang dipancarkannya penuh dengan kegelapan, ia sangat takut sekedar mengaguminya, atau justru sebaliknya.
Bagas berjalan mundur dengan langkah tergesa, hatinya diselimuti kegundahan yang sulit ia sembunyikan. Tubuhnya bergidik ngeri, dan entah darimana perasaan itu datang.
Sosok itu, wanita yang berdiri di depannya, lebih mengintimidasi daripada para penagih hutang upeti yang sebelumnya sudah membuat hidupnya kacau.
Tatapan matanya tajam, dingin, memindai tubuh Bagas, seolah ia tengah mencari kelemahan yang bisa dimanfaatkan. Langkahnya semakin mendekat, dan membuat Bagas semakin ketakutan.
Jantung Bagas berdegup kencang, hingga terasa menyakitkan, seakan dadanya tidak sanggup lagi menahan sebuah intimidasi yang dapat melemahkan keberaniannya. "M-maaf, saya hanya ingin makan dan minum, tidak bermaksud lancang masuk ke rumah Anda," ujarnya terbata-bata, suara yang keluar lebih mirip bisikan gemetar daripada ucapan penuh maksud.
Lidah sang pemuda serasa kaku, dan gemuruh ketakutan di dalam dirinya semakin membuat tubuhnya bergetar tanpa kendali.
Namun wanita itu, yang tanpa ia ketahui siapa namanya, tetap melangkah mendekat tanpa sepatah kata. Sorot matanya tajam, penuh tanya sekaligus ancaman, hingga Bagas yang hampir merasa akan tumbang hanya dengan berdiri di hadapannya.
"Tolong jangan mendekat! Aku tidak bermaksud untuk mengacau dirumahmu," Bagas berusaha memberitahu sang pemilik rumah yang sudah semakin dekat dengannya.
Pemuda itu ingin berlari, tetapi kakinya seperti mengakar di lantai yang dingin itu.
"Siapa kau?" tanya Akuji, dengan nada intimidasi. Setelah lama terasing didalam hutan, ini baru pertama kalinya ia bertemu dengan manusia, dan ini membuatnya merasa pemasaran.
Sang pemuda mencoba menjawab dengan sisa keberanian yang dimilikinya,
"A-aku Bagas," jawabnya, suara yang keluar terasa begitu lirih hingga ia sendiri hampir tak mendengarnya. "Aku hanya ingin makan dan minum," lanjutnya, meski ia sendiri tahu itu adalah jawaban yang sama sekali tidak mampu meredakan kecurigaannya.
"Apakah kau yang dikatakan manusia?" tanya sosok wanita itu dengan rasa penasaran.
Bagas tersentak kaget. Ia merasa jika pertanyaan itu sangat membingungkan, apakah itu tandanya, jika sosok wanita dihadapannya baru saja datang dari hutan atau planet, karena bertanya tentang dirinya, apakah ia seorang manusia, dan itu adalah pertanyaan yang sangat konyol dan pernah ia dengar.
"Ya kalau bukan manusia, berarti aku biawak-gitu?" tanya Bagas balik.
Wanita itu semakin me dekat, dan senyum seringai terlihat sangat misterius. "Aku hanya ingin jawabanya, apakah kau manusia atau bukan," ucapnya dengan intimidasi.
Bagas keringat dingin, dan ia menganggukkan kepalanya dengan lemah.
"Y-yaa, aku manusia," jawabnya dengan rasa takut dan juga gemetar.
tp ini rajendra mah kok ya suka kali ngelitik si macan sih 🤔🤔
kk siti masih ada typo ya di atas hehehe
meski aq ratu typo sih 🤭🤭