Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Tuan Rumah yang Menyedihkan
Rasa dingin menusuk tulang. Kabut lembah menempel seperti kulit basah.
Ling Tian membuka satu mata dengan pelan, ragu dan mendapati ujung batu runcing hanya setipis kuku dari hidungnya.
“Aku… belum mati?” gumamnya.
“Belum,” suara arogan itu berdengung di dalam kepalanya. “Tapi kalau kau terus bengong begitu, aku bisa menjatuhkanmu sekarang. Energiku tidak gratis.”
BRUK!
Seolah sengaja, tubuh Ling Tian jatuh sedalam satu meter dan menghantam tanah keras.
“Aduh! Sialan!” Ia meringis, memegangi rusuk yang terasa remuk.
Lembah Angin Mati lebih sunyi dari kuburan. Kabut putih bergulung, dinginnya basah, menusuk sampai ke sumsum tulang. Tidak ada burung, tidak ada angin. Dunia seakan mati.
Ling Tian duduk bersandar pada dinding batu dan mendesah panjang. “Bagus… jatuh dari tebing, selamat, dan sekarang aku mendengar suara-suara. Aku benar-benar gila.”
“Gila?” suara itu tertawa pendek.
Kabut di depannya berputar. Cahaya biru keluar dari pusaran kecil, kemudian menyatu menjadi wujud seekor makhluk… yang tampak aneh. Setengah burung, setengah ikan koki, kecil, bulat, dan bersinar.
Makhluk itu berkacak pinggang. “Kau menyebut entitas teragung di alam ini sebagai halusinasi?”
Ling Tian mengedip. Lalu tertawa pendek. “Jadi… ini dia kutukan yang mereka bicarakan? Seekor.. apa ini? ikan terbang?”
“Berani-beraninya!” makhluk itu membentak. “Aku adalah Roh Kunpeng! Penguasa lautan bintang! Jika tubuh asliku tidak hancur, aku sudah menelammu bulat-bulat!”
“Kunpeng… yang itu?” Ling Tian mengerutkan kening. “Yang hanya ada di dongeng-dongeng?”
“Untung otakmu tidak sepenuhnya busuk,” dengus Kunpeng. Ia mendekat dan mengamati wajah Ling Tian. “Dengar, Tuan Rumah. Tubuhmu itu sampah. Meridianmu tersumbat, tulangmu rapuh, dan Qi mu kosong. Ini wadah terburuk yang pernah kududuki dalam enam puluh ribu tahun.”
“Terima kasih atas pujiannya,” gumam Ling Tian.
Kunpeng mengabaikan sarkasmenya. “Tapi masalah utamanya bukan itu.”
“Apa lagi?” tanya Ling Tian.
“Kita tidak sendirian.”
Ling Tian refleks tegak. Kulit tengkuknya merinding.
Dari dalam kabut muncul sepasang mata biru pucat. Lalu dua pasang lagi. Geraman rendah menggema, membuat tanah bergetar halus.
Tiga serigala keluar dari kabut yang tampak besar seperti anak sapi, bulu mereka berwarna putih perak, ujungnya dipenuhi kristal es yang berkilap.
Frostwind Wolves.
“Sial…” Ling Tian menelan ludah. Ia meraba tanah, mencari batu atau kayu. Namun tidak ada apa-apa. “Hei, Ikan Terbang—”
“Panggil aku Tuan Kun! Dan tidak, aku tidak punya energi untuk menolongmu. Urus sendiri.”
“Aku bahkan tidak bisa berdiri!”
“Kalau begitu matilah. Setelah itu, mungkin aku cari mayat lain.”
Serigala alfa menerkam tanpa aba-aba. Hanya terlihat bayangan putih yang menyapu.
Ling Tian mengangkat tangan kiri secara refleks.
KRAK!
Taring es serigala Alfa menembus daging Ling Tian. Rasa sakit membakar sarafnya.
“ARGHH!” Jeritannya menggema. Darah mengalir membasahi bulu putih si serigala.
Tapi ia tidak mundur. Ia malah mencengkeram leher serigala dengan tangan kanannya.
Kunpeng menyeringai puas. “Nah begitu! Gunakan rasa putus asa itu! Gunakan kelaparanmu!”
“A—apa pun maksudmu…” desis Ling Tian, napas tercekik.
“Buka gerbangnya! Abyssal Sea Devour!”
Ling Tian tidak tahu apa itu. Tapi tubuhnya tahu.
Sesuatu di dalam perutnya seperti retak, lalu terbuka.
WOOOONG—
Telapak tangan kanannya menghitam. Pusaran gelap sebesar koin muncul, berputar liar seperti lubang ke dunia lain.
Serigala alfa membeku dan panik. Ia mencoba melepas gigitannya, tapi tubuhnya tidak mau bergerak.
Sebuah energi biru pucat dan esensi kehidupan serigala alfa tersedot keluar dari pori-porinya. Mengalir masuk ke dalam tubuh Ling Tian.
Tubuh si serigala menyusut cepat, bulunya rontok, kulitnya mengerut hingga..
Tiga detik berlalu.
Lalu…
BRUK.
Yang tersisa hanyalah bangkai kering yang hancur menjadi debu saat menyentuh tanah.
Dua serigala lainnya melihat itu dan langsung melarikan diri ketakutan.
Ling Tian berdiri. Napasnya terasa berat. Tapi tubuhnya… terasa hangat dan lebih kuat. Luka gigitan di lengan kirinya sudah hilang, seolah tidak pernah ada.
Bahkan rasa sakit di rusuknya lenyap.
Ia mengepalkan tangan. “Ini… gila.”
“Lumayan,” kata Kunpeng, hinggap di bahunya. “Teknikmu jelek, dan kau membuang sepertiga esensi makhluk itu. Tapi setidaknya kau tidak mati. Ada kemajuan.”
Ling Tian menatap sisa debu dua serigala yang kabur. Matanya menjadi gelap.
“Apa… yang kulakukan barusan?”
“Kau memangsa,” jawab Kunpeng santai. “Dunia ini simpel—kau makan, atau dimakan.”
Ling Tian menatap ke arah tebing tempat desa berada.
Senyum lamanya—senyum badut telah hilang sepenuhnya.
“Oi, Tuan Kun,” katanya pelan. “Apa yang terjadi kalau aku memakan… manusia?”
Kunpeng tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi runcing. “Rasanya jauh lebih enak. Kau masih lapar?”
Ling Tian tidak menjawab. Tatapan matanya cukup jelas.
“Besok utusan Sekte Pedang Langit datang, bukan?” katanya, lirih namun dingin.
“Sangat disayangkan jika aku… tidak ada di sana.”