Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SABOTASE PERTAMA - ISU DETERJEN BERBAHAYA
Seminggu kemudian, tiba-tiba pelanggan BUMI BERSIH mulai berkurang drastis.
Dari yang biasanya lima sampai tujuh pelanggan per hari, tiba-tiba turun jadi tiga. Kemudian dua. Kemudian bahkan ada hari yang hanya satu pelanggan.
Fajar mulai panik. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Padahal kualitas layanan mereka tidak berubah—tetap bersih, wangi, rapi, jujur. Kenapa tiba-tiba pelanggan berkurang?
"Pak Ganes, kenapa ya kok tiba-tiba sepi?" tanya Fajar dengan wajah sangat khawatir. Kantung matanya menghitam—ia tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan bisnis.
"Mungkin lagi musim ujian, Nak," jawab Pak Ganes mencoba menghibur meski di hatinya juga mulai khawatir. "Mahasiswa lagi sibuk belajar, jadi nggak sempat laundry."
Tapi kekhawatiran mereka terbukti benar saat seorang pelanggan lama—Mbak Dina, mahasiswi yang sudah tiga kali laundry di BUMI BERSIH—datang dengan wajah khawatir.
"Mas Fajar," katanya dengan nada ragu, "aku mau tanya... bener nggak sih kalian pakai deterjen murahan yang berbahaya?"
Fajar tersentak. "Hah? Berbahaya? Kami nggak pakai deterjen murahan, Mbak. Kami pakai deterjen branded yang aman—"
"Tapi aku denger dari temen-temen," potong Mbak Dina dengan wajah semakin khawatir, "katanya ada yang laundry di sini terus bajunya rusak. Warnanya luntur, kainnya jadi kasar, bahkan ada yang kulitnya iritasi gara-gara deterjen kalian."
"Itu tidak benar, Mbak!" Fajar membela dengan suara bergetar—campuran antara panik dan marah. "Kami sangat hati-hati dengan deterjen. Kami pakai deterjen yang aman, kami pisahkan pakaian berdasarkan warna, kami—"
"Aku juga nggak tahu, Mas," Mbak Dina menggeleng dengan tatapan bingung. "Tapi isunya udah nyebar kemana-mana. Di grup WhatsApp kampus, di LINE, bahkan di Twitter kampus juga ada yang nge-tweet. Banyak yang bilang laundry BUMI BERSIH pakai bahan kimia berbahaya."
Fajar merasakan seluruh dunianya runtuh. Kaki-kakinya lemas. Ia hampir terjatuh kalau Pak Ganes tidak menahan bahunya.
"Tapi Mbak sendiri pernah laundry di sini tiga kali kan?" tanya Pak Ganes dengan nada lembut. "Apa ada masalah dengan pakaian Mbak?"
Mbak Dina menggeleng. "Enggak. Pakaian aku baik-baik aja. Malah bagus. Tapi... tapi aku takut kalau-kalau di cucian selanjutnya ada masalah. Maaf ya, Mas. Aku... aku kayaknya nggak laundry di sini dulu sampai masalah ini clear."
Mbak Dina pergi, meninggalkan Fajar yang berdiri terdiam dengan wajah sangat pucat—seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya.
Pak Ganes langsung membuka handphone-nya, mengecek grup WhatsApp kampus yang sempat ia join untuk monitoring—dan apa yang ia lihat membuat darahnya mendidih.
Ada puluhan pesan yang menyebarkan isu tentang BUMI BERSIH:
"Hati-hati sama BUMI BERSIH LAUNDRY! Temen gue laundry di situ, bajunya rusak semua!"
"Iya, gue juga denger! Katanya mereka pakai deterjen industri murah yang berbahaya buat kulit!"
"Gue malah denger ada yang kulitnya iritasi gara-gara pakai baju yang dicuci di sana!"
"Jangan laundry di sana! Harga murah tapi kualitas parah!"
"Mereka tipu-tipu! Cuma modal banner bagus tapi pakai bahan kimia abal-abal!"
Bahkan ada yang membuat thread panjang di Twitter kampus dengan akun anonim, menjelaskan dengan detail—meskipun semuanya bohong—tentang "bahaya" laundry BUMI BERSIH.
Pak Ganes menunjukkan semua itu pada Fajar dengan tangan gemetar.
Fajar membaca satu per satu dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Setiap kata adalah pisau yang menusuk jantungnya. Setiap kalimat adalah tamparan yang sangat menyakitkan.
"Ini... ini semua bohong," bisiknya dengan suara sangat bergetar. "Kami nggak pernah pakai deterjen murahan. Kami nggak pernah bikin pakaian pelanggan rusak. Ini... ini fitnah. Fitnah keji."
Tangannya gemetar sangat hebat hingga handphone hampir terjatuh. Pak Ganes langsung memeluknya, menopang tubuh Fajar yang hampir ambruk.
"Tenang, Nak. Tenang. Kita akan klarifikasi. Kita akan buktikan ini semua bohong."
Tapi klarifikasi tidak semudah itu.
Reza yang datang sore itu langsung mencoba membuat postingan klarifikasi di media sosial—menjelaskan bahwa semua isu itu adalah fitnah, menunjukkan foto deterjen branded yang mereka pakai, bahkan menawarkan pelanggan untuk datang melihat langsung proses pencucian mereka.
Tapi tidak ada yang peduli.
Malah, postingan klarifikasi Reza dikomentari dengan kata-kata yang sangat kejam:
"Pasti bohong! Udah ketahuan jelek kok masih ngeles!"
"Mana ada laundry murah tapi bagus? Pasti ada yang disembunyiin!"
"Gue nggak percaya! Temen gue udah jadi korban!"
Dalam tiga hari, omzet BUMI BERSIH anjlok total.
Dari yang biasanya seratus lima puluh ribu sampai dua ratus ribu per hari, sekarang hanya dua puluh ribu sampai tiga puluh ribu per hari. Bahkan ada hari yang sama sekali tidak ada pelanggan.
Hari ketujuh setelah isu menyebar, Fajar duduk di lantai ruko dengan kepala ditopang di lutut, menatap kosong ke depan. Ia belum makan sejak kemarin—bukan karena tidak ada uang, tapi karena perutnya tidak bisa menerima makanan. Setiap kali ia coba makan, rasanya mau muntah.
Pak Ganes dan Reza duduk di sampingnya—ketiganya dalam keheningan yang sangat berat.
"Bulan depan," kata Fajar akhirnya dengan suara sangat pelan dan hancur, "bulan depan kita harus bayar sewa dua juta. Tapi uang kita... uang kita tinggal satu juta dua ratus ribu. Kalau seminggu ke depan masih kayak gini, kita... kita nggak bisa bayar sewa."
Suaranya bergetar sangat hebat di kalimat terakhir.
"Kalau nggak bisa bayar sewa, Pak Soleh akan usir kita. Bisnis kita... bisnis kita akan tutup. Semua pengorbanan kita... sia-sia."
Air matanya jatuh perlahan. Ia tidak bisa menahannya lagi.
"Empat setengah bulan aku kerja keras kumpulin modal. Tiga juta dari keringat murni. Uang dari Reza. Tenaga dari Pak Ganes. Semua harapan kita. Dan sekarang... sekarang dalam seminggu aja, semuanya hancur gara-gara fitnah."
Ia menangis—menangis keras-keras dengan tubuh bergetar hebat.
"Kenapa... kenapa dunia ini begitu kejam... Aku cuma mau usaha jujur... Aku cuma mau bantu keluargaku... Kenapa harus difitnah... Kenapa..."
Pak Ganes memeluk Fajar erat, membiarkan pemuda ini menangis di bahunya. Hatinya hancur melihat anak yang sudah ia anggap seperti anak sendiri ini menderita begini.
Reza duduk dengan kepala tertunduk, tangannya mengepal sangat kuat. Ia marah. Sangat marah. Tapi ia tidak tahu harus marah pada siapa.
Malam itu, ketiganya pulang dengan hati yang sangat berat.
Di kamar kosnya yang sempit, Fajar menatap langit-langit dengan mata kosong. Handphone-nya berdering—panggilan dari ibu.
Ia tidak berani angkat.
Karena ia tidak tahu harus bilang apa pada ibunya.
Tidak tahu harus bilang bagaimana bahwa bisnis yang sudah memberi harapan besar itu... sekarang hampir mati.
Dan yang paling menyakitkan—
Ia tidak tahu siapa yang melakukan ini semua.
Ia tidak tahu bahwa di suatu tempat, Damar Wicaksana sedang tersenyum puas sambil melihat hasil sabotasenya.
Tersenyum dengan kepuasan seorang iblis yang berhasil menghancurkan mimpi orang lain.
BERSAMBUNG...
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.