Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka Masih Sama
Karena Arsen tak mau menghubungi Ananda untuk meluruskan semuanya, akhirnya Anita memilih dirinya sendiri yang menjelaskan.
Keesokan harinya Anita pergi ke rumah nenek Arsen yang berjarak 30 kilometer dari rumah mereka. Dengan mengendarai mobil sendiri Anita berharap Ananda masih ada disana dan belum pulang ke tempat tinggalnya.
Anita juga mampir sebentar untuk membeli buah tangan dan hadiah untuk bayi Ananda yang belum sempat Anita temui.
Sebenarnya dia agak sedikit dag-dig-dug mengunjungi kediaman eyang Soraya, sebab ada kakak dari ibu mertuanya yang juga tinggal bersama. Setiap mereka bertemu Anita selalu dapat sambutan yang tak ramah, tapi demi menemui Ananda Anita rela pergi sendirian.
Sekitar 40 menit Anita mengemudi akhirnya dia sampai di depan bangunan megah dengan interior yang klasik khas jaman dulu, dipenuhi oleh ornamen kayu yang mendominasi namun justru disitulah letak kemewahan yang ditonjolkan.
Dengan membawa dua buah paperbag Anita keluar dari kendaraan dan melangkah menuju teras rumah.
Tak lupa Anita menyiapkan senyum terbaik sebelum bertatap muka dengan mereka, selanjutnya Anita pun mulai menekan bel rumah.
Ting Tong!
Cukup satu kali bel itu berbunyi, pintu utama langsung terbuka dari dalam, seorang pelayan datang untuk membuka pintu tersebut.
"Selamat pagi" sapa Anita lebih dulu.
Pelayanan itu sedikit melebarkan kelopak mata, kemudian buru-buru menunduk hormat dan menyapa balik Anita.
"Nona Anita? Selamat pagi juga, Nona!"
"Ada orang di rumah?" Tanyanya.
"Ada, Nona. Eyang Soraya baru selesai sarapan"
"Emm .. Kalau Ananda? Apa dia masih ada disini ?"
"Nona Ananda juga masih disini, silahkan masuk Non"
Begitu pelayan membuka pintu lebar-lebar untuk Anita, disaat itu pula Teresa muncul melihat siapa yang berkunjung ke rumah mereka.
"Anita?!"
Kakak dari ibu mertuanya itu terkejut melihat keberadaan Anita yang datang secara tiba-tiba, seketika raut wajah wanita itu berubah seolah mengibarkan bendera perang pada sosok tamunya.
Berbeda dengan Anita yang tersenyum manis, mengacuhkan tampang Teresa yang menatapnya dongkol.
"Mau apa kamu kemari?"
Belum apa-apa pertanyaan tersebut sudah sangat menusuk permukaan hati Anitasilia, bukannya menyambut dengan gembira justru malah menyemburkan luka hanya dengan kata.
"Pagi Tante, apa kabar? Aku mau bertemu Ananda. Dia ada di dalam kan, Tan?
Teresa mendelik begitu mendengar alasan Anita kemari, dia menganggap jika Anita tak punya malu datang kesini untuk bertemu dengan Ananda yang pada acara lusa kemarin saja tidak wanita itu hadiri.
"Ada sih, tapi kami tidak yakin dia mau bertemu denganmu" jawabnya ketus.
Anita sudah bisa menebak jika dia akan dipersulit untuk bertemu dengan saudaranya sendiri, padahal niat Anita baik untuk membalas ketidakhadiran saat itu.
"Tapi aku ingin bertemu untuk memberi hadiah ini pada anaknya, hadiah ini juga perwakilan dari mas Arsen yang masih belum bisa datang sampai sekarang" tutur Anita menyebut sang suami sebagai alasan.
Mendengar nama Arsen disebut, Teresa seketika tak bisa menanggapi apa-apa, dia memilih berlalu tanpa mempersilahkan Anita masuk ke rumah.
Melihat bagaimana sikap majikannya, pelayan itu merasa kasihan pada Anita, sudah dari awal bekerja dia memang hafal seperti apa respon keluarga Arsen kepada Anita, namun dia hanya sebatas pelayan yang tidak punya hak membela siapapun.
"Mari masuk, Nona"
Anita pun menyeret kakinya ke dalam bangunan itu dengan perasaan campur aduk yang sudah tidak bisa didefinisikan lagi.
Tenanglah Anita, hanya memberi selamat dan juga hadiah ini, itu mudah. Setelahnya kau bisa langsung pergi dari sini. Semangat, aku pasti bisa!
Semua rupanya sedang berkumpul di ruang tengah, Eyang Soraya duduk di kursi goyang sambil menonton televisi, dan Ananda sedang menimang anaknya di sofa bersama suaminya yang juga ada disana.
Sepertinya kedatangan Anita sudah di sampaikan oleh Teresa, melihat bagaimana kini orang-orang disana tak terkejut lagi melihat kehadirannya.
"Selamat pagi semua" ujar Anita menegur seluruh keluarganya disana.
Tak ada satu pun yang membalas teguran itu, semuanya diam dan saling menatap satu sama lain.
Anita mendekat lebih dulu ke arah Eyang Soraya berada, dia mengulurkan tangan untuk menyalimi wanita paruh baya tersebut.
"Apa kabar, Eyang? Maaf aku baru sempat kesini lagi"
Namun Eyang Soraya langsung buru-buru menarik tangannya sebelum Anita mencium punggung tangan itu.
Anita sempat kaget tapi dia pun kembali memasang senyum.
"Mana Arsen?" Tak menjawab, Eyang Soraya malah bertanya mengenai keberadaan cucu lelakinya.
"Mas Arsen tidak ikut karena harus ke kantor, aku datang sendirian untuk menjenguk putra Ananda" jelasnya.
Eyang Soraya tampak malas ketika mengetahui kalau Arsen tak datang, dia pun tak bertanya apa-apa lagi kepada Anita.
Anita pun berlanjut menghampiri Ananda yang ada disana.
Perempuan itu acuh dan berusaha sibuk pada bayinya, walaupun tahu kalau Anita ingin menyapa.
Alhasil Anita hanya bersalaman dengan suami Ananda yang duduk disamping perempuan tersebut, merasakan suasana yang kurang nyaman membuat lelaki tersebut memilih bangkit dari sana.
"Aku kebelakang dulu mau merokok, kalian lanjutkan saja obrolannya"
Anita lantas duduk bersebelahan dengan Ananda, seketika pandangannya langsung tertuju pada bayi mungil yang sedang ada dalam gendongan.
"Apa kabar, nan? Maaf aku tidak memberitahu kamu kalau mau disini. Ini... Aku ada hadiah untuk anakmu" ucap Anita menyerahkan paperbag yang dia bawa kepada perempuan itu.
Ananda melirik sekilas barang yang dibawakan Anita untuknya, tetapi dia tak langsung mengucapkan terimakasih.
"Bukannya kemarin aku tidak meminta apa-apa dari mbak? Kalau semisal mbak terpaksa memberikan ini karena pertemuan kita kemarin lebih baik tidak usah repot-repot datang" timpal Ananda dengan nada yang sedikit sewot.
"Mana mungkin aku terpaksa, nan. Aku kemari benar-benar ingin mengunjungi bayimu yang belum sempat aku tengok, kemarin aku sudah minta mas Arsen untuk menghubungi kamu supaya dia menjelaskan semuanya tapi mas Arsen masih belum punya waktu. Tapi aku sudah bilang padanya akan tetap kemari meskipun sendirian" imbuh Anita panjang lebar, tidak mudah meyakinkan seluruh keluarga Arsen untuk mendengarkan kejujurannya.
"Oh ya, siapa nama bayinya? Aku lupa" lanjut Anita berusaha mengubah topik pembicaraan agar lebih cair.
"Masa nama bayinya saja kamu belum tau?! Cih" bukan Ananda tetapi Teresa yang menimpal, perempuan itu dengan sombongnya berbicara tanpa menatap ke arah Anita.
"Kan barusan aku bilang lupa, Tan. Bukannya tidak tau" kata Anita membela diri.
Tapi pembelaan diri Anita hanya dibalas dengan decakan.
"Siapa namanya, nan?" Anita mengulang.
"Nindi" jawabnya ketus.
"Oh ya.... Nindi!" Anita mengingat.
"Hai Nindi.... Cantik sekali sih! Baru bangun tidur ya?" Anita mengajak bayi itu berbicara.
Nindi yang baru berusia tujuh hari itu terlihat mencari-cari sumber suara yang yang terdengar samar di telinganya.
"Kamu masih berapa hari lagi disini? Kalau masih lama ayo berkunjung ke rumah ku dan mas Arsen" ajak Anita.
"Besok juga pulang"
"Sayang sekali, aku kira masih beberapa hari lagi" desah Anita menyayangkan, padahal dia berharap Ananda bisa mampir ke rumahnya untuk bertemu dengan Arsen supaya lelaki itu mau meluruskan semua pada Ananda, dan juga siapa tau Anita bisa mengobrol lebih terbuka dengan adik ipar sepupunya ini.
"Boleh aku coba gendong Nindi, nan?"
Melihat bayi kecil nan lucu itu membuat Anita gemas dan ingin sekali menimangnya, Ananda sangat lihai dalam mengurus anak sebab perempuan itu sudah memiliki dua putra sebelumnya yang kini berumur tujuh dan lima tahun.
"Jangan, mbak kan gak pernah gendong bayi sebelumya. Mana boleh mencoba mengais anakku, kalau dia kenapa-kenapa bagaimana?" Tolaknya mentah-mentah.
Anita pun tak memaksa, dia justru terkikik membenarkan hal tersebut.
"Hehe... Iya juga sih" meski sebenarnya kecewa dan sedih di dalam hatinya.
"Betul, jangan samakan Ananda dengan kamu. Dia itu sangat menjaga sekali kondisi anaknya" ujar Teresa tak mengizinkan.
Dari kata-kata tersebut Teresa seolah mengatakan jika Anita tak menjaga dengan baik darah dagingnya sendiri, hingga saat ini mereka semua masih mempercayai bahwa anak yang dikandung Anita dulu gugur atas perbuatannya.
Sedangkan Eyang Soraya memilih diam seribu bahasa, wanita tua itu membiarkan Anita terpojokkan oleh ucapan anak dan cucunya.
"Maaf... Aku sudah lancang" lirih Anita.
Tiba-tiba bayi itu menangis tak anteng seperti sebelumnya, Anita tahu dia tak boleh mengganggu kesibukan Ananda yang sedang repot mengasuh putrinya.
Akhirnya dia pun memilih pergi dari rumah itu.
"Pasti bayinya mau tidur, kalau begitu aku pulang sekarang saja. Sampai jumpa lagi nanti, tante... Eyang... Aku pamit dulu"
Dan terimakasih atas kunjungan tanpa jamuan ini.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭