Aditya Kalandra wiratmaja tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya, Nathasya Aurrelia pergi meninggalkannya tepat di hari pernikahannya. Dalam keadaan yang kalut ia dipaksa harus menerima pengantin pengganti yang tidak lain adalah adik dari sahabatnya.
Sementara itu, Nayra Anindhira Aditama juga terpaksa harus menuruti permintaan sang kakak, Nathan Wisnu Aditama untuk menjadi pengantin pengganti bagi Aditya atas dasar balas budi.
Apakah Nayra sanggup menjalani kehidupan barunya, dan mampukah dia menakhlukkan hati Aditya.
Ataukah sebaliknya, apa Nayra akan menyerah dan pergi meninggalkan Aditya saat masalalu pria itu kembali dan mengusik kehidupan rumah tangga mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MauraKim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akupun juga tidak akan Peduli
Suasana di Ballroom semakin sunyi. Para tamu sudah mulai meninggalkan tempat, hanya menyisakan beberapa kerabat yang masih berbincang. Di tengah ruangan, Nayra berdiri di antara ibunya dan Nathan, menyaksikan mereka bersiap untuk pulang.
Sang ibu mengenggam tangan Nayra dengan erat, ia menatap sang putri dengan penuh makna. "Nayra," suaranya terdengar begitu lembut namun sarat akan makna. " Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Tugas seorang istri adalah menuruti suaminya. Apapun yang terjadi, jangan pernah melawan. Jika ada masalah bicarakan baik-baik, jadilah istri yang baik, Nak. Tapi ingat satu hal, Bunda masih selalu ada untuk kamu, Nak."
Ada sesuatu dari suara ibunya yang membuat dada Nayra merasa sesak. Ia mengangguk perlahan, meskipun jauh di lubuk hatinya ia belum bisa menerima semua ini sepenuhnya.
Sang ibu menoleh kepada Aditya yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan sorot mata yang penuh dengan harapan, ia berkata dengan lembut, "Tolong jaga Nayra baik-baik, Nak. Bunda tahu kamu adalah laki-laki baik dan Bunda percaya padamu Aditya."
Aditya menatap ibu Nayra sejenak, lalu ia menganggukkan kepalanya ragu. "Saya akan menjaganya, Tante."
Sebelum Bunda Sarah melangkah pergi, Nathan maju selangkah dan berdiri tepat di hadapan Aditya. Tatapannya tajam, tidak ada sedikitpun keraguan dalam nada suaranya saat ia berkata,
"Ingat, Aditya,," Nathan menghentikan ucapannya sejenak, membiarkan ketegangan merayap di antara mereka. "Kalau kau sampai menyakiti adikku, aku tidak akan pernah tinggal diam. Meskipun aku sudah menganggapmu seperti saudaraku, aku tidak akan rela jika adikku sampai kau sakiti. Jika kau sudah tidak menginginkannya, kembalikan dia padaku baik-baik." ucapnya serius.
Nayra terkejut dengan ucapan kakaknya. Namun dalam hatinya, dia sangat bersyukur karena memiliki kakak seperti Nathan. Sementara itu Aditya tetap berdiri tegak menatap Nathan tanpa ekspresi.
"Aku bersumpah, akan memberimu pelajaran jika sampai kau berani menyakitinya." lanjut Nathan, suaranya semakin rendah dan penuh dengan ketegasan. "Kau pasti tahu kan kalau Nayra itu segalanya bagiku? Ingat ucapanku baik-baik Dit."
Tatapan mereka bertemu dalam sekejap yang terasa seperti selamanya. Ada sesuatu di mata Nathan yang jelas mengatakan jika ucapannya bukan sekedar omong kosong semata.
Aditya tetap tenang. Bibirnya sedikit melengkung dengan senyum samar yang sulit untuk di artikan. "Aku mengerti."
Nathan tidak berkata apa-apa lagi. Ia menoleh ke arah Nayra dan tanpa ragu menarik adiknya itu ke dalam pelukannya.
"Kakak percaya kamu bisa melewati ini semua," bisiknya dengan lembut. "Kamu adalah adik kakak yang sangat hebat dan kuat."
Nayra merasakan tubuhnya sedikit bergetar, ia menahan emosi yang semakin memenuhi dadanya. Nathan lalu melepas pelukannya, menangkup wajah adiknya dan mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
"Kakak sangat mencintaimu. Dan Kakak sangat bangga padamu, Nayra."
Setetes air mata hampir jatuh dari mata Nayra, tapi ia cepat-cepat menahannya. Ia tidak mau jika kakak dan Bundanya merasa khawatir kalau sampai melihatnya menangis.
Setelah percakapan singkat itu, Nathan dan Bunda Sarah pamit untuk pulang.
Nayra menyaksikan punggung ibu dan kakaknya yang perlahan menjauh, meninggalkannya di dunia baru yang masih terasa asing.
Aditya menatapnya sejenak, tetapi pria itu memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.
Setelah keluarga Nayra pulang, Nayra merasa kesepian dari sebelumnya. Nayra berjalan perlahan ke kamar pengantin dengan langkah ragu.
Saat ia membuka pintu, Aditya sudah lebih dulu ada di dalam. Bagaimana bisa pria itu ada di sini? Seingatnya pria itu pergi meninggalkannya sendiri di Ballroom setelah menerima telefon.
Aditya berdiri di depan jendela, ia melepas jas dan dasi dengan gerakan tenang, seolah tidak ada beban yang ia tanggung. Bahkan pria itu tak mau repot-repot meminta maaf kepada Nayra setelah meninggalkan istrinya itu sendirian di Ballroom tempat acara.
Nayra terdiam di tempatnya, ia tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Suasana kamar begitu sunyi hingga hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan.
"Tidurlah Nayra, jangan khawatir, aku tidak akan menyentuhmu ataupun macam-macam kepadamu."
Nayra mengangkat wajahnya, ia menatap Aditya dengan mata sedikit membesar karena terkejut mendengar perkataan suaminya itu.
"Aku,,, aku bahkan tidak sedikitpun berfikir seperti itu."
Aditya membalikkan badannya, namun ekspresi wajahnya tetap datar. "Bagus kalau begitu. Aku tidak tertarik denganmu, dan aku yakin kau juga tidak menginginkan ini."
Nayra mengigit bibirnya. Ada rasa sakit yang menusuk dalam dadanya mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Aditya. Meski ia tahu bahwa pernikahan ini bukan atas dasar cinta, tapi mendengar Aditya mengucapkannya secara langsung, membuat Nayra merasa dirinya seperti beban yang tidak di inginkan keberadaannya.
"Aku tahu kita menikah bukan karena cinta, tapi bisakah kau setidaknya tidak bersikap seolah aku menganggumu?" ucap Nayra dengan suara yang sedikit bergetar.
Aditya mendengus sinis. "Aku bersikap ppa adanya, Ra. Aku tidak ingin berbohong atau mengucapkan harapan yang tak perlu."
Nayra berdecih mendengar ucapan Aditya, dengan sisa keberanian yang ia punya, Nayra menatap Aditya dengan tegas dan membalas ucapannya.
"Apa yang kau ucapkan, Mas? Tidak ingin berbohong atau mengucapkan harapan yang tak perlu. Lantas apa yang kamu lakukan sedari tadi, Mas? Memberi janji dan mengiyakan permintaan semua orang yang memintamu untuk menjagaku.
Apa itu semua hanya sebuah kepura-puraan?"
Aditya terdiam mendengar pertanyaan Nayra, tanpa sadar dirinya juga menanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Kenapa aku semudah itu mengiyakan permintaan semua orang yang ingin aku menjaga Nayra, Apa yang sebenarnya terjadi padaku?gumamnya dalam hati.
"Jawab aku, Mas. Apa kamu hanya berpura-pura?" Nayra mengulangi pertanyaannya saat tidak kunjung mendapat jawaban dari Aditya.
"Aku rasa kita tidak perlu membahas masalah itu, Ra. Itu tidaklah penting. Aku haya tidak ingin semua orang mengaturku jadi aku mengiyakan saja semua ucapan mereka." Aditya bahkan merasa dirinya sangat bodoh karena memberikan alasan yang tidak masuk akal kepada Nayra.
Nayra mengepalkan tanganya di sisi gaunnya. Ia ingin marah, ingin menuntut jawaban mengapa pria ini begitu kejam padanya. Tapi ia tahu, itu sama sekali tidak ada gunanya. Ia akan lebih tersakiti karena kata-kata pria itu yang kejam.
Aditya berjalan menuju sofa di sudut kamar setelah mengambil sebuah bantal di atas ranjang. Ia melemparkan bantal itu di atas sofa.
"Aku akan tidur di sini. Jangan khawatir aku tidak akan mendekatimu. Kita hanya perlu berpura-pura di depan semua orang, selebihnya aku tidak peduli."
Hati Nayra terasa semakin nyeri. Bahkan ia tetap berdiri di tengah ruangan. Setelah beberpa saat ia terdiam akhirnya ia mengeluarkan suara untuk membalas ucapan Aditya.
"Kalau kamu memang tidak peduli, untuk apa kita harus berpura-pura di depan semua orang, Mas? Aku tidak akan melakukan itu, biarkan saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kita. Aku rasa mereka juga akan memaklumi ini karena kita menikah atas dasar terpaksa. Jika kamu tidak peduli, akupun juga tidak akan peduli, Mas."
Izin yaa