Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pengakuan rani
TAPI RANI—"
"Ibu yang urus Rani!" potong Bu Nirmala dengan suara yang mulai tenang tapi sangat lelah. "Ibu janji... Ibu akan jaga Rani. Ibu nggak akan tinggalin dia sendirian. Kamu... kamu fokus di sana. Kamu kuliah yang bener. Kamu sukses. Itu cara terbaik kamu lindungi Rani. Dengan jadi sukses dan ngangkat derajat keluarga kita. Biar orang-orang nggak bisa lagi sembarangan nginjak-injak kita."
Fajar menangis semakin keras. Ia tahu ibunya benar. Tapi hatinya hancur berkeping-keping.
"Boleh... boleh aku bicara sama Rani?" pintanya dengan suara sangat lirih.
"Dia nggak mau keluar kamar, Nak."
"Please, Bu... Coba bilang ke Rani... bilang Kakak mau ngomong..."
Fajar mendengar suara ibunya berjalan, mengetuk pintu.
"Ran... Rani sayang... Kakak mau ngomong sama kamu... Kakak Fajar... Buka pintu, Nak... Please..."
Tidak ada jawaban.
"RANI!" Bu Nirmala mengetuk lebih keras. "KAKAK FAJAR MAU NGOMONG! BUKA PINTU!"
Keheningan yang sangat menyiksa.
Kemudian—
CKLEK.
Suara pintu terbuka pelan.
"Rani..." suara Bu Nirmala bergetar lega.
Kemudian terdengar suara tangisan—tangisan yang sangat mengerikan. Tangisan seorang anak perempuan yang hancur total.
"KAKAAAAAAK... KAKAK FAJAAAAAR..." isak Rani dengan suara yang sangat menyayat hati. "AKU... AKU NGGAK AMBIL UANG ITU... AKU NGGAK MENCURI... TAPI KENAPA NGGAK ADA YANG PERCAYA... KENAPA... KENAPA MEREKA BILANG AKU PENCURI... KAKAK... AKU NGGAK KUAT... AKU NGGAK KUAT LAGI..."
Fajar menangis semakin keras mendengar suara adiknya yang hancur seperti itu.
"Ran... Dik... Kakak percaya sama kamu," kata Fajar dengan suara bergetar sangat hebat. "Kakak tahu kamu nggak mencuri. Kamu bukan pencuri. Kamu anak baik. Kakak tahu itu."
"Tapi... tapi mereka nggak percaya, Kak..." isak Rani. "Guru-guru nggak percaya... Temen-temen nggak percaya... Mereka semua bilang aku pencuri... Di sekolah kemarin... Bu Lastri teriak-teriak di depan kelas... Di depan semua orang... Bilang aku pencuri miskin yang nggak punya malu... Murid-murid ngetawain aku... Ada yang lempar penghapus ke aku... Ada yang ludahin aku waktu aku jalan keluar kelas... Kakak... aku... aku nggak tahan... Aku mau mati aja..."
"JANGAN!" teriak Fajar dengan suara penuh kepanikan. "JANGAN BILANG BEGITU! JANGAN PERNAH BILANG MAU MATI! KAMU DENGAR AKU, RAN?!"
"Tapi hidup kayak gini sakit banget, Kak... Setiap hari dihina... Dicaci... Sekarang malah dituduh pencuri... Aku udah nggak kuat... Aku capek, Kak... Aku capek banget..."
Fajar merasakan dadanya seperti ditusuk ribuan pisau. Ia ingin terbang ke rumah sekarang juga. Ingin memeluk adiknya. Ingin bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tahu itu bohong. Tidak akan baik-baik saja. Mereka orang miskin. Tidak ada yang akan percaya pada mereka.
"Ran... dengar Kakak baik-baik," kata Fajar dengan suara gemetar tapi berusaha sekuat tenaga terdengar tegas. "Kamu nggak sendirian. Kamu punya Kakak. Kamu punya Ibu. Kamu punya Ayah. Kita semua percaya sama kamu. Dan suatu hari nanti... suatu hari nanti Kakak janji... Kakak akan buktikan pada semua orang yang udah nyakitin kamu... bahwa mereka salah. Kakak akan sukses. Kakak akan angkat derajat keluarga kita. Dan orang-orang yang udah nginjak-injak kita akan menyesal."
"Tapi... tapi itu masih lama, Kak... Aku nggak tahu aku bisa bertahan sampai saat itu atau nggak..."
"KAMU HARUS BERTAHAN!" Fajar hampir berteriak. "Kamu harus, Ran! Karena kalau kamu menyerah... kalau kamu pergi... Kakak akan kehilangan alasan untuk terus berjuang. Kamu adalah salah satu alasan terbesar Kakak kerja keras di sini. Kakak pengen suatu hari nanti kamu bisa sekolah lagi. Kuliah. Jadi orang sukses. Kakak pengen lihat kamu bahagia. Jadi please... please jangan menyerah."
Rani menangis semakin keras. "Kakak... aku kangen Kakak... Aku pengen Kakak pulang... Aku pengen dipeluk Kakak..."
"Kakak juga kangen kamu, Dik. Sangat kangen. Dan Kakak janji... Kakak akan pulang. Sebentar lagi. Tunggu Kakak ya. Tunggu Kakak..."
Mereka menangis berdua di telepon—satu di kota besar yang kejam, satu di desa yang tidak kalah kejam. Dua orang yang dipisahkan jarak ratusan kilometer tapi dihubungkan oleh ikatan darah dan cinta yang sangat dalam.
Setelah beberapa lama, Bu Nirmala mengambil alih telepon lagi.
"Jar... Rani sudah agak tenang. Ibu akan jaga dia. Kamu jangan khawatir. Fokus di sana. Kita akan baik-baik saja."
Tapi Fajar tahu itu bohong. Mereka tidak akan baik-baik saja.
"Bu... maafin aku," bisik Fajar dengan suara hancur total. "Maafin aku yang nggak bisa lindungi Rani. Aku... aku merasa gagal jadi kakak."
"Kamu bukan kakak yang gagal," kata Bu Nirmala dengan suara lembut penuh cinta. "Kamu kakak terbaik yang Rani punya. Kamu udah berjuang keras untuk keluarga. Ini bukan salah kamu. Ini salah dunia yang kejam pada orang miskin kayak kita."
Setelah telepon berakhir, Fajar duduk di pinggir jalan lama sekali. Ia tidak bergerak. Hanya menatap kosong ke kegelapan malam.
Orang-orang lewat. Motor lewat. Mobil lewat. Tapi Fajar tidak bergerak.
Ia merasa... hampa. Marah. Sedih. Putus asa.
Kenapa? Kenapa dunia begitu kejam pada keluargaku? Apa salah kami? Salah kami hanya karena miskin? Kenapa orang miskin harus selalu diinjak-injak? Kenapa tidak ada keadilan?
Ia menatap tangannya yang gemetar. Tangan yang penuh kapalan. Tangan yang setiap hari mencuci piring untuk bertahan hidup. Tangan yang terlalu lemah untuk melindungi adiknya.
Aku lemah. Aku tidak berguna. Aku tidak bisa lindungi Rani. Aku hanya bisa diam di sini, ratusan kilometer jauhnya, sementara adikku hancur di sana.
Air matanya jatuh lagi.
Tapi kemudian, di tengah kesedihan yang sangat dalam, ada sesuatu yang lain muncul.
Kemarahan.
Kemarahan yang sangat besar.
Bukan kemarahan pada orang tertentu. Tapi kemarahan pada sistem. Pada dunia yang tidak adil. Pada masyarakat yang meremehkan orang miskin.
Dan dari kemarahan itu, muncul tekad.
Tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.
Aku tidak akan biarkan Rani menderita sia-sia. Aku tidak akan biarkan keluargaku terus diinjak-injak. Aku akan sukses. Aku harus sukses. Tidak peduli caranya. Tidak peduli pengorbanannya. Aku akan sukses dan aku akan buktikan pada semua orang yang pernah meremehkan kami... bahwa kami layak dihormati.
Fajar berdiri. Mengangkat sepedanya yang terjatuh. Mengayuhnya pulang ke kos dengan mata masih basah tapi rahang mengeras.
Malam itu, ia tidak tidur.
Ia duduk di meja kecil kamarnya, menyalakan lampu, dan menulis dengan sangat serius.
RENCANA BISNIS - REVISI
Target baru: Launch dalam 2 bulan (bukan 4 bulan)
Alasan: Rani butuh aku segera. Keluarga butuh aku segera. Aku tidak bisa tunggu lama. Aku harus cepat sukses.
Ia menulis sampai subuh. Merevisi semua plan-nya. Membuat strategi leb
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.