Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak Resiko
Malam itu, udara di gudang arang terasa lebih berat dari tumpukan karung goni yang mengelilingi mereka. Ketegangan adalah makhluk hidup yang merayap di dinding batu, menyelinap di antara celah-celah papan, dan mencekik napas dalam keheningan yang pekat. Sapu tangan sutra Kaisar yang terlipat rapi, tersimpan aman di dalam saku Han Qiu, terasa seperti bara api kecil—sebuah mandat suci sekaligus surat perintah hukuman mati.
“Kau yakin kita siap untuk ini?” bisik Li, suaranya nyaris tidak terdengar di antara embusan napasnya sendiri.
“Tidak ada kata siap untuk hal seperti ini, Li,” jawab Han Qiu, suaranya datar dan terkendali. Ia berlutut di depan panggangan batu bata darurat, matanya memindai setiap detail persiapan mereka seolah sedang memeriksa formasi pasukan sebelum perang. Ember-ember berisi kain basah berjajar rapi. Sebuah wadah besar berisi pasir kering berada dalam jangkauan.
“Kita hanya bisa menjadi sangat, sangat berhati-hati.”
Ia menarik napas dalam-dalam, mengusir bayangan wajah Chef Gao yang murka dari benaknya. Insiden di gudang kayu bakar beberapa malam lalu adalah peringatan yang mengerikan. Mereka terlalu ceroboh. Malam ini, tidak boleh ada satu pun kesalahan.
“Nyalakan arangnya. Perlahan.”
Dengan tangan yang kini lebih mantap, Han Qiu menyulut sepotong kayu kecil dan memindahkannya ke tumpukan arang. Li segera mengarahkan kipasnya, mengembuskan angin dengan ritme yang lambat dan stabil.
Wusshh… wusshh… Titik-titik merah mulai merayap di permukaan arang, berubah menjadi jingga, lalu semakin terang. Panas yang kering dan intens mulai memancar, membuat udara di sekitar mereka bergetar.
“Lebih cepat, Li. Kita butuh panas maksimal,” perintah Han Qiu.
Li mempercepat gerakan kipasnya. Bara arang itu seolah menarik napas, memutih di tepiannya, menyala dengan amarah yang sunyi. Tidak ada lidah api, hanya panas murni yang membutakan.
“Sekarang!”
Han Qiu mengambil lima tusuk sate pertama. Dengan satu gerakan cepat, ia meletakkannya di atas panggangan.
TSSSSSSSSSS!
Suara desisan itu meledak di dalam keheningan, seratus kali lebih keras dari yang mereka duga. Seketika, aroma yang paling terlarang di seluruh istana membubung ke udara. Gurihnya daging rusa yang dimarinasi, manisnya gula yang bertemu panas, dan sentuhan pedas dari bumbu rahasia—semua bercampur menjadi satu wewangian yang bisa membangunkan orang mati, atau lebih buruk lagi, membangunkan Chef Gao.
Setetes lemak jatuh ke bara putih.
WUSSSSH!
Gumpalan asap tebal dan harum langsung menyembur, ditarik oleh lubang ventilasi, tetapi sebagian besar tetap berputar-putar ganas di bawah langit-langit gudang.
“Sial! Baunya!” pekik Li panik, matanya membelalak ngeri. Ia terus mengipasi, tetapi tatapannya tertuju ke pintu, seolah mengharapkan para penjaga mendobraknya setiap saat.
“Seluruh istana bisa mencium ini, Xiao Lu! Ini lebih kuat dari obat bisul busuk mana pun yang bisa kita karang!”
“Fokus, Li! Balik satenya!” bentak Han Qiu, suaranya tajam. Ia sendiri sudah membalik tusuk sate dengan kecepatan kilat. Permukaan daging berubah menjadi cokelat keemasan dengan bintik-bintik hangus yang sempurna.
“Tiga menit! Kita hanya punya waktu tiga menit per batch!”
Mereka bekerja seperti mesin yang diminyaki dengan adrenalin dan teror.
“Batch pertama selesai!” seru Han Qiu, mengangkat kelima sate itu dan meletakkannya di atas kain bersih. “Batch kedua, cepat!”
Ia meletakkan lima tusuk sate berikutnya. Suara desisan dan ledakan aroma yang sama kembali terjadi. Kali ini, Li sudah lebih siap. Ia mengipasi dengan kekuatan penuh, mencoba mengarahkan asap sebanyak mungkin ke ventilasi.
“Kita seperti sedang memanggang bukti kejahatan kita sendiri,” desah Li di antara embusan kipasnya.
“Kalau kita selamat dari ini, aku akan menjadi biksu.”
“Kalau kita selamat, kau akan makan sisa sate ini sampai kau tidak bisa berdiri,” balas Han Qiu tanpa menoleh, matanya terpaku pada daging yang sedang memasak.
“Itu hadiah yang lebih baik.”
Mereka berhasil menyelesaikan batch kedua. Sepuluh tusuk sate sudah matang. Tinggal sepuluh lagi. Jantung mereka berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Setiap detik terasa seperti satu jam.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara lonceng logam yang menggema pelan.
Teng… Teng… Teng…
Keduanya membeku. Kipas di tangan Li berhenti bergerak.
“Apa itu?” bisik Han Qiu.
Wajah Li berubah menjadi putih seperti kertas.
“Lonceng… Lonceng pergantian patroli. Tapi… tapi ini bukan waktunya. Seharusnya masih satu jam lagi.”
“Apa maksudmu?”
“Mereka mengubah jadwalnya! Sialan! Pasti karena insiden beberapa malam lalu, Gao memerintahkan patroli diperketat!” Li melempar kipasnya ke lantai.
“Mereka akan lewat sini sebentar lagi! Kita harus memadamkannya! Sekarang!”
“Tapi satenya!” protes Han Qiu, menunjuk lima tusuk sate di panggangan yang baru setengah jalan memasak.
“Ini masih mentah di dalam!”
“Persetan dengan satenya! Kau mau kepala kita yang dipanggang besok pagi?!” raung Li panik. Tanpa menunggu perintah, ia menyambar wadah pasir dan menumpahkannya ke atas bara.
FWWWOOOSHHH!
Bara itu padam seketika, digantikan oleh kepulan debu pasir yang menyesakkan. Asap berhenti, tetapi aroma daging panggang yang pekat masih menggantung di udara seperti hantu.
“Kain basah! Cepat!” perintah Han Qiu, pulih dari keterkejutannya.
Mereka menyambar kain-kain basah dari ember dan mulai mengibas-ngibaskannya di udara, menyeka panggangan, dinding, dan lantai dengan gerakan panik. Mereka harus menghilangkan baunya sebelum patroli tiba.
Suara langkah kaki yang berirama mulai terdengar dari kejauhan, semakin mendekat.
Tap… tap… tap… tap…
“Sembunyi!” desis Li, menarik Han Qiu ke balik tumpukan karung arang tertinggi di sudut paling gelap.
Mereka menahan napas, meringkuk dalam kegelapan yang diwarnai bau arang basah, pasir, dan aroma sate yang membandel. Langkah kaki itu semakin dekat, kini tepat di luar pintu gudang. Jantung Han Qiu serasa berhenti berdetak. Ia bisa mendengar percakapan lirih para penjaga.
“…bau aneh malam ini. Seperti ada yang membakar dupa manis.”
“Mungkin dari kuil permaisuri. Sudahlah, ayo lanjut. Aku sudah tidak sabar ingin tidur.”
Langkah kaki itu perlahan menjauh, suaranya meredup hingga akhirnya hilang ditelan keheningan malam.
Han Qiu dan Li tetap diam membeku selama beberapa menit, tidak berani bergerak. Ketika mereka yakin sudah aman, Li merosot ke lantai, tubuhnya gemetar hebat.
“Sudah kubilang,” isaknya pelan, suaranya pecah.
“Sudah kubilang ini terlalu berbahaya. Kita hampir saja… kita hampir saja…”
Han Qiu tidak menjawab. Ia merangkak keluar dari persembunyian dan menyalakan kembali sumbu minyaknya. Cahaya kecil itu menerangi pemandangan bencana: panggangan yang berantakan tertutup pasir, lantai yang basah, dan yang terburuk, tumpukan sate. Lima belas tusuk tampak sempurna. Lima tusuk terakhir… warnanya pucat, dengan beberapa bagian luar yang baru mulai kecokelatan, tetapi jelas masih mentah di bagian dalamnya.
“Kita buang saja yang lima itu,” kata Li dengan suara lelah. “Lima belas sudah lebih dari cukup untuk Kaisar. Kita berhasil, Xiao Lu. Kita bawa ini dan kita pergi.”
Han Qiu mengambil salah satu sate yang setengah matang itu. Ia menekannya dengan jari. Dagingnya masih lembek dan dingin di bagian tengah. ingatan akan rasa sakit yang merobek perutnya, keringat dingin, dan kegelapan yang menelannya. Keracunan makanan.
“Tidak,” katanya dengan suara yang begitu dingin hingga Li terkejut.
“Apanya yang tidak? Kita tidak punya pilihan lain!”
“Kita tidak akan menyajikan ini,” kata Han Qiu tegas, matanya menatap tajam pada sate di tangannya.
“Ini berbahaya. Daging yang dimasak setengah matang, apalagi daging yang sudah dimarinasi, adalah sarang bakteri. Memberikan ini pada Kaisar, yang sistem kekebalan tubuhnya sudah lemah… itu sama saja dengan memberinya racun.”
Li menatapnya tak percaya.
“Racun? Xiao Lu, ini hanya sate yang kurang matang! Lebih baik daripada tidak sama sekali! Kita tidak bisa menyalakan api lagi malam ini. Kau dengar sendiri, patrolinya tidak bisa ditebak!”
“Aku lebih baik gagal daripada membunuh Kaisar dengan tanganku sendiri,” desis Han Qiu. Trauma masa lalunya bangkit dengan kekuatan penuh. Ia tidak akan pernah, sekali pun, menjadi penyebab penderitaan yang pernah ia alami.
“Ini harus dimasak sampai matang. Semuanya.”
“Kau gila!” pekik Li, berdiri dengan frustrasi.
“Bagaimana caranya?! Menunggu sampai besok? Satainya akan basi! Menyalakan api lagi sekarang? Itu bunuh diri!”
Han Qiu meletakkan sate itu kembali. Otaknya berputar, mencari solusi di tengah keputusasaan. Mereka tidak bisa menyalakan panggangan arang lagi. Terlalu banyak asap, terlalu banyak risiko. Tapi daging itu harus dipanaskan. Harus mencapai suhu aman. Bagaimana caranya? Panas tanpa api besar… panas tanpa asap…
Sebuah ide gila, sebuah solusi putus asa, mulai terbentuk.
“Ada cara lain,” bisik Han Qiu, matanya beralih dari sate ke tumpukan arang yang baru saja dipadamkan.
“Cara yang lebih cepat, lebih senyap… tapi juga lebih gila.”
“Cara apa lagi?” tanya Li waspada.
Han Qiu menatap lurus ke arah Li, ekspresinya dipenuhi tekad yang menakutkan.
“Kita akan memanaskannya kembali. Tapi bukan di sini.” Ia menunjuk ke atas, ke arah dapur utama yang kini sunyi senyap.
“Kita akan menggunakan wajan panas. Wajan besi tebal di atas tungku yang apinya paling kecil. Panas langsung, tanpa asap arang.”
Li mundur selangkah, seolah Han Qiu baru saja menyarankan mereka untuk menari telanjang di depan aula utama.
“Ke… ke dapur utama? Sekarang? Di tengah malam? Itu sarang singa, Xiao Lu! Gao bisa saja ada di sana! Atau penjaga dapur!”
“Justru karena itu tidak ada yang menyangkanya,” balas Han Qiu.
“Kita hanya butuh lima menit. Panaskan wajan sampai berasap, masukkan sate, bolak-balik beberapa kali, lalu keluar. Cepat, senyap, dan efektif.”
“Tidak. Tidak mungkin. Aku tidak mau,” Li menggelengkan kepalanya dengan keras, matanya dipenuhi teror.
“Risikonya terlalu besar. Kita sudah punya lima belas sate yang bagus. Lupakan yang lima ini!”
“Dengar, Li!” Han Qiu mencengkeram lengan kasim itu, memaksanya untuk menatapnya.
“Ini bukan lagi soal rasa. Ini soal integritas! Ini soal nyawa Kaisar! Aku tidak akan mempertaruhkan kesehatannya hanya karena kita takut! Kita sudah sejauh ini. Apa kau mau semua pengorbanan kita berakhir dengan Kaisar yang sakit perut atau lebih parah karena kelalaian kita?”
Argumen mereka yang sengit dan berbisik terhenti seketika.
Dari luar pintu gudang yang tertutup rapat, terdengar suara garukan pelan.
Kreek… kreek… sret…
Bukan suara langkah kaki. Bukan suara manusia. Itu suara sesuatu yang menggaruk-garuk kayu, mencoba mencari celah.
Mata mereka bertemu dalam kengerian yang sama. Mereka tidak sendirian. Ada sesuatu—atau seseorang—di luar sana.
Suara garukan itu berhenti, digantikan oleh suara endusan yang keras dan basah, tepat di celah bawah pintu.