NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu Melihat Tanda

Pagi itu, rumah Raga bukan saja sunyi; ia seperti tenggelam dalam kain kafan keheningan yang tebal dan bermata air. Suara ayam jantan tetangga, yang biasanya meledak-ledak menyambut fajar, teredam, terpotong di tenggorokan—seolah alam sendiri menahan napas, enggan melintasi garis batas pagar halaman yang tak terlihat.

Udara terasa padat, penuh dengan gravitasi yang tidak biasa, seakan-akan langit-langit rumah perlahan-lahan turun mendekati mahkota kepala.

Ibu berdiri di ruang tengah, tangannya memegang sapu lidi, tetapi pikirannya jauh melayang. Gerakannya menyapu hanya refleks otot, sementara seluruh indranya tercerap pada sesuatu yang lain. Lalu ia merasakannya—aliran udara dingin yang merayap dari koridor belakang, menyelinap di antara celah lantai kayu yang sudah tua.

Dingin itu berbeda; bukan dingin pagi atau angin dari lubang angin, melainkan dingin yang lembap, basah, membawa serta ingatan akan tempat-tempat tertutup dan terlupakan. Bulu kuduknya meremang, satu per satu, bagai gandum diterpa angin malam.

“Bujang?” panggilnya, suaranya lirih, hampir seperti bisikan doa.

Hanya kesunyian yang menjawab. Bahkan jam dinding kayu di dinding seakan berdetak lebih pelan.

Ibu menaruh sapunya, perlahan-lahan berjalan menyusuri koridor sempit. Sinar matahari pagi yang memasuki jendela kecil memotong kabut debu halus yang berputar malas, menciptakan pilar cahaya yang justru membuat bayangan di sekitarnya terasa lebih dalam dan lebih gelap.

Dengan setiap langkah, ia semakin dekat ke bilik tua—bilik yang pintunya selalu tertutup, yang kuncinya telah lama hilang, dan yang namanya hanya disebut dalam nada rendah penuh hormat.

Lalu, tercium lah wanginya.

Aroma melati. Tidak hanya lembut, tetapi juga tajam, menusuk hidung, memenuhi rongga kepala seperti parfum yang dituang terlalu banyak. Wangi itu membawa serta serbuan ingatan—Ibu teringat masa-masa ketika.

Angku, ayahnya, masih sering duduk di beranda sambil mengisap rokok nipah menceritakan kisah Tuanku Haji Rusdi. Wangi melati ini selalu hadir bersamaan dengan cerita-cerita itu, seperti pendamping setia, pertanda bahwa yang dibicarakan bukan sekadar dongengan, tetapi sesuatu yang pernah benar-benar hidup… atau mungkin belum mati.

Ibu tercekat, darahnya seakan membeku. Wangi ini tidak pernah muncul tanpa alasan. Ia adalah bahasa halus dari dunia yang seharusnya tidak lagi menyapa.

“Bujang!” panggilnya lagi, kali ini lebih keras, dengan desakan ketakutan yang nyaris tidak tertahan.

Raga muncul dari kamarnya. Wajahnya pucat, matanya berkantung hitam, seperti seseorang yang baru bertarung sepanjang malam dalam mimpi yang tak bisa ia tinggalkan. Napasnya terengah, satu tangannya menekan dada, seolah mencoba menenangkan jantung yang berdegup kencang dan tidak beraturan.

“Ada apa, Bu?” suaranya parau, teriris kelelahan dan sesuatu yang lain—kebingungan yang mendalam.

Ibu tidak menjawab hanya mengangkat tangan, jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah koridor belakang, ke arah bilik tua yang seakan memancarkan aura sendiri. Raga mengikuti arah tunjuk itu, dan wajahnya semakin pucat. Ia juga menciumnya. Melati. Wangi yang sama yang menghantui tidurnya, yang mengalir dalam mimpinya tentang sungai, perahu, dan panggilan nama dari kejauhan.

Ibu mendekat, matanya menatap dalam. Dalam sorot mata Raga, ia tidak hanya ketakutan, tetapi juga pengakuan—pengakuan bahwa sesuatu telah melampaui batas mimpi.

“Kamu mimpi sesuatu lagi?” tanya Ibu, suaranya berat penuh beban.

Raga menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur kata-kata. “Raga… tidak yakin lagi mana mimpi dan mana bukan. Tapi pagi tadi, sebelum bangun… raga mendengar suara itu lagi, kebih jelas seperti ada yang berbisik tepat di samping telinga

.”

Ibu menarik napas dalam.Desahannya panjang dan penuh kepedihan—suara seorang ibu yang telah lama menunggu badai ini datang, berharap ia salah, tetapi kini tahu bahwa harapannya sia-sia. Ia meraih tangan Raga, menggenggamnya erat, seolah ingin memindahkan seluruh kekuatan dan perlindungan yang ia miliki melalui sentuhan.

“Bujang…,” bisiknya, suaranya pecah. “Kamu harus jujur sama Ibu. Semuanya. Sejak kapan?”

Raga menunduk, rasa bersalah dan ketakutan beradu di dalam dadanya. Lalu, dengan suara kecil yang hampir hilang dalam kesunyian rumah, ia mengaku:

“Dia… memanggil namaku, Bu. Bukan dalam mimpi saja. Kadang… saat aku sendiri, di kamar mandi, atau ketika menulis. Seperti ada yang membisikkan ‘Raga’ dari balik dinding. Dan wangi melati itu… selalu muncul setelahnya.”

Ibu melepaskan genggamannya. Tubuhnya sedikit terhuyung, wajahnya yang biasanya tegar mendadak keriput, menua sepuluh tahun dalam sekejap. Di balik ketakutan yang membekukan, ada lautan kesedihan dalam—kesedihan karena tahu bahwa anaknya telah terikat, disentuh oleh sesuatu yang seharusnya telah pergi, sesuatu yang berasal dari perjanjian dan janji masa lalu yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

Matanya beralih ke bilik tua di ujung koridor. Pintu kayu jati tua itu tampak biasa, lapuk, ditutupi lapisan debu. Tapi Ibu tahu. Ia tahu dari cara Angku menghindarinya, dari cara suaminya menurunkan suara setiap kali bilik itu disebut. Pintu itu bukan sekadar penutup ruangan; ia adalah penjaga, segel, pembatas antara yang ‘di sini’ dan yang ‘di sana’.

“Raga,” ucap Ibu, dengan suara datar penuh penyerahan. “Bilik itu… Angku dulu menyimpan sesuatu di sana. Sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian keluarganya dengan Tuanku Haji Rusdi. Sesuatu yang harus dijaga, tidak boleh dibuka, tidak boleh disentuh, apalagi dibangkitkan.

Angku bilang, selama benda itu diam, selama pintu itu tertutup, semuanya akan baik-baik saja.” Ia menatap Raga lagi, matanya berkaca-kaca. “Tapi wangi ini… wangi melati ini adalah tanda. Tanda bahwa sesuatu telah terbangun.”

Raga ingin bertanya, ingin tahu apa sebenarnya ‘benda’ itu, apa isi perjanjian itu, mengapa keluarganya harus terlibat. Namun kata-katanya tertahan di tenggorokan ketika ia melihat Ibu mendekati pintu bilik tua itu. Dengan langkah gemetar, Ibu mengulurkan tangan, menyentuh permukaan kayu yang berukir sederhana.

Saat ujung jarinya menyentuh kayu, ia menarik napas tajam.

Kayu itu dingin membeku. Dingin yang menusuk, seperti menyentuh es yang tidak pernah mencair, atau seperti kulit sesuatu yang telah lama terbaring di dalam tanah. Bukan dingin alamiah. Ia adalah dingin yang asing, dingin yang berasal dari tempat lain.

Ibu segera menarik tangannya, memeluk tubuhnya sendiri, ketakutan.

Dan di saat itulah, sesuatu terjadi.

Dari celah kecil di bawah pintu, di antara bayangan yang pekat, muncul secarik putih yang kontras.

Sehelai bunga melati.

Segar, putih bersih, kelopaknya masih menggulung sempurna. Di ujung tangkainya, ada tetesan embun—atau mungkin air—yang membuatnya terlihat basah, baru dipetik. Bunga itu seolah didorong keluar dari dalam bilik oleh sebuah tangan yang tak terlihat, bergerak pelan beberapa sentimeter ke arah mereka, lalu berhenti.

Ibu menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak, tidak percaya.

Raga mundur selangkah, punggungnya membentur dinding koridor. Jantungnya berdebar kencang, memukul tulang rusuknya seperti genderang perang. Ia ingin berteriak, ingin lari, tetapi kakinya terasa tertanam di lantai.

Ruangan dipenuhi oleh aroma melati yang kini semakin kuat, hampir memabukkan, dan oleh keheningan yang lebih menakutkan daripada teriakan mana pun.

Sebelum mereka bisa bergerak atau berkata-kata lebih jauh, dari luar rumah tiba-tiba terdengar derap langkah cepat dan berat—langkah seseorang yang berlari, tergopoh-gopoh, menginjak tanah dan anak tangga tanpa peduli keselamatan atau kesopanan.

Tok-tok-tok-tok!

Pintu depan diketok dengan keras, hampir seperti dipukul.

“Assalamualaikum! Buka! Cepat buka!”

Suara itu berat, parau, dan dipenuhi kepanikan yang tidak biasa. Suara Angku.

Ibu dan Raga bertukar pandang. Dalam sekejap, ketakutan mereka berlipat ganda. Karena di kampung ini, di dunia yang diatur oleh tata krama dan kesantunan, tidak ada alasan bagi seorang tua seperti Angku untuk datang berlari dan mengetok pintu seperti orang dikejar, kecuali untuk dua hal: berita kematian…

…atau tanda-tanda bahwa sesuatu dari masa lalu yang seharusnya mati, telah bangkit.

Dan bunga melati yang masih terbaring di lantai, segar dan basah, adalah jawabannya.

l

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!