Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Hujan Dibalik Hutan
Malam itu, mereka berdua terpaksa terkunci dalam satu kamar. Namun entah mengapa, seketika rasa kantuk dua insan yang baru saling mengenal, seolah sirna terhempas angin malam.
Airi dan Kuyan, menghabiskan beberapa menit kebersamaannya dalam keheningan yang canggung. Hanya ada suara detik jam, dan angin sepoi-sepoi yang menggerakkan ranting pohon untuk mengetuk jendela menemani mereka.
“Kuyan,” panggil Airi tiba-tiba memecah keheningan.
“Hmm?” sahut Kuyan singkat.
“Apa kamu.. Penggemar band Silent Cold Fire?” tanya Airi tanpa basa-basi.
Sontak membuat Kuyan tersedak ludahnya sendiri. “A-apa!?” tanyanya sedikit gugup bercampur terkejut.
“Banyak poster mereka terpajang di kamarmu. Apa kamu penggemar mereka?” Airi mengulangi pertanyaannya.
“Ah? Oh? Poster itu? Ya, begitulah. Menurutmu, mereka bagaimana?” gugup Kuyan, mengembalikan pertanyaan.
“Tak perlu gugup begitu. Aku juga paham, bahwa lelaki jika menyukai grup band yang personelnya laki-laki, itu murni menyukai gaya bermusiknya. Aku juga sangat menyukai band itu.”
“Be-begitu kah? Siapa personel yang paling kamu suka?” entah mengapa Kuyan menjadi sangat penasaran akan selera Airi.
“Jelas vokalisnya, dong! Rakuyan Yakuma itu, sudah memiliki suara yang khas, sikap ceria dan ramah, kemampuan menulis lirik lagu yang indah, tampan pula! Tipe calon suami idaman deh!” jawab Airi tanpa ragu, membanggakan sosok idolanya.
Degh! Lagi-lagi Kuyan tersedak ludahnya sendiri. Terkejut mendengar bahwa ia yang paling disukai oleh Airi, namun juga pilu mengingat fakta bahwa dirinya tak bisa kembali ceria seperti dulu.
“Oh..” hanya itu yang mampu Kuyan berikan sebagai respon, ditengah situasi gugup ini.
“Tapi sayangnya… mereka hiatus dan Yakuma menghilang.” lanjut Airi dengan nada kecewa.
“Aku benar-benar berharap, mereka bisa bermusik lagi.”
Kuyan hanya bisa ikut merasa pilu mendengarnya. Kenangan buruk pun mulai membanjiri benaknya, kenangan yang membuatnya harus berhenti bermusik.
“Menurutmu bagaimana, Kuyan? Kemana Yakuma pergi, dan mengapa ia menghilang?”
“Kau tahu kasus yang membuat mereka hiatus?” tanya Kuyan, kembali pada intonasi dingin.
“Tahu. Tapi, itu hanya tuduhan tanpa bukti, kan?” jawab Airi, penuh harap.
“Jika tuduhan itu benar terjadi, apa kau akan tetap menyukai Yakuma, Airi?” tanya Kuyan, kali ini suaranya bergetar, wajahnya juga pucat.
“Tak mungkin! Aku tak percaya dia orang yang seperti itu! Jika pun itu memang benar, apa pula alasannya melakukan itu!?”
“Anggap saja, faktor ketidaksengajaan. Bagaimana? Kau masih menyukainya?”
“Jika memang tidak sengaja, berarti dia tidak salah! Satu-satunya kesalahannya, adalah melarikan diri. Andai aku bisa menemuinya, akan ku dekap dia sambil memberikan dukungan!”
“Begitu kah? Terimakasih,” untuk pertama kalinya, Kuyan mengucapkan terimakasih dengan begitu jelas. Meski masih belum dimengerti apa tujuannya berterimakasih.
“Hah!?” tanya Airi heran.
“Mak-maksudku, terimakasih karena telah menjawab pertanyaanku! Aku ikut senang jika kau memang akan terus mendukungnya, karena jujur aku pun menyukai dan merindukannya!” jawab Kuyan memberi klarifikasi, namun justru menambah kesalahpahaman.
“Haah!?” Airi semakin terkejut mendengar itu.
“Maksudku.. menyukai bakat bermusiknya!” kali ini, Kuyan memberikan klarifikasi dengan sangat jelas.
“Oh.. Orang sehebat dia, mengapa harus menghilang ya?”
“Lukanya terlalu berat, Airi. Dia hanya ingin menyendiri hingga tenang dan benar-benar pulih.” jawab Kuyan, sendu.
Andai dia mengatakan yang sebenarnya, apa Airi akan benar-benar mendekap dan memberinya dukungan? Ia rindu mendapat perlakuan seperti itu, namun masih enggan untuk berurusan dengan perempuan.
Lagipula, ia ingin Airi melakukan hal itu karena tulus menyukainya, bukan bakat bermusik atau keceriaannya yang telah lama ia kubur. Itulah sebabnya ia merasa, tetap menyembunyikan fakta itu adalah pilihan yang terbaik.
Malam semakin larut, suasana hening kembali membawa canggung. Airi, yang tadinya paling aktif bicara setelah menangis hanya karena kecerobohannya, perlahan mulai terlelap akibat lelah.
Sedangkan Kuyan, masih terjaga duduk di kursi kerjanya. Ia meratapi berbagai poster pada dinding, mengenang masa-masa indah yang pernah dirasakan kala itu.
Sensasinya saat sedang bernyanyi di atas panggung, sorak sorai penonton yang menggema, canda tawa saat pesta kecil setelah tampil bersama teman-temannya, hingga tragedi mengerikan terjadi dan menghancurkan segalanya.
Tragedi yang disebabkan oleh gangguan dari perempuan di masa lalunya. Jika ia tidak terlalu cepat menaruh hati pada perempuan, dan andai dia tidak tenggelam dalam rasanya, mungkin hal mengerikan ini tidak akan terjadi.
“Satu-satunya kesalahanku, hanyalah melarikan diri, ya?” gumamnya pelan, mengingat apa yang Airi katakan tentang Yakuma sosok idolanya.
“Apa jika aku mengakui kesalahanku, dia benar akan memaafkan dan mendukungku?” gumamnya lagi, kali ini sembari memandang ke arah gadis yang sedang tertidur pulas dihadapannya.
“Airi, dia.. entah mengapa sangat mirip dengan yang ku lihat saat tragedi itu terjadi.” Kuyan mulai mengingat setiap detail yang sempat terlupakan akan masa suram itu.
Mengingat perempuan yang menangisi raga keluarga terkasihnya, meski hanya melalui spion mobil dapat terlihat jelas bahwa ia merasakan elegi yang begitu mendalam.
Raga tak bernyawa dan darah yang tercecer di jalan, juga membangkitkan rasa takut serta penyesalan dalam jiwa Kuyan. Ia menutup rapat kedua mata dan telinga, sembari meringkuk ketakutan.
“Maaf..! Aku tak bermaksud membunuh mereka..! Itu hanya kecelakaan.. hiks..! Tolong, jangan pernah membenciku! Harus kepada siapa aku meminta maaf akan hal itu? Dan, apakah ia akan mengampuni ku? Aku takut..hiks.. hiks..!” isaknya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Meski samar, Airi sedikit terbangun mendengar suara tangisan Kuyan. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun satu hal yang ia yakini pria itu sedang terjebak dalam trauma dan ketakutan besar.
Bagai sebuah sleep walking, dengan setengah sadar Airi mendekap lembut Kuyan sembari mengusap rambutnya. Yang mendapat sentuhan hangat itu sempat tersentak, atensinya teralih pada siapa yang memberi perlakuan tersebut.
“Jangan takut, Kuyan. Aku ada di sini, dan kau bisa dengan jujur bicara apapun terbuka padaku. Aku akan mendukungmu, percayalah padaku.” ucap Airi dengan teramat lembut, mencoba menenangkan walau dia sendiri tidak sadar akan apa yang sedang ia lakukan.
Tentu saja Kuyan tersentuh hatinya ketika mendengarkan hal itu, ia sangat ingin berkata jujur dan mengakuinya. Namun yang bisa keluar dari kerongkongannya hanyalah, suara tangisan histeris.
Ia terus menangis histeris sembari mendekap erat pinggul Airi, kepalanya ia sandarkan pada dada. Sedangkan Airi, dengan segala kelembutannya setia mengusap rambut Kuyan yang beraroma khas Cendana.
“Tak apa, Kuyan. Kau bisa meluapkannya dalam bentuk apapun. Jika bercerita membuatmu tak nyaman, aku akan tetap mendengarkan tangisanmu. Menangis lah, hingga suasana hatimu membaik.” lanjut Airi, masih berusaha menenangkan.
Cukup lama Kuyan meneriaki tangisannya tanpa bercerita, dekapan dan usapan lembut dari Airi cukup memberinya nuansa kehangatan yang nyaman. Namun masa lalunya, terlalu menyakitkan untuk diungkapkan.
Setelah dirasa puas menangis, Kuyan perlahan mengangkat kepalanya, memindahkan tanganya pada bahu Airi, lalu menatapnya dengan hangat meski air masih menyisakan jejak pada mata.
“Terimakasih, Airi. Aku sudah merasa lebih tenang sekarang.” ucapnya lembut, dengan suara yang hampir habis.
Dalam keadaan mata setengah terpejam, Airi menyeka air mata yang sudah membanjiri pipi Kuyan sembari tersenyum manis.
“Sama-sama. Jika butuh apapun lagi, jangan sungkan minta ban-tu-an… ku… ya…” lanjut Airi dengan suara dan pelafalan yang tidak jelas, sebelum akhirnya kembali terjatuh lemas pada dada Kuyan, tertidur pulas.
Kuyan sempat terkejut melihat aksi gadis dihadapannya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia mengantuk, setelah lama menunggunya puas menangis? Atau..
“Mengigau, kah?” gumam Kuyan mempertanyakan. Namun sesaat setelahnya, ia tersenyum lega.
“Bagus lah, jika ia hanya mengigau. Mungkin besok dia akan melupakan kejadian memalukan ini.” lanjutnya.
“Jika ingat pun, aku tinggal bilang bahwa ia hanya bermimpi.” Kuyan mulai menyusun rencana, untuk menutupi kelemahannya.
Dengan lembut dan hati-hati, Kuyan mengembalikan posisi tidur Airi pada tempat tidurnya tercinta. Sedikit merapikan poni yang menghalangi wajah gadis cantik tersebut, lalu melangkah pada sofa untuk merebah dan istirahat.
“Selamat tidur, Airi. Terimakasih atas segala kepedulianmu, tapi maaf aku belum bisa terbuka padamu tentang masalah ini.” ucapnya, sembari memandang langit-langit kamar sebelum akhirnya terlelap.