NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 10 - Topeng Seleksi: Dunia di Atas Panggungku

Keesokan harinya…

Pagi hari kulewati seperti biasanya—penuh dengan ocehan, jeritan, dan teriakan tak manusiawi dari seorang pelayan istana bernama Lyra.

Kalau suatu hari suara Lyra bisa disetel jadi nada alarm, aku yakin tak akan ada satu makhluk hidup pun di seluruh benua ini yang bisa bangun kesiangan.

“TUAN MUDA! BANGUN! MATAHARI UDAH JALAN DARI TADI!”

Seketika itu juga, burung-burung di luar jendela pun kabur. Keren.

Itu sudah cukup menjelaskan kenapa aku menyebutnya alarm biologis kerajaan.

Setelah drama pagi seperti biasa—yang melibatkan sendok terbang, rebutan handuk, dan Lyra yang lagi-lagi mencoba menyelinap ikut mandi—sekarang aku duduk di kursi roda, mengenakan pakaian formal berwarna hitam kebiruan dengan jubah ringan di bahu.

Rambutku masih pendek dan rapi, dan jujur... pantulan di cermin pagi ini terlihat cukup bisa diajak berdiplomasi.

Tapi bukan itu yang penting sekarang.

Karena... siang ini, aku akan menghadiri pertemuan kerajaan.

Bukan sebagai peserta. Bukan sebagai pengamat juga.

Tapi sebagai seseorang yang akan mengenakan topeng pertamanya.

Lorong-lorong istana terasa lebih panjang dari biasanya. Mungkin karena perjalananku dilakukan dengan kursi roda yang didorong pelan oleh Lyra—yang, entah kenapa, kini wajahnya serius sekali. Mungkin karena ia tahu ini bukan sekadar "jalan-jalan lihat menteri."

Saat roda berdecit pelan di atas karpet merah yang membentang, pikiranku kembali ke malam tadi.

Aku bukan cuma bereksperimen memperkuat tubuhku. Tapi aku juga membuka beberapa buku tentang geografi dan sejarah militer kerajaan. Bagaimana bentuk tanah, distribusi desa dan benteng, serta jalur-jalur dagang utama. Pengetahuan dasar... tapi sangat penting untuk seseorang yang ingin memahami struktur kekuasaan.

“Tuan Muda... kamu yakin siap?” tanya Lyra lirih di belakangku.

Aku tersenyum tipis.

“Siap? Tidak.”

“Eh?”

“Tapi... justru karena itu aku harus datang.”

Ia diam. Tapi genggaman tangannya di belakang kursi roda terasa sedikit lebih erat.

Aku tahu ini bukan tempatku. Belum.

Tapi ini awalnya.

Pintu ruang pertemuan besar perlahan terbuka.

Suara engsel logam yang bergesekan dengan batu bergema lembut. Di dalam ruangan, puluhan mata langsung berbalik—para menteri, penasihat, bangsawan, jenderal, dan tentu saja... Raja Argus, ayahku.

Seketika, suasana berubah hening. Hanya suara roda kursi yang terus bergerak pelan menuju kursi di sisi kanan ruangan.

Beberapa menteri tampak saling berbisik.

Tentu saja mereka heran. Pangeran lemah yang selama ini tidak pernah terlihat, kini menghadiri pertemuan, tiba-tiba muncul?

Aku hanya menunduk sedikit, memasang ekspresi lelah. Seperti yang mereka harapkan dariku. Seperti yang mereka kenal dariku.

“Arlan?” Ayahku menatapku, kaget, tapi cepat menutupi ekspresinya dengan senyum tenang.

“Ayah tidak menyangka... kau datang.”

Aku menatapnya, lalu membalas dengan senyum kecil.

“Bukankah Ayah bilang... aku boleh duduk diam saja?”

Beberapa orang tertawa kecil. Bahkan Raja Argus—Ayahku, ikut terkekeh pelan. “Benar juga.”

Aku menoleh, menatap sekeliling. Wajah-wajah tua dengan jubah berat, mata-mata tajam yang terbiasa membaca situasi, bibir yang penuh dengan janji dan jebakan.

Dan di tengah mereka... aku.

Seekor anak domba di antara singa?

Atau...

Seekor rubah berbulu domba.

Topeng ini telah kupasang. Topeng yang penuh celah dan lubang agar mereka bisa melihatku... sebagai yang lemah.

Dan dari balik lubang-lubang itu... aku akan melihat balik ke dalam hati mereka.

Melihat siapa yang benar-benar peduli.

Melihat siapa yang hanya menunggu saat untuk menerkam.

Aku menegakkan tubuhku sedikit, berpura-pura menahan sakit di pinggang, dan bersandar kembali.

Lalu... aku tersenyum kecil.

Dan pertunjukan pun dimulai.

...----------------...

Ruangan itu dingin. Bukan karena suhu, tapi karena suasana yang menegang perlahan saat aku masuk dan duduk.

Para bangsawan mulai saling berbisik. Suara mereka tak cukup keras untuk disebut percakapan, tapi cukup untuk sampai ke telingaku.

“Jadi... dia... Pangeran Arlan...?”

“Benarkah itu dia? Tapi... wajahnya... dia seperti ibunya…”

“Tubuh lemah yang katanya tak pernah bisa berdiri dari ranjang itu… dia nyata…?”

“...Cerita itu benar... Cerita rakyat tentang anak raja yang sakit parah... Itu fakta!"

Kalimat-kalimat lain bersahutan seperti bisikan angin. Ada yang terdengar kagum. Ada yang samar menahan tawa. Dan ada pula yang... tulus kaget, seperti baru melihat seekor naga muncul dari dongeng masa kecil mereka.

Seorang bangsawan wanita muda dengan rambut keriting emas menatapku dengan mata membulat, suaranya nyaris seperti bisikan mimpi.

“Indah sekali... meski duduk di kursi roda, aura bangsawannya… tajam…”

Sebaliknya, seorang lelaki tua di ujung kanan mengerutkan kening, bibirnya menyeringai sinis.

“Hmph. Begini rupanya wujud yang selama ini disembunyikan istana. Lemah. Rapuh. Hanya cocok untuk dipajang, bukan bertarung.”

Yang lain mencibir ringan.

“Terlalu pucat... ku pikir dia akan tampak lebih... misterius.”

Namun ada pula yang bersuara dengan nada berat namun penuh hormat.

“Meskipun rapuh... dia menatap langsung ke mata setiap orang di ruangan ini. Itu bukan tatapan anak biasa.”

Aku tak menanggapi satu pun dari mereka. Aku hanya menatap lurus ke depan, membiarkan kereta roda ini bergulir di antara dua barisan bangku bangsawan.

Satu... dua... tiga detik.

Dan akhirnya—ayahku berbicara.

“Diam!” Suara Raja Argus, datar tapi mengandung tekanan berat, seperti palu godam yang menghantam lantai marmer.

Semua suara langsung padam.

“Putraku datang bukan untuk diadili oleh lidah kalian. Tapi untuk belajar. Ia akan diam di sana, mengamati, dan mendengarkan. Itu haknya sebagai anggota keluarga kerajaan.

Langsung saja ruangan terdiam. Semua kepala menunduk, dan pembicaraan pun dimulai.

Raja Argus berdiri di tengah ruangan, di hadapan meja panjang yang dipenuhi tumpukan dokumen, peta, dan gulungan-gulungan lilin.

Di belakangnya berdiri seorang jenderal tua dengan mata tajam dan sorot tak ramah padaku. Namanya Jenderal Harven, kepala militer barat—penguasa garis pertahanan yang berbatasan dengan wilayah pegunungan tandus bernama Tanah Hitam.

“Wilayah barat kembali mengalami gejolak.” Harven memulai dengan suara berat.

“Gerakan para bandit meningkat drastis. Kemungkinan besar... ada yang menyuplai mereka dari luar.”

“Dari luar?” tanya seorang bangsawan. “Maksud Anda, dari negara tetangga?”

“Lebih dari itu.” Harven melempar selembar peta ke meja.

“Ini laporan yang dikumpulkan oleh pengintai kami. Gerakan logistik para bandit terlalu teratur. Mereka seperti... pasukan bayangan.”

Aku memicingkan mata, memperhatikan simbol-simbol kecil yang tersebar di peta. Jalur distribusi. Titik-titik serangan. Arah mundur dan maju pasukan. Hmm...

Aku baru menyadari, dunia ini mungkin belum mengenal taktik militer secara sistematis. Tapi aku punya… sedikit bekal. Bukan karena aku pernah jadi jenderal di kehidupan sebelumnya. Tapi karena pernah menghabiskan belasan malam menonton dokumenter strategi perang di YouTube.

"Pasukan bayangan, katanya?" bisikku lirih, lalu berpikir, Atau... latihan skala kecil untuk mengukur kekuatan kerajaan ini?

Seorang bangsawan muda berdiri. Aku mengenalnya dari deskripsi di buku keluarga kerajaan—Marquis Delver. Wajahnya bersih, jubahnya mewah, tapi sorot matanya... mencurigakan.

“Aku ingin mengajukan usulan,” katanya dengan senyum tipis. “Mungkin... saatnya kita pertimbangkan untuk memperkuat peran bangsawan lokal dalam penjagaan perbatasan.”

Raja Argus menoleh, tidak berkata apa-apa.

“Dengan kondisi pasukan kerajaan yang tersebar tipis, tak ada salahnya memberi sedikit kepercayaan... pada keluarga bangsawan yang setia.”

Beberapa orang mengangguk. Beberapa... hanya diam.

Aku tahu apa maksudnya. Otonomi militer lokal. Kedengarannya seperti solusi, padahal bisa berarti tentara pribadi dengan izin legal. Jika dibiarkan, mereka bisa menciptakan kekuatan tandingan. Dan dari situ, muncul kekuasaan yang bukan berasal dari raja.

Senyumku tetap tenang. Tapi dalam hati... aku mencatat satu nama.

Delver.

Pertemuan berlangsung lebih dari dua jam...

Pembahasan meluas dari urusan perbatasan barat, alokasi makanan untuk wilayah utara yang dilanda gagal panen, hingga permintaan pembukaan jalur perdagangan baru ke selatan. Semua orang sibuk bicara, mengajukan angka, strategi, dan negosiasi.

Tapi aku?

Aku hanya mendengarkan.

Mencatat.

Menatap wajah mereka satu per satu.

Menilai ekspresi ketika mereka menyebutkan kata “kerajaan.”

Menilai tatapan mereka pada ayahku.

Dan menilai cara mereka memandangku—seseorang yang duduk di kursi roda, hanya mendengar tanpa berkata satu kata pun.

Ada yang acuh. Ada yang curiga. Ada yang menatap seperti melihat daging mentah yang tak bisa dijual.

Tapi di antara semua itu... aku melihat seseorang...

Seorang wanita bangsawan muda, duduk di sisi kanan ruangan. Wajahnya kalem, tapi matanya... menatapku dalam. Penuh rasa ingin tahu. Bukan kasihan. Bukan sinis. Tapi seolah-olah... sedang mencoba membacaku.

Aku tidak tahu siapa dia. Tapi—aku menyimpan wajah itu di ingatan.

Saat matahari mulai condong ke barat, pertemuan pun ditutup. Para bangsawan mulai bangkit, satu per satu meninggalkan ruangan.

Beberapa dari mereka menoleh ke arahku saat berjalan keluar. Tak ada sapaan. Tak ada senyuman. Hanya... pengakuan diam-diam.

“Pangeran Arlan...” terdengar lirih, suara seorang menteri tua saat ia lewat di belakangku. Tatapannya seperti mengasihaniku. Dan itulah yang kuinginkan.

Topeng ini sudah kupasang dengan rapi.

Mereka melihatku seperti yang kuinginkan—seorang pangeran lemah, duduk diam, tak berkata sepatah kata pun.

Namun di balik diam itu...

Aku mengamati. Aku menilai. Aku mencatat.

Karena dunia ini telah mengenalku sebagai pangeran yang tidak berguna.

Dan aku akan membiarkan dunia berpikir begitu... sampai waktunya tiba.

Topeng ini akan kugunakan... untuk memilih siapa yang akan kujadikan rekan.

Siapa yang akan kujadikan teman.

Dan siapa... yang harus disingkirkan lebih dulu.

1
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!