Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berantem Pelan
Reza segera menghampiri Verrel, sedangkan mereka bertiga malah berbincang.
"Gila, aku kira Jelita cuma galak doang. Ternyata dia bisa jadi monster beneran kalau marah. Mana kecil-kecil cabe rawit pula. Pedes banget." ucap Willy.
"Kamu liat sendiri, kan? Verrel ketua geng kita aja sampe kelempar dan mukanya bonyok. Itu bukan cewek biasa, Wil. Itu Jelita ‘The Silent Killer’." ucap Harry bergidik.
"Kaki ku sakit, sumpah. Tapi lebih sakit harga diri ku. Baru ngomong dikit, langsung diteror sampai nempel ke tembok. Ku pikir, aku udah cukup ngeri. Ternyata aku cuma jangkrik." ucap Willy sambil meringis.
"Tolong, aku trauma." lanjut Willy.
"Aku masih nggak percaya, barusan itu Jelita? Yang katanya pendiem dan gak pernah cari masalah?" ucap Harry.
"Dia lebih serem dari kepala sekolah ngamuk." ucap Willy.
"Haha, itu adik ku, Bro. Kalian liat sendiri, siapa yang bisa bikin Verrel Jatmiko nyungsep ke lantai?" ucap Raza tersenyum bangga.
"Bukan cuma nyungsep, mukanya bonyok. Jelita menghajar orang gak pake mikir dua kali." ucap Harry.
"Kaki ku masih cenat-cenut di injak Jelita, Bro!" ucap Willy.
Reza yang melihat Verrel sudah tak sadarkan diri segera berteriak memanggil temannya yang sibuk mengobrol.
"Hei kalian!" seru Reza lantang, nadanya tegas dan sedikit panik. "Ayo bantu Verrel ke UKS. Cepat!"yang masih
"Ah iya, lupa. Ayo!" ucap Raza.
Raza langsung ikut bergerak tanpa banyak tanya. Harry pun menyusul, wajahnya masih tegang tapi refleksnya sigap. Tanpa ragu, Harry membungkuk dan mengangkat tubuh Verrel ke punggungnya, dibantu oleh Raza yang menopang dari samping.
"Pelan-pelan, dia berat juga," gumam Harry sambil mengatur napas, namun mAtanya tetap fokus menatap jalur menuju UKS.
"Pegang kepalanya, jangan sampai jatuh," ujar Raza dengan nada serius, menahan salah satu lengan Verrel agar tidak terayun liar.
Sementara itu, Willy yang baru saja bisa berdiri tegak setelah kaki kirinya diinjak Jelita, kini menatap Laura seakan nyawanya hampir tercabut oleh tangan Jelita tadi.
"Ayo, Kamu juga harus UKS," kata Willy akhirnya, suaranya lebih lembut.
Laura hanya mengangguk lemah, dan dengan tubuh limbung, ia membiarkan Willy menopangnya.
Di sepanjang lorong sekolah menuju ruang UKS, tidak ada satu pun siswa yang berani bersuara. Semua menatap dengan campuran ekspresi, takut, tak percaya, dan hormat.
Dan sementara tubuh Verrel dibopong, dan Laura diseret perlahan, hanya satu pikiran yang menggelayuti benak mereka semua, "Jangan pernah macam-macam dengan Jelita."
Suasana UKS baru saja kembali tenang. Dokter Yuda tengah membereskan peralatan medis yang tadi ia gunakan untuk mengobati tangan Meyriska. Aroma antiseptik masih tercium samar-samar saat pintu UKS tiba-tiba terbuka cepat, disertai suara langkah terburu-buru.
"Dok! Dokter Yuda!" seru Reza dari ambang pintu.
Dokter Yuda menoleh cepat, alisnya langsung bertaut melihat Verrel terkulai di punggung Harry, dengan wajah bonyok dan berdarah, serta Laura yang tampak pucat pasi, langkahnya diseret Willy.
"Hah, Kalian? Oh astaga... Apa lagi ini?" gumam Dokter Yuda seraya menghampiri mereka cepat. Wajahnya serius, namun ada semburat kekhawatiran dalam sorot matanya.
"Verrel... tidak sadarkan diri, dok." ujar Raza tergesa, membantu Harry membaringkan Verrel di ranjang.
Dokter Yuda langsung mengambil senter kecil dari kantong jasnya, memeriksa pupil mata Verrel dan tekanan nadi di pergelangan tangan. "Siapa yang melakukan ini?" tanyanya tajam namun tetap profesional.
Semua saling pandang tanpa menjawab. Willy hanya menggaruk tengkuknya gelisah, dan Raza menunduk.
"Biasa, Dok. Lagi berdebat dengan cewek, jadi begini deh." gumam Reza pelan.
Dokter Yuda hanya mengangguk singkat. "Tolong ambilkan kompres dingin di kulkas. Willy, ambil kasa steril dan cairan antiseptik. Harry, kamu bantu buka kancing seragamnya biar gak sesak."
Mereka bertiga segera bergerak, tak ada satu pun yang berani melawan instruksi dokter yang kini sudah berubah menjadi mode seriusnya.
Sementara itu, Laura didudukkan di kursi samping ranjang kedua. Wajahnya lebam, kedua pipi masih meninggalkan jejak merah membekas, dan hidungnya tampak berdarah meski sudah mulai mengering.
Dokter Yuda menggeleng pelan melihat luka di wajah Laura. "Ini parah. Kalian berantem apa tawuran sih?"
"Biasa, Dok. yang ini juga masalah cewek dan hati. Dia ditampar berkali-kali, Dok." ujar Willy pelan, sambil menyerahkan kapas dan antiseptik.
Dokter Yuda mulai membersihkan luka Laura. "Kalian kalau berantem, gak bisa apa lebih pelan dikit."
Tak ada yang menjawab, dalam pikiran mereka berantem pelan itu bagaimana?
Sementara itu, Raza mencuri pandang ke arah Reza. Ia bisa melihat raut kekaguman bercampur khawatir di wajah kakaknya. Dan meskipun tadi mereka sempat ngeri dengan ‘mode badaz’ Jelita, ada rasa bangga yang tak bisa mereka tolak.
Harry menepuk pelan pundak Reza. "Adik mu, gila sih. Tapi keren. Gak nyangka dia bisa segalak itu."
Reza menahan senyum.
Willy yang baru selesai membersihkan luka Laura berkomentar lirih, "Aku sih gak mau cari masalah sama Jelita mulai sekarang. Semoga aja gak sampai membuat Jelita marah lagi."
Raza nyengir tipis. "Setuju. Dia... versi kecil dari kita dulu waktu masih barbar."
Ketiganya saling pandang, lalu menatap Verrel dan Laura dengan napas panjang.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺