Tawanan Ranjang Duke Kejam

Hari pertama Alice masuk ke wilayah kastil di wilayah Corvin tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, beberapa pelayan tampak sedikit tidak suka pada Alice.

Bagi Alice itu adalah hal biasa, dia juga terbiasa memiliki haters jadi hal semacam ini juga tergolong biasa saja, asal tidak membahayakan bagi diri Alice sendiri.

Hari kedua Alice mencari tahu mengenai sumber daya dan pendapatan wilayah Corvin yang mengandalkan tambang bijih besi, meski tidak begitu terkenal karena wilayah Corvin yang jauh dari kota lainnya. Pada akhirnya, besi hanya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan sisanya dijual.

“Sayang sekali,” gumam Alice, dia juga kini sudah mulai belajar membaca dan menulis.

Seorang pelayan senior yang merupakan kepala pelayan memberi guru les khusus untuk Alice, sehingga Alice juga dapat belajar dengan cepat.

Alice tak ingin menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya, kini momen dalam novel mungkin akan segera terjadi, yaitu pengangkatan Iris menjadi seorang Saintes. Sebelum hal itu terjadi, Alice harus segera menimbun kekuatan sebanyak mungkin.

“Alice, Anda tidak makan siang?” Lucian masuk ke dalam kamar Alice di mana berbagai buku tampak berserakan di atas ranjangnya.

“Hem, aku lupa. Lucian, apa Anda sudah makan siang?” tanya balik Alice, Lucian menggelengkan kepalanya.

“Ayo makan berdua, suapi aku!” pinta Alice, Lucian terkekeh dan duduk di tepi ranjang. Dia menyuapi Alice dan menyuapi dirinya sendiri, sedangkan Alice tampak berfokus pada berbagai kertas di hadapannya.

“Apa ini?” Lucian tertegun melihat sketsa yang aneh, berbagai bentuk dengan data sangat rinci.

“Ini adalah beberapa alat yang cukup mematikan, sangat sulit membuatnya. Namun bijih besi di sini amat berkualitas, sangat disayangkan bila tidak dipergunakan,” ucap Alice, Lucian mengangkat alisnya.

“Apa maksud Anda, apakah ini alat membunuh atau berperang?” tanya Lucian, ada rasa kecewa yang tersirat di matanya.

“Ya, ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Sedangkan alat yang akan aku buat ini tidak mematikan. Ini adalah beberapa alat yang dapat membantu orang-orang dalam melakukan kegiatan sehari-hari,” ucap Alice menyingkirkan sketsa di hadapan Lucian dan memberikan sketsa lainnya.

Berbagai alat seperti sepeda dan juga kerangka bangunan. Lucian memperhatikan satu demi satu, dia menganggukkan kepalanya seolah mengerti.

“Apa sebenarnya yang Anda rencanakan, Alice?” tanya Lucian. Alice tersenyum dan berbisik pada Lucian, seketika mata Lucian membulat dan tersenyum setuju.

“Bagaimana? Itu ide yang hebat, bukan?” ucap Alice, Lucian menganggukkan kepalanya.

Bukan tidak ingin mengeluarkan bijih besi dalam jumlah besar, namun bila sampai itu terjadi dan Raja menjadi sedikit waspada pada wilayah Corvin maka itu sama saja bunuh diri.

Gagasan yang diberikan oleh Alice menjadi jalan keluarnya. Lucian bangkit dari duduknya dan mengambil salah satu gambar dari Alice.

“Saya akan meminta seorang pandai besi untuk mengerjakan ini,” ucap Lucian, Alice menganggukkan kepalanya.

“Jangan lupa, utus dua orang kepercayaan Anda untuk berangkat ke ibu kota dan memulai misi kita,” ucap Alice, Lucian mengangguk.

Semua hal yang ada di Corvin harus berguna, para pengrajin dan juga para rakyat harus sejahtera entah bagaimanapun caranya.

.

.

.

Dua minggu telah berlalu, Alice sendiri sudah tak membutuhkan guru les lagi dan lebih memilih belajar sendiri. Lucian juga sudah mengirim orang ke ibu kota dan mulai membangun sebuah tempat seperti yang diharapkan oleh Alice.

Ya, Alice berencana membuat mall kerajaan. Di dunia ini belum ada yang seperti itu, di mana berbelanja makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari ada dalam satu gedung.

Lucian juga membuat serikat dagang sendiri bernama Bima Sakti sebagai kedok dari usahanya. Raja yang tidak curiga memberikan izin, dan menandatangani perjanjian yang diajukan oleh pihak Bima Sakti.

Lucian juga mengeruk semua tabungan Corvin untuk membayar upeti pada Raja dan membangun gedung tersebut. Alice sendiri awalnya tidak tega. Bahkan kini mereka yang tinggal di kastil mulai merasakan kesengsaraan.

Beberapa pelayan mulai mengundurkan diri karena mulai merasakan kejatuhan pada wilayah Corvin, sedangkan Raja yang mendengar itu tertawa dengan puasnya.

“Apa kau bilang? Wilayah Corvin hampir hancur? Hahahah…” tawa Raja menggema di ruangannya, beberapa bawahannya tampak saling bersitatap satu sama lain.

“Benar, Paduka. Apa kita perlu mengirimkan bantuan pada wilayah Corvin?” tanya salah satu bangsawan yang merasa bila Raja sudah sangat keterlaluan.

“Bantuan? Aku mengirimkan bantuan? Aku lebih ingin melihat wilayah Corvin hancur berantakan!” ucap Raja lagi. Beberapa bangsawan tampak kesal dengan tindakan Sang Raja dan akhirnya keluar dengan ketidakpuasan.

Sedangkan itu, kini waktu perjanjian satu bulan telah berakhir dan Alice sudah menantikannya. Alice meminta Lucian untuk menagih hutang sang Raja, yaitu 3 juta koin emas.

“Apa tidak apa-apa bila seperti ini, Alice?” tanya Lucian. Dia tak pernah menipu Raja sampai separah ini. Tapi apa boleh buat, toh ini juga demi kebaikan wilayahnya.

“Tenang saja, dunia ini terlalu kejam bila hanya harus berpangku tangan. Adakah orang yang akan peduli pada anak-anak yang kelaparan di wilayah kita? Tentu tidak. Jadi, Lucian, sebagai pemimpin, Anda harus mulai tegas,” ucap Alice, Lucian mengangguk.

Surat yang dikirimkan Lucian sampai pada Raja empat hari kemudian. Raja tak peduli akan kekalahannya. Sebagai alasan untuk membantu wilayah Corvin, dan juga menenangkan para bangsawan yang kini mengalami goncangan, akhirnya Raja mengirim persediaan makanan.

Tentu saja itu bohong, karena di dalamnya adalah emas yang disembunyikan atas kekalahan Raja pada Lucian. Raja tak peduli lagi tak berhasil mendapatkan Alice, namun dia amat senang setelah memastikan dari bawahannya bila wilayah Corvin memang tampak akan segera hancur kurang dari enam bulan lagi.

“Hahahah, kalian memang harus hancur sejak awal!” tawa menggema dari mulut sang Raja, para pelayan yang mendengarnya merinding seketika.

“Ayo gadis-gadisku, cepat beri aku selamat, sayang,” Raja menarik seorang wanita untuk duduk di atas pangkuannya, mengecup leher wanita itu dengan biasanya.

“Ah, Yang Mulia..” suara wanita itu menggoda Raja yang tengah dirasuki birahi.

Tanpa permisi, Raja menyingkirkan pakaian para wanitanya dan mulai memainkan permainan liar yang amat disukainya di atas ranjang. Kesenangan duniawi yang amat disukai Sang Raja itu memang sudah bukan lagi menjadi rahasia, bahkan para bangsawan juga banyak yang mengetahuinya.

Sedangkan Alice yang menerima kabar itu dari mata-mata yang menyamar sebagai pelayan Raja hanya tersenyum kesal. Namun sudahlah! Dia juga tak ingin terus terpuruk karena di mana pun tempatnya, dia akan selalu jadi pemeran utamanya.

“Duchess, barang yang Anda inginkan telah kami siapkan dan semuanya sudah sampai di gudang,” ucap seorang kesatria. Alice tersenyum dan berjalan melewati lorong kastil itu hingga sampai di gudang.