Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Setahun Kemudian
Setahun sudah Syailendra habiskan tanpa adanya kehadiran Ratu. Memang Syailendra sadari bahwa selama ini dia tidak sendirian. Banyak yang menemaninya mulai dari teman satu kelas sampai adik kelas yang mencari dirinya untuk konsultasi perihal acara olimpiade matematika atau membahas seputar tugas.
Syailendra juga tidak menampik bahwa banyak adik kelas yang ingin dekat dengannya karena kepintarannya. Tetapi Syailendra menolak semuanya itu satu demi satu karena di hatinya masih ada Ratu. Seperti apa pun sakitnya ditinggalkan oleh Ratu, Syailendra tidak bisa membuang gadis itu dari pikirannya.
Ah ia sendiri pun bingung kenapa rasa terhadap Ratu tak kunjung padam meski lama hari berganti.
Maka di sinilah Syailendra berada, tepatnya di acara perpisahan di sekolahnya. Sebenarnya dia berencana tidak datang, tetapi karena banyak temannya yang mengajaknya pergi, maka dari itu Syailendra memutuskan untuk ikut.
Padahal aslinya ia malas sekali hadir ke acara yang melibatkan banyak orang. Syailendra sudah biasa berteman dengan sunyi sejak ia kecil. Dan sepi masih menjadi hobi favoritnya sampai detik ini.
Pentas seni yang menampilkan tarian tradisional itu menjadi objek pandang Syailendra saat ini. Itu adalah penampilan spesial dari adik kelasnya dari sanggar seni. Acara perpisahan itu digelar di sekolah dengan tema farewell party. Diadakan di aula, dan boleh dihadiri oleh orang tua masing-masing. Hanya saja Syailendra datang ke sini sendiri karena orang tuanya—seperti biasa—tidak mau ikut.
Usai acara tari itu ditampilkan, masuk ke acara penyerahan penghargaan untuk siswa-siswa berprestasi. Nama Syailendra ada di salah satu deretan nama siswa yang menerima penghargaan tersebut.
"Kami persilakan naik ke atas panggung. Syailendra Gunawan!"
Gemuruh tepuk tangan membanjiri aula. Syailendra yang mengenakan jas hitam itu akhirnya berdiri dari dudukannya, lantas naik ke podium untuk menerima penghargaan dan memberikan kata sambutan.
Nama Syailendra dipanggil sebagai siswa teladan karena telah menggendong tim olimpiade setahun lalu menuju tingkat nasional. Fotonya telah dijadikan spanduk oleh pihak sekolah dan dibentangkan di depan gerbang, khusus untuk menyambut calon peserta didik tahun ajaran baru. Foto Syailendra juga dimuat dalam brosur dan pamflet.
Ya, semua Syailendra dirayakan. Dan itu membuat dada Syailendra semakin sesak karena biasanya ia tidak sendiri di foto itu. Ada Ratu ... yang selalu membersamainya. Tapi sekarang gadis itu pergi.
Setibanya di atas panggung, Syailendra menerima medali penghargaan tersebut, lantas memberikan pidato singkatnya—
"Terima kasih untuk semua pihak yang telah mendukung saya selama ini. Terkhusus untuk orang yang paling berjasa dalam hidup saya, namun sekarang dia tidak ada di sini." Ratu... makasih karena udah bikin aku maju dan banyak dikenal orang. Aku nggak akan lupain kamu, "sekali lagi terima kasih banyak."
Hanya itu yang Syailendra katakan. Tidak terselip sedikit pun ucapan terima kasih untuk orang tuanya karena memang mereka tidak berkontribusi apa-apa untuk pendidikannya. Mungkin kalimat; orang yang berkontribusi di hidup saya itu sekaligus mewakili orang tua Syailendra. Bertepatan dengan itu orang tua Syailendra tidak ada di sini, kan? Jadi pasti semua orang berpikir ia memberikan kata sambutan itu untuk orang tuanya sekaligus.
Setelah mengatakan itu, Syailendra turun dari panggung dengan perasaan campur aduk. Makin ia tatap medali yang melingkar di lehernya, makin teringat pada Ratu.
Usai acara—yang sebenarnya hanya formalitas itu—dilaksanakan, Syailendra berniat pulang. Tak berminat dirinya berfoto-foto ria seperti siswa-siswa lain. Lebih baik sekarang ia pulang ke rumah dan mempersiapkan diri keluar dari kediaman Gunawan untuk memulai hidup baru.
Namun saat ia hendak keluar dari aula tersebut, Heri memanggilnya dari arah pojok photo booth.
"Endra, sini!"
Syailendra menoleh dan langsung menggeleng.
"Nggak dulu Her. Mau langsung pulang!"
Mendengar hal tersebut membuat Heri menghampiri Syailendra. Ia tepuk bahu Syailendra sambil berkata, "foto dulu kita bentar. Lo mau ke mana sih buru-buru banget? Nikmati hari terakhir lo di sekolah ini!"
"Nggak minat aku foto-foto. Aku—"
"Sumpah ya lo. Gue yakin lo belum move on dari Ratu. Selama setahun ini gue lihat lo semakin menghilang aja dari peradaban ini. Sampai gue mau nyari lo aja harus sampai keliling satu sekolah."
Syailendra menghela napas. Mau menyangkal, faktanya memang ia yang malas berurusan dengan teman Ratu. Karena makin susah nanti ia melupakan gadis itu....
"Tapi aku benaran mau pulang, Her. Lain kali aja kita foto."
"Enggak bisa gitu dong. Lo harus foto sama gue, sama Sasa juga. Tuh di sana anak-anak lain juga pada nungguin lo!"
Syailendra menoleh ke arah telunjuk Heri, yang mana terlihat banyak siswa yang mengenakan jas putih dan kebaya melambaikan tangan ke arahnya.
"Sini, Endra!" kata mereka.
Maka yang bisa Syailendra lakukan hanyalah menurut saja saat tangannya ditarik Heri.
"Pinjem medali lo buat foto ya!" dan seenaknya cowok itu rampas medali yang tergantung di lehernya.
Hari ini benar-benar melelahkan. Yang tadinya tidak ingin ikut acara bebas, Syailendra malah dipaksa oleh anak-anak itu untuk bergabung dengan mereka. Itulah alasan kenapa ia baru tiba di rumah pukul 5 sore.
Begitu membuka pintu utama, Syailendra langsung dihadapkan dengan Gunawan dan Amelia yang sudah menunggunya di sofa ruang tamu. Syailendra mendadak kikuk, mencoba menyapa mereka, lantas berderap ke arah tangga—
"Syailendra, bisa kamu ke sini sebentar? Ada yang mau Papa dan Mama sampaikan kepada kamu."
—Langkah Syailendra terhenti. Terpaksa ia memutar badannya menghadap mereka, lantas menuju ke arah sofa saat Gunawan menepuk sisi sofa sebelahnya.
Detik di mana Syailendra mendudukkan dirinya di sofa, Gunawan berkata—
"Papa dan mama sudah berbincang soal janji kamu saat olimpiade kemarin. Jadi kamu sekarang tidak akan ada tinggal di sini lagi. Kamu ingat itu kan?"
Syailendra dari awal sudah menebak arah pembicaraan ayahnya itu.
"Tenang aja, Pa. Endra nggak lupa kok."
"Bagus. Mulai besok kamu sudah boleh pergi dari rumah ini."
"Iya, nanti aku beres-beres barang. Aku bakal cari kontrakan—"
"Kamu nggak perlu cari kontrakan. Papa udah mengatur semuanya. Kamu tinggal berangkat besok."
Dahi Syailendra mengerut mendengarnya. "Maksudnya?"
Amelia dan Gunawan saling lirik. Tampak Amelia mengangguk seolah memberikan izin suaminya untuk bicara. Barulah setelah itu Gunawan melanjutkan perkataannya.
"Jadi, Papa sama Mama sudah memutuskan untuk mengirim kamu ke hotel kami di Jakarta untuk bekerja. Kamu bisa mulai dengan jadi Cleaning service di sana. Ya... dari pada kamu susah-susah cari kerja, mending kamu mengabdi kepada Papa dengan menyumbangkan tenaga kamu."
Syailendra mengerutkan dahi.
"Kakak kamu katanya ingin jadi dokter. Sementara adik kamu? Dia sering keluyuran nggak jelas. Jadi daripada nggak ada yang meneruskan usaha Papa kamu dengan bekerja di hotel itu, ya lebih baik kamu kerja di sana." Amelia melanjutkan ucapan sang suami.
Melihat Syailendra yang tampak tercengang, dan daripada Syailendra kegeeran, Amelia segera meralat.
"Kami cuma kasihan ke kamu. Jadi kamu camkan di otak kamu itu, ini bukan karena peduli ke kamu. Kamu juga bekerja di sana sesuai aturan yang diterapkan. Jangan mentang-mentang kamu anak Papa kamu, kamu di spesialkan. Kalau pekerjaan kamu jelek, ya nanti akan ditegur oleh manager. Bahkan kami nggak akan melarang mereka untuk memecat kamu kalau kamu bikin kesalahan. Apa kamu bersedia?"
Syailendra berpikir sejenak. Kalau ia tolak pekerjaan ini, ia mau ke mana lagi setelah ini? Mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah apalagi ia tidak punya modal apa-apa. Jadi lebih baik ia terima saja tawaran orang tuanya itu. Toh jika ia pergi dari Bandung, mungkin bisa saja ia berkembang di Jakarta nantinya.
"Oke. Aku setuju."
Tiga kalimat itu yang akhirnya menjadi awal dari perjalanan hidup Syailendra yang baru.
"Kalau gitu kamu boleh ke kamar. Jangan lupa untuk berkemas. Besok pagi kamu sudah boleh pergi dari rumah ini. Nanti Papa kasih ongkos naik bisnya."
"Makasih, Pa."
Dan setelahnya Syailendra pergi ke kamar.
Sedikit senang rasanya karena orang tuanya masih peduli kepadanya meski dalam artian; kasihan. Tapi setidaknya, ia tidak perlu luntang-lantung mencari pekerjaan setelah ini.
****
Pagi hari sudah menerangi kamar. Syailendra sudah bersiap untuk pergi ke kota Jakarta. Dia sudah mempersiapkan kopernya yang berisi pakaian dan juga tas yang berisi peralatan lainnya. Sebenarnya Syailendra masih sedih untuk bisa meninggalkan kota ini, semalam saja dia tidak bisa tenang tidur karena harus berpisah dengan kota yang banyak kenangan di dalamnya.
Terutama kenangannya bersama Ratu.
Tapi Syailendra juga tahu realita kehidupan, yaitu; kalau tidak meninggalkan, ya ditinggalkan. Jadi dia harus rela meninggalkan kota Bandung dengan segala kenangannya untuk bisa melangkah maju. Apa lagi ini kesempatan bagus bagi dirinya. Hotel ini milik keluarganya, walaupun dia ditempatkan sebagai karyawan yang paling bawah, tapi dia bisa meyakini bahwa dirinya perlahan akan naik ke atas.
Anggap saja ini pengalaman.
Keluar dari kamar, Syailendra sudah disambut oleh Gunawan dan Amelia di ruang tamu. Syailendra seret kopernya, ia salami kedua orang tuanya itu.
"Hotel kita punya mes untuk karyawan. Nanti Papa kirimkan nomor manager hotelnya. Kamu hubungi dia pas sampai Jakarta." Gunawan berkata.
"Baik, Pa."
Gunawan kemudian mengeluarkan sejumlah uang berwarna merah untuk ia serahkan ke tangan Syailendra.
"Buat pegangan kamu."
Syailendra tatap lembaran uang yang cukup banyak itu dengan sorot ragu, sampai akhirnya Amelia menyeletuk—
"Ambil. Jangan sosoan nolak. Mau sama apa kamu bayar ongkos ke sana?!"
"I—iya, Ma. Makasih."
Pada akhirnya Syailendra ambil uang itu. Kalau diterka-terka jumlahnya sekitar dua juta lebih, sih, ini. Jauh di lubuk hatinya yang tak tersentuh ego, Syailendra merasa terharu karena orang tuanya itu masih peduli padanya.
"Ingat, ya, Endra. Kamu di sana kami utus untuk bekerja. Hak dan kewajiban kamu sama kayak yang lain. Jadi tunjukkan kalau kamu memang berkualitas. Jangan bikin malu kami sebagai keluarga. Kamu mulai dari bawah dulu. Kalau kamu berprestasi dan kerjanya bagus, lambat laun akan ada jenjang karir untuk kamu. Buat kami percaya kalau kamu memang layak," ujar Gunawan. Tegas dan menyakitkan, namun di sisi lain ada benarnya juga.
Syailendra juga tidak ingin mendapat pekerjaan karena embel-embel orang tuanya. Dia ingin segalanya dimulai dari nol.
"Kalau gitu aku pamit, Pa, Ma."
Dan setelahnya Syailendra keluar dari rumah itu. Ia pergi ke terminal dengan menggunakan ojek online.
Setibanya di terminal bis, Syailendra pun menaiki bis tujuan Jakarta yang akan membawanya pergi dari kota Bandung seribu kenangan ini.
Berat hati Syailendra melangkah pergi. Teringat olehnya kebersamaan dengan Ratu tiap kali mereka naik bis untuk sekedar menghabiskan waktu.
Ratu, aku pamit, ya. Kamu masih ada di Bandung atau udah di mana ya sekarang?
Syailendra berujar dalam hati. Langit biru tanpa awan yang mengiringi kepergiannya itu bahkan tak bisa menjawab tanya Syailendra.
Pada akhirnya, bis yang ia naiki melesat menembus jalan raya. Syailendra nikmati perjalanan dengan melihat sisa-sisa jalan kenangan lewat jendela.
Tampak bayangannya dan Ratu yang sedang bercanda di halte bis. Syailendra tersenyum pias. Rasanya sesak sekaligus menyenangkan mengingat kenangan indah itu.
Syailendra menatap nanar kursi di sampingnya. Tampak seorang perempuan berambut panjang yang kalau Syailendra terka merupakan anak kuliahan. Gadis itu tersenyum manis menatapnya. Ah, senyumnya pun mengingatkan Syailendra dengan Ratu karena dulu selalu Ratu yang duduk di sebelahnya tiap ia naik bis.
Ratu, raga perempuan itu memang tak bersua, tapi bayangannya ada di mana-mana, mengisi sudut kota, tak kunjung lepas dari kepala.
Selamat tinggal, Bandung, kenangan, dan ... Ratu.