NovelToon NovelToon
Jejak Luka Diantara Kita

Jejak Luka Diantara Kita

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Konflik etika / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu
Popularitas:823
Nilai: 5
Nama Author: sorekelabu [A]

Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.

Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.

Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.

Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Nadine Sang Pendengar

Bab 7 : Nadine Sang Pendengar

Nadine mengeratkan jemarinya di balik celemek kerjanya. Ia tahu batasannya, tapi tatapan Randy penuh harap. Pria itu bukan hanya atasannya, tapi juga seseorang yang baru beberapa hari lalu dikenalnya.

Randy tersenyum tipis, melihat keraguan di wajah Nadine. “Sebentar saja.”

Nadine menarik napas pelan, lalu mengangguk. “Baik, Pak.”

Randy melangkah lebih dulu, dan Nadine mengikutinya dari belakang. Mereka keluar dari kantor menuju sebuah kafe kecil di dekat gedung tempat mereka bekerja. Suasana di dalamnya tenang, hanya ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makan siang.

“Duduklah,” ujar Randy, menarik kursi untuk Nadine.

Nadine ragu sejenak sebelum duduk. Ia merasa canggung. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa seorang petinggi perusahaan sepertinya akan mengajaknya makan siang.

Seorang pelayan datang, dan Randy langsung memesan makanan. “Saya pesan nasi goreng spesial dan es teh. Kamu mau makan apa?”

Nadine menggeleng cepat. “Saya tidak lapar, Pak.”

Randy menghela napas. “Setidaknya minum sesuatu?”

Nadine berpikir sejenak. “Jus jeruk saja, Pak.”

Pelayan mencatat pesanan mereka lalu pergi. Suasana di antara mereka terasa canggung. Nadine menundukkan kepala, memainkan ujung celemeknya.

“Kamu betah, kerja disini?”

Nadine menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Iya, Pak. Saya bersyukur bisa bekerja di sini.”

Randy mengangguk pelan. “Bagus kalau begitu.”

Hening lagi. Nadine merasa bingung dengan situasi ini. Randy sepertinya butuh teman bicara, tapi kenapa harus dirinya?

Tak lama, pesanan mereka datang. Randy mulai makan, sementara Nadine hanya meminum jusnya perlahan.

“Kamu tahu?” Randy tiba-tiba berkata. “Terkadang saya iri dengan orang-orang yang bisa hidup dengan sederhana.”

Nadine mengernyit bingung. “Maksud Bapak?”

Randy tersenyum kecil. “Saya selalu sibuk. Dari kecil saya dituntut untuk terus bekerja keras. Kadang saya ingin punya hidup yang lebih sederhana, seperti kamu.”

Nadine terdiam. Dia tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Kamu bahagia dengan hidupmu sekarang?” tanya Randy lagi.

Nadine berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya tidak tahu, Pak. Tapi saya berusaha mensyukuri apa yang saya punya.”

Randy menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum. “Kamu orang yang kuat.”

Nadine tersenyum kecil, merasa tersanjung sekaligus bingung.

Randy mengaduk es tehnya dengan sendok kecil, menatap cairan kecokelatan yang berputar di dalam gelas. Nadine, yang duduk di depannya, menunggu dengan sabar, tidak ingin memaksanya bicara.  

“Ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa kita kendalikan, Nadine,” akhirnya Randy membuka suara.  

Nadine tetap diam, membiarkan pria itu melanjutkan.  

“Saya tumbuh di keluarga yang menuntut banyak hal. Sejak kecil, saya harus jadi yang terbaik. Tidak boleh salah, tidak boleh lemah. Dan sekarang, setelah semua yang saya capai, saya masih merasa kosong.”  

Nadine mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata Randy. “Kosong?”  

Randy mengangguk pelan. “Apa gunanya sukses kalau saya tidak benar-benar bahagia? Setiap hari hanya tentang pekerjaan, tanggung jawab, dan ekspektasi orang-orang. Saya lelah.”  

Nadine menggigit bibirnya, merasa simpati. Dia tidak pernah berpikir bahwa seorang pria seperti Randy—yang tampak sempurna dari luar—bisa merasa seperti itu.  

“Kadang kita hanya butuh jeda, Pak,” ujar Nadine akhirnya. “Mungkin Bapak terlalu keras pada diri sendiri.”  

Randy terkekeh pelan. “Mungkin.” Ia menatap Nadine sejenak sebelum berkata, “Kamu pasti berpikir, kenapa saya cerita ini ke kamu?”  

Nadine sedikit terkejut, tapi mengangguk jujur.  

Randy tersenyum. “Karena kamu terlihat jujur. Tulus. Saya jarang bertemu orang seperti itu.”  

Pipi Nadine sedikit memanas. Ia tidak tahu harus berkata apa.  

Randy melanjutkan, “Saya iri dengan orang-orang seperti kamu, Nadine. Bisa hidup tanpa harus memikirkan tekanan yang besar.”  

Nadine menggeleng. “Saya juga punya beban, Pak. Mungkin berbeda, tapi tetap berat bagi saya.”  

Randy terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Benar. Semua orang punya beban masing-masing.”  

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.  

Setelah beberapa saat, Randy menghela napas panjang. “Terima kasih sudah mendengarkan.”  

Nadine tersenyum tipis. “Saya tidak bisa memberi solusi, tapi saya bisa mendengar.”  

“Itu sudah lebih dari cukup,” kata Randy, kali ini dengan ekspresi yang lebih tenang.  

Obrolan mereka berakhir di situ, tapi Nadine tahu bahwa pertemuan ini akan membekas dalam ingatannya. Ada sesuatu di mata Randy—sebuah kesepian yang tak pernah ia lihat sebelumnya.  

Dan ia bertanya-tanya, apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih dari pertemuan mereka?

Setelah selesai makan, Randy membayar dan mereka pun keluar dari kafe.

“Terima kasih sudah menemani saya,” ujar Randy ketika mereka kembali ke kantor.

“Sama-sama, Pak,” jawab Nadine pelan.

Randy menatapnya sejenak sebelum berkata, “Saya harap kita bisa mengobrol lagi lain kali.”

Nadine tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis sebelum kembali ke pekerjaannya.

Hatinya masih bertanya-tanya, kenapa Randy tiba-tiba tertarik untuk mengobrol dengannya?

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
Cicih Sutiasih
mampir juga di ceritaku, jika berkenan😊
sorekelabu: siap ka
total 1 replies
Cicih Sutiasih
aku sudah mampir, semangat😊
Cicih Sutiasih: jika berkenan, mampir juga di ceritaku
"Tergoda Cinta Mantan", 😊
sorekelabu: terimakasih ka😊
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!