bagaimana rasanya ketika kamu mendapatkan sebuah penawaran uang kaget?
Rara di hina dan di maki selama hidupnya.
Ini semua karena kemiskinan.
Tapi ketika dia merasa sudah menyerah, Dia mendapatkan aplikasi rahasia.
Namanya uang kaget.
Singkatnya habis kan uang, semakin banyak uang yang kau habiskan maka uang yang akan kamu kantongi juga akan semakin banyak.
Tapi hanya ada satu kesempatan dan 5 jam saja.
Saksikan bagaimana Rara menghasilkan uang pertama kali di dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode bonus
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, digelayuti awan yang menutupi bintang. Di atas Jembatan Penjagalan, yang melintang sepi di atas sungai hitam yang mengalir lamban, duduk seorang pria muda dengan botol bir kosong berserakan di sekelilingnya. Adrian Mahesa. Namanya masih terdengar megah bagi sebagian orang,tapi tidak lagi berarti apa-apa bagi dirinya sendiri.
Wajahnya tampan, bahkan dalam keadaan lusuh seperti sekarang. Rambutnya berantakan, kemeja putih yang dikenakannya sudah dipenuhi noda dan kerutan. Celananya tampak seperti tak pernah diganti selama berhari-hari. Bau alkohol, keringat dan debu kota menempel erat di tubuhnya. Namun mata itu... mata kelam yang kosong itu menatap jauh ke bawah jembatan, seolah ingin melompat,bukan untuk mati, tapi sekadar ingin merasa hidup kembali.
Tangannya gemetar saat mengangkat botol ke bibirnya. Sudah botol ke berapa malam ini?
Entahlah.
Tapi tetap saja, kesadarannya tak mau pergi. Mabuk pun menolaknya, seakan bahkan alkohol pun tak sudi menampung luka seorang ,anak haram, seperti dirinya.
Dia tertawa pelan, tawa getir yang langsung tenggelam oleh deru kendaraan dari kejauhan.
“Anak haram…” gumamnya, suaranya serak dan penuh kebencian. “Begitu katanya.”
Di rumah Mahendra, dia hanya bayangan. Tak diusir, tapi juga tak pernah benar-benar diterima. Kakeknya, satu-satunya yang memberinya tempat untuk bernafas, kini pun marah, kecewa dan mencoret namanya dari kartu keluarga.
Ayahnya? Seorang pria berdarah dingin yang bahkan tak sudi menyebutnya "anak". Bukan karena Adrian buruk, tapi karena dia lahir dari seorang wanita yang bukan istri sah. Ibunya sudah lama meninggal dan dunia tak pernah memberinya ruang untuk berkabung.
Semua yang mendekatinya hanya melihat nama Mahendra. Teman-temannya palsu. Mereka tertawa bersamanya hanya karena status keluarga.
Dan para gadis... awalnya terpesona, lalu mencibir. "Untuk apa wajah tampan, kalau dompetmu kosong?" begitu sindiran yang tak asing lagi di telinganya.
Air matanya jatuh,bukan karena lemah, tapi karena terlalu lelah untuk terus berpura-pura kuat.
Dia mengusap wajahnya yang kotor, lalu menatap langit malam yang enggan memberi harapan. Hanya satu kalimat yang tersisa dalam pikirannya, berputar seperti mantra.
"Kalau hidup ini cuma permainan, maka aku lelah jadi pion yang tak punya arah."
Dan malam pun kembali sunyi, menyelimuti luka Adrian Mahesa yang tak terlihat, namun perlahan menggerogoti jiwanya.
Dingin mulai menyusup ke dalam pori-porinya, menusuk tulang-tulang yang lelah menopang beban hidup yang terlalu berat untuk pria semuda dia. Tapi Adrian tidak bergeming. Dia hanya duduk, lutut tertekuk, bahu membungkuk, pandangannya tetap kosong mengarah ke sungai hitam pekat di bawah jembatan.
Lalu dia berbisik pada dirinya sendiri, suara yang bahkan tak lebih keras dari napasnya.
"Apa gunanya hidup kalau tidak ada satu pun yang ingin kau perjuangkan?"
Selama ini, dia mencoba tersenyum. Berpura-pura tidak peduli dengan pandangan sinis keluarga Mahendra. Dia berpura-pura kuat saat para sepupu membicarakannya seperti virus yang harus dihindari. Tidak ada satu pun yang pernah meninju wajahnya, tapi kata-kata dan sikap mereka jauh lebih menyakitkan daripada pukulan mana pun.
Di rumah itu, dia adalah noda. Dibiarkan tinggal, tapi seperti barang rusak yang disembunyikan di gudang. Kadang dia berharap ayahnya marah, berteriak, atau bahkan menghajarnya,itu akan jauh lebih mudah ditanggung daripada sikap dingin yang menatapnya seolah dia bukan manusia. Seolah dia tak pernah lahir dari darah yang sama.
"Kamu anak haram, kamu seharusnya tidak ada."
Kata-kata itu masih menggaung di dalam kepalanya. Pernah diucapkan oleh salah satu bibinya, dengan suara manis namun mata penuh kebencian.
Kini dia tidak punya tempat kembali. Kakeknya, satu-satunya pelindung, telah menarik tangan itu dan membiarkannya terjatuh. Dan dunia,dunia luar tak peduli jika seseorang seperti Adrian Mahesa memutuskan untuk menghilang.
Tiba-tiba, sebuah angin malam menerpa wajahnya, dan dia menutup mata.
"Kalau aku jatuh sekarang, siapa yang akan peduli?"
Tak ada.
Tak satu pun.
Bahkan pikirnya, mungkin dunia akan terasa lebih ringan tanpa dirinya. Tidak akan ada yang kehilangan apa pun.
Tidak ada pelukan.
Tidak ada tangisan.
Tidak ada duka.
Mungkin hanya berita kecil di koran atau media sosial tentang seorang pria muda tampan yang ditemukan di dasar sungai. Lalu dilupakan. Seperti dirinya saat ini,terlupakan, bahkan oleh keluarga yang memberinya nama.
Adrian menunduk lebih dalam, menyandarkan kepalanya ke lutut. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia tidak merasa marah. Hanya hampa. Terlalu hampa untuk menangis. Terlalu hampa untuk berharap.
Malam itu, di atas Jembatan Penjagalan, Adrian Mahesa tidak sedang mencari jawaban. Dia hanya menunggu… entah apa.
Entah akhir.
Entah keajaiban.
Adrian Mahesa menarik napas dalam-dalam, karena dadanya terasa sesak, seolah dunia menindihnya tanpa belas kasih. Langit malam yang mendung tak memberi bintang, hanya kabut dan awan hitam yang menambah kelam pikirannya.
“Untuk apa aku lahir...?” gumamnya lirih, tapi batinnya menjerit seolah ingin mengguncang alam semesta. “Untuk dihina? Untuk disingkirkan? Untuk hidup tanpa arti?”
Sakit yang selama ini ia tahan pecah dalam diam.
Hatinya seperti diperas, dan pikirannya kabur antara harapan dan keputusasaan yang terus menghantui. Ia menatap langit dengan mata merah yang mulai berair.
"Mama… Mama… kenapa kau tinggalkan aku?” jeritnya dalam isakan tertahan, masih menatap ke atas seolah berharap ada tangan lembut yang akan turun dan menjemputnya dari penderitaan ini. “Kenapa kau tak menjemputku saja malam ini? Aku... aku lelah.”
Air matanya jatuh, membasahi pipi yang kotor dan penuh debu jalanan. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa ketampanan, tapi tubuhnya lusuh, pakaian kusut dan rambut acak-acakan,bukan lagi Adrian Mahesa yang dielu-elukan. Dulu, cukup menyebut nama belakang Mahendra, semua mata akan melirik dengan kagum atau segan. Tapi kini?
“Tak ada yang peduli… karena aku bukan siapa-siapa lagi.”
Tak ada yang peduli… karena aku bukan siapa-siapa lagi.”
Ia tersenyum pahit. Nama belakang itu sudah dicabut.
Ia dikeluarkan dari kartu keluarga, seperti barang usang yang tak layak dipajang. Kini, semua orang tahu, Adrian bukan lagi Mahendra. Dia awalnya hanya anak haram yang dulunya ditoleransi karena darah, kini dibuang karena tak menguntungkan lagi.
“Bahkan pengemis masih bermartabat untuk meminta,” batinnya melenguh. “Aku? Aku bahkan malu untuk sekadar mengulurkan tangan.”
Lalu matanya menatap ke bawah,ke air yang bergelombang hitam. Arusnya lambat tapi dalam.
Sunyi.
Sama seperti hidupnya. Dalam, gelap dan penuh kehampaan.
“Apa... kalau aku lompat sekarang… aku bisa mati?” bisiknya pelan, penuh getir.
Bayangan tubuhnya memantul samar di permukaan air, bergoyang tak jelas. Seperti dirinya,tak punya arah, tak punya bentuk pasti. Ia tak sedang mengancam. Ia benar-benar bertanya, sungguh ingin tahu, apakah rasa sakit itu akan berakhir jika tubuhnya menyatu dengan air malam ini.
Tapi tubuhnya masih diam.
Adrian Mahesa duduk terkulai di tepi pembatas jembatan, botol bir murah tergenggam di tangan. Dengan sekali tenggak, ia menghabiskan isinya yang tinggal separuh, membiarkan cairan pahit itu mengalir begitu saja di tenggorokannya,tanpa rasa, tanpa makna.
“Kenapa aku nggak bisa mabuk…” gumamnya, mendesis. “Apa bahkan alkohol pun sudah bosan sama aku?”
Tangan kanannya yang gemetar melempar botol kosong itu ke sungai di bawah. Bunyi pecahan kaca tak terdengar, hanya gema yang mengambang seperti kesepiannya. Lalu ia berdiri, menengadah dan berteriak sekeras-kerasnya.
Kalau saja aku punya uang! Aku akan tampar wajah kalian satu per satu! Lihat! Lihat siapa yang kalian rendahkan sekarang!”
Suaranya menggema di udara, membentur dinding bangunan yang bisu. Tapi hanya kesunyian yang menjawabnya, seolah kota pun enggan peduli.
Ia tertawa miris, kepalanya menunduk, bahunya terguncang bukan oleh tangis, tapi oleh rasa hampa yang tak bisa didefinisikan.
Dalam pikirannya, wajah sahabat lamanya muncul,seseorang yang dulu pernah berjanji akan membantunya. Tapi kini, bahkan sahabat itu nyaris kehilangan segalanya.
Perusahaannya kekurangan dana, rantai pasokan modal hampir lumpuh. Mereka berbincang beberapa minggu lalu, dan ia bisa lihat ketulusan dalam mata sahabat itu… namun juga ketakberdayaan.
“Semua orang… bangkrut,” gumam Adrian. “Atau setidaknya… begitu katanya.”
Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya. Tapi ada juga bagian lain,bagian yang sudah terlalu hancur,yang berkata, Mereka hanya bohong. Mereka cuma nggak mau dekat sama orang gagal sepertiku.
Tiba-tiba ia kembali tertawa.
Bukan tawa bahagia, bukan tawa lucu,tapi tawa seorang pria yang kehilangan segalanya, dan satu-satunya hal yang tersisa hanyalah kegilaan tipis yang mengambang di batas kewarasan.
“Suatu hari,aku akan lemparkan uang ke wajah kalian… Sampai kalian tunduk di kakiku!” teriaknya lagi, suaranya pecah.
Ia menengadah ke langit,kosong, kelabu, dingin.
Lalu tertawa lagi.
Kali ini lebih keras, lebih getir.
Seolah dunia ini tak lagi pantas untuk ditangisi.
Tawa Adrian Mahesa mereda, berubah menjadi desahan lelah. Ia bersandar kembali ke tiang besi jembatan, memejamkan mata yang sembab. Di sekelilingnya, kota Jakarta terus berdetak,lampu-lampu mobil melintas, suara klakson bersahutan jauh di kejauhan, tapi baginya dunia sudah terlalu hening… sampai...
TING!
Suara notifikasi aneh bergema di kepalanya. Adrian membuka matanya perlahan.
[Selamat datang di: APLIKASI UANG KAGET BERGETAR!]
Suara itu tidak datang dari ponselnya,ponselnya bahkan mati karena baterai habis sejak tadi siang.Tapi suara itu jelas, dan seolah berbicara langsung ke dalam pikirannya.
“...Hah?” gumam Adrian.
(“Selamat malam, Adrian Mahesa. Apakah kau siap mendapatkan kesempatan mengubah hidupmu dalam waktu lima jam?”)
Adrian tertawa pelan. “Oh, jadi ini tahap aku mulai gila, ya? Sudah cocok. Hahaha aku sudah Gila di jembatan ini.” Dia tertawa lagi, suara parau seperti orang yang sudah menyerah pada hidup.
("Adrian Mahendra apakah kau mau menjadi peserta dalam aplikasi ini? jika mau katakan iya agar kita bisa saling mengikat diri")
Adrian Mahendra tertawa lagi dengan menghina pada diri sendiri.
“Apa ini? Tuhan versi startup?”
(Kami bukan Tuhan. Kami sistem. Dan ini bukan mimpi. Aplikasi Uang Kaget Bergetar baru saja diluncurkan. Kau terpilih menjadi peserta kedua dalam sistem ini. Syaratnya sederhana: belanjakan uang sebanyak mungkin dalam waktu lima jam. Setiap 10% dari total pengeluaranmu akan masuk ke akunmu sebagai milik pribadi, setelah waktu berakhir.)
Ehhh...
Intinya habiskan uang sebanyak mungkin.
Wow... i am crazy.
Adrian terdiam.
Matanya menyipit curiga.“Peserta kedua? Lalu... siapa yang pertama?”
“Peserta pertama adalah Anindya Zahra putri Mahesa,atau... Rara.”
Jantung Adrian berdegup keras. Rara?
“Rara... yang dari keluarga Mahesa itu? Yang dulu dikira bangkrut tapi tiba-tiba bisa naik daun lagi?”
Dia ingat Rara, katanya sekarang Rara dan keluarganya pindah ke Swiss. tapi tidak ada kabar jika perusahaan Mahesa bangkrut di Indonesia.
Artinya perusahaan Mahesa masih on going.
Jantung Adrian bergetar .
Apakah ini rahasianya sampai keluarga Mahesa bisa bangkit dari keterpurukan.
Rara... entah bagaimana nama itu membuat dirinya rindu.
(“Benar. Dia menyelesaikan misi dengan tingkat efisiensi 187%. Dan sekarang giliranmu. Apakah kau mau mengikat kontrak sebagai peserta atau tidak? Jika tidak, sistem akan mencari target baru dalam... 10 detik.”)
9..8...7..6..5...
Aplikasi ini sudah nggak sabaran.Ada banyak orang dalam antrian setelah aplikasi bdi rilis, jadi dia tidak punya waktu untuk menunggu.
Sementara itu Adrian terdiam.
Pikirannya bergejolak. Apakah ini hanya halusinasi karena depresi? Tapi... kalau ini nyata?
Kalau ini nyata, maka ini adalah satu-satunya kesempatan untuk kembali berdiri. Bahkan jika hanya 10% dari pengeluaran, itu tetap lebih baik daripada mati tanpa sisa harga diri.
“Kalau ini lelucon,” katanya lirih, “maka ini lelucon paling kejam…"
Dia menatap lurus ke arah langit yang kosong, lalu menunduk pada tanah retak di bawah sepatunya yang kotor. Dan dengan napas berat, Adrian berkata:
“Ya. Aku setuju.”
("OK, pengikatan di aktifkan. kami akan memberikan kamu waktu untuk memikirkannya selama 5 menit. setelah itu hitungan mundur selama 5 jam akan diaktifkan")
Adrian Mahendra menarik nafas panjang. dia akan gila karena miskin dan dihina begitu banyak orang m siapa yang menemukan seutas tali dia pasti akan berpegangan dengan erat pada tali tersebut.
Entah nyata atau palsu dia pasti akan melakukannya pasti.
Wow, Adrian Mahendra tiba-tiba ingat jika dia memiliki beberapa teman yang katanya membutuhkan uang untuk suntikan dana perusahaannya. tapi sayang telepon genggamnya kehabisan baterai.
Jadi sebelum 5 menit berakhir dia berlari keluar dari jembatan untuk menemukan seseorang demi meminjam teleponnya sebentar.
Sebentar saja
Adrian Mahendra bersiap-siap untuk memulai perjalanan dalam membeli secara gila gilaan. dia tidak sadar jika apa yang terjadi malam ini akan merubah hidupnya secara drastis.
Dan itu dimulai dengan waktu 5 jam saja.
senyaman mu nulis aja thor manut AQ
Byk typo ehh author