Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Ditolak, Dukun Gagal Bertindak
Anto muncul dan menggabungkan diri dengan Dion dan tamu mendadaknya di rumah makan. Pria yang bertugas menjaga keamanan indekos itu membawa dua perempuan muda, mahasiswa dan penghuni yang sama dengan Dion. Keduanya—Lastri dan Tuti adalah sahabat dekat Yuna.
“Kenalkan, ini adalah ayahnya Dik Yuna,” Dion memperkenalkan Effendi pada kedua perempuan itu. Kedua pemudi itu menyalami Effendi dan Ruben sambil tertunduk.
Dion mempersilakan keduanya duduk di bagian sudut, sementara Anto duduk di samping Ruben.
“Lastri dan Tuti mungkin sudah tahu, Yuna sedang sakit. Kami ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.” Dion mulai menyampaikan maksudnya kepada kedua sahabat Yuna itu.
“Siapa yang bisa jawab? Tuti..? Atau Lastri?” tanya Dion kemudian.
“Kami tidak tahu apa-apa, Bang,” kilah Tuti lirih masih dengan menunduk.
“Abang ulangi, Yuna sekarang sedang sakit keras, artinya nyawanya terancam. Keluarga sedang berusaha mengobati tapi kesulitan karena tak tahu penyebabnya. Lastri mau cerita?” Dion masih berusaha membujuk keduanya.
“Bukan aku, Bang,” elak Lastri.
“Dengar! Kita di sini berkumpul untuk bicara baik-baik. Dan kita, terutama keluarga, sedang berusaha mencari solusi bukan mencari orang untuk disalahkan. Tuti dan Lastri mungkin memiliki cerita yang bisa menyelamatkan Yuna,” jelas Dion sambil menatap ke arah kedua perempuan muda itu. Keduanya tampak sangat khawatir, wajah mereka pucat pasi dan tak berani menatap ke arah Dion.
“Lihat Abang! Ayo, lihat ke sini sebentar!” seru Dion geram membuat kedua perempuan itu mengangkat kepala dan menatap ke arah Dion.
“Kalian berdua sudah mahasiswa. Bukan anak-anak SMP lagi. Kalau bertahan tak mau cerita, masalah ini akan terus berlanjut. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Yuna, ujung-ujungnya pasti akan sampai juga kepada kalian berdua.”
“Saat itu terjadi, aku tak akan mau membela kalian. Bagaimana aku mau membela kalian? Menyelamatkan kawan yang sedang sakit saja kalian tak mau,” tegas Dion membuat Lastri dan Tuti mulai menangis.
Semua orang hanya terdiam menunggu jawaban dari kedua gadis itu. Tapi keheningan itu justru membuat tangisan keduanya terdengar semakin keras.
“Cerita yang beredar, Tuti atau Lastri pergi membawa Yuna mendatangi orang pintar. Itu bagaimana? Lalu kenapa bulan lalu kalian mencuri pakaian dalam dan kausku dari jemuran? Bagaimana dengan kepala anjing yang ditanam di depan kamarku oleh kedua teman kalian itu?”
“Jangan membantah, selain ada saksi, aku juga punya bukti rekaman kamera tersembunyi. Kalian berdua terekam mencuri pakaian dari jemuran. Kalian lupa aku ini ahli IT?” tegas Dion mulai kesal.
Sebenarnya Dion berbohong mengenai kamera itu. Dion mengetahui itu semua dari Melati yang bercerita padanya. Ia mengatakan hal itu hanya untuk memberi tekanan kepada kedua perempuan itu.
Kata-kata Dion membuat kedua perempuan terkejut dan tersudut. Akhirnya keduanya menyerah dan mulai mengakui perbuatannya.
“Iya, Bang. Aku yang menunjukkan orang pintar itu. Tapi itu karena Yuna ngotot minta dicarikan dukun pelet,” aku Tuti membuat semua orang terkejut.
“Iya, Bang. Dia juga yang memaksa ditemani menemui dukun pintar di pesisir barat,” Lastri juga mulai membuka cerita.
“Oke… oke. Ceritakan dari awal, supaya kami semua, terutama ayahnya di sini mengerti apa yang sedang terjadi. Ingat, kami tidak sedang mencari orang untuk disalahkan. Kami hanya ingin mencari solusi,” ujar Dion pada keduanya.
Tuti kemudian menceritakan kejadian yang menimpa Yuna bermula ketika teman-teman wanita di kampus mereka membicarakan kehadiran seorang penghuni baru indekos yang tampan, dingin dan tidak bisa didekati wanita.
Merasa tertantang, Yuna kemudian coba mendekati Dion dan bahkan bertaruh dengan beberapa teman bahwa dia bisa menjadikan Dion sebagai pacar.
Tapi Yuna menjadi kaget menyadari pemuda itu adalah Dion, orang sekampungnya. Karena merasa sudah menerima tantangan ditambah taruhan itu, Yuna mendekati Dion, bahkan berusaha menjebaknya agar mau menjadi pacarnya.
“Tapi Bang Dion menolak. Puncaknya ketika acara ulang tahun itu. Waktu itu Bang Dion menolak untuk mencium Yuna,” tutur Lastri sambil mengusap air matanya.
“Sebenarnya kami sudah membujuknya untuk berhenti mengejar dan mengaku kalah saja dengan taruhan itu. Tapi Yuna tak mau. Ia terus saja mengejar, tapi tetap saja Bang Dion tak menanggapinya.”
“April lalu dia mendatangiku meminta dicarikan dukun pelet. Aku menolak. Tapi Yuna bilang, dia melakukannya bukan untuk memenangkan taruhan melainkan karena ia sudah benar-benar jatuh hati pada Bang Dion. Pengakuan itu membuatku tak tega menolak permintaannya. Aku bawa dia menemui orang pintar di kampungku di pesisir timur Serdang,” Tuti melanjutkan penuturan Lastri.
Ternyata pelet itu sama sekali tak bekerja. Sikap Dion terhadap Yuna tetap tak berubah. Yuna, Tuti dan Lastri lalu kembali menemui orang pintar itu untuk mengeluhkan kegagalan itu.
“Orang pintar itu berkilah pelet tidak bekerja karena Bang Dion dipagari oleh sesuatu yang gaib. Untuk menembus pagar gaib itu, kami diminta untuk menanam kepala anjing yang sudah dijampi-jampi oleh orang pintar itu.”
“Kalau pagarnya sudah ditembus peletnya akan bekerja, begitu kata orang pintar itu,” lanjut Lastri kembali terisak karena merasa bersalah.
“Tapi seperti Bang Dion dan Bang Anto ketahui, baru beberapa jam kepala anjing itu ditanam, seekor anjing lain membongkarnya sehingga semuanya heboh, apalagi ketika itu Bang Dion datang bersama teman,” Lastri teringat kejadian beberapa minggu lalu.
“Setelah kejadian itu, Yuna bercerita kalau didatangi makhluk gaib selama tiga malam berturut-turut melalui mimpi,” Tuti mengambil alih cerita.
“Apa makhluk itu seorang wanita berkulit putih berambut panjang mengenakan kemeja putih dan rok hitam?” tanya Effendi.
“Benar, Pak! Pasti Yuna juga sudah cerita, kan?” sahut Tuti.
“Pada malam pertama, wanita di dalam mimpi itu tidak mengatakan apa-apa. Pada malam kedua, Yuna bercerita kalau wanita itu membisikkan kata berulang-ulang padanya; ‘jauhi Dion!’ Jauhi Dion!’” lanjut Tuti.
“Di malam ketiga, wanita itu kembali mendatangi Yuna dan kembali membisikkan sesuatu berulang-ulang, ‘jangan jahati Dion!’ Dan setelah itu wanita itu tak pernah lagi muncul,” Tuti mengisahkan pengalaman sahabatnya.
“Kami jadi ketakutan karena sudah berbuat jahat pada Bang Dion dan aku sudah memintanya untuk berhenti. Tapi Yuna tetap mendesak agar ditemani menemui orang pintar itu,” tambah Tuti lagi sambil menatap Lastri.
“Jujur, sebenarnya aku juga yang memintanya menemui orang pintar itu. Tapi maksudku untuk menghentikan guna-guna itu. Setibanya di sana, dukun itu ternyata sudah mengetahui apa yang terjadi. Dia bilang, yang menjagai Bang Dion itu sangat kuat. Dan katanya anjing yang membongkar bungkusan itu adalah suruhan makhluk gaib.”
“Dukun itu juga yang mengatakan, makhluk perempuan yang mendatangi mimpi Yuna kemungkinan akan kembali menyerang, bukan hanya Yuna tapi juga kami berdua.”
“Dukun itu mengaku tak mampu menghadapi makhluk yang menjaga Bang Dion. Dia menyarankan kami menemui gurunya di pesisir barat untuk memastikan makhluk perempuan itu tidak mengganggu kami. Karena jaraknya jauh, ia menyarankan kami membawakan pakaian Dion pada gurunya itu. Katanya supaya tidak bolak-balik,” Lastri melanjutkan ceritanya.
“Kami sebenarnya sudah menolak untuk terlibat, apalagi ketika Yuna mengaku sudah tak didatangi sosok wanita itu. Tapi Yuna tetap saja meminta kami menemaninya menemui guru dukun itu di pesisir barat, yang kebetulan tak jauh dari kampungku.”
“Abang tau sendiri kan, Yuna suka sekali memaksakan kehendak. Ia bilang, hal itu juga demi keamanan kami berdua. Akhirnya kami menurutinya. Sehari sebelum berangkat, kami mengambil pakaian dari jemuran Bang Dion untuk dibawa,” tutur Tuti sambil tertunduk malu.
“Kami menghabiskan waktu banyak untuk pergi dan kembali dari sana. Padahal ketika itu kami sedang ujian. Kami terpaksa meminta penjadwalan khusus,” keluh perempuan berbadan agak berisi itu.
“Lalu apa yang terjadi di pesisir barat?” tanya Ruben.
“Kami tak lama di rumah dukun itu. Setelah menceritakan apa yang terjadi dan kehadiran kami di sana karena saran muridnya, dukun tua itu mengatakan sanggup melenyapkan makhluk yang menjaga Bang Dion.”
“Dukun itu lalu meminta sesuatu benda yang terkait dengan Bang Dion. Jadi kami berikan ia pakaian yang kami ambil dari jemuran. Setelah itu Yuna memberikannya sejumlah uang, aku tak tahu jumlahnya. Sorenya kami langsung kembali ke Medan,” lanjut Tuti.
“Sesampainya di Medan, mulanya tidak ada yang terjadi. Tapi kurang dari seminggu, Yuna tidak masuk kampus mengikuti ujian. Ketika mengunjungi rumahnya, kami melihat ia sakit, demam dan menggigil.”
“Ia mengaku didatangi dua makhluk mengerikan. Dua sosok aneh berbadan tinggi besar, seperti raksasa. Berbadan hitam legam dengan wajah datar tanpa hidung. Yang aneh, menurut Yuna kedua makhluk itu hanya memiliki satu mata besar berbentuk segitiga,” tutur Lastri.
“Kami berdua menjadi ketakutan dan tak tahu harus berbuat apa. Kami dan beberapa teman memutuskan menyewa seorang sopir untuk mengantarkan Yuna pulang ke kampung menggunakan mobilnya sendiri. Itu dua minggu lalu,” pungkas Tuti menutup kisah itu.
“Sudah hampir jam dua, kita harus makan. Lebih baik memikirkan dan membicarakannya dengan perut terisi,” ujar Dion lalu memanggil pemilik rumah makan dan memintanya menyajikan makanan.
“Mengapa tidak makan?” tanya Dion pada Lastri dan Tuti yang hanya diam tak menyentuh makanan.
“Tadi kami sudah makan, Bang,” jawab Lastri.
“Kalau begitu pesan minuman saja. Semua sudah mendengar cerita kalian. Kupikir tak ada yang menyalahkan kalian, setidaknya tidak sampai sekarang. Tapi kami mungkin masih membutuhkan informasi tambahan, jadi kuharap kalian tetap di sini untuk beberapa saat. Ayo pesan minuman saja.”
Kedua mahasiswi itu tampak lega mendengar kata-kata Dion lalu memesan minuman kepada pelayan.
Tak banyak kata-kata yang terucap ketika mereka menyantap makan siang yang sedikit terlambat itu. Ruben sesekali melemparkan pandangannya pada Dion. Ia ingin menanyakan banyak hal tapi harus menahan niat karena merasa saatnya kurang tepat.
“Silakan ditambah, Tulang, Abang! Kalau aku tahu kalian akan datang, mungkin aku bisa mengajak kalian ke restoran yang lebih baik. Walaupun aku tak punya uang, pasti aku bisa usahakan,” ujar Dion kepada rombongan Effendi.
Setelah menyelesaikan makannya, Dion meminta seorang rekan sesama penghuni indekosnya untuk membelikan tamunya tembakau sesuai dengan merek kotak rokok yang terletak di meja.
“Sekalian belikan tiga strip parasetamol untuk mereka,” tambahnya pada pemuda itu sambil memberikannya dua lembar uang.
“Tulang sudah mendengar cerita dari sisi dua orang teman dekat Yuna. Tulang lah yang menentukan akan memutuskan apa. Aku tetap pada jawaban semula, aku tidak mengguna-gunai Yuna,” tegas Dion kepada ayah Yuna, Effendi yang juga telah menyelesaikan makan siangnya.
“Apakah Yuna sempat bercerita mengenai ciri-ciri wanita yang mendatangi mimpinya itu?” tanya Ruben kepada Lastri dan Tuti.
Lastri kemudian mengulangi keterangannya dengan mengatakan sosok wanita itu mengakan kemeja putih, rok hitam melewati lutut, berkulit putih dan berambut panjang.
“Apa dia tak menceritakan ciri-ciri lainnya? Misalnya kemejanya itu dengan hiasan di bagian depan, seperti pakaian klasik wanita Eropa, mata biru dan badan yang jangkung?” tanya Ruben lagi kepada Lastri.
Dion tersentak heran dengan keterangan Ruben karena ciri-ciri itu sangat mirip dengan Melati.
“Eh iya pak. Wanita itu sangat jangkung, seperti seorang wanita Eropa dan di kemejanya menurut Yuna ada rempel nya,” jawab Lastri disertai anggukan Tuti.
“Iya, Yuna juga menceritakan hal yang sama padaku. Katanya wanita itu jangkung. Apa Lae tau siapa itu?” timpal Effendi sambil menatap ke arah Ruben.
“Dia pasti adalah almarhum ibuku, oppung boru-nya Dion. Ciri-cirinya pas. Kami mewarisi tubuh jangkung darinya karena kakekku, moyangnya si Dion adalah seorang pria Eropa. Ibuku sangat menyukai kemeja putih itu karena merupakan satu-satunya peninggalan kakek kepada almarhum nenek,” jelas Ruben.
Dion pun kaget mendengar penuturan Ruben. Ia hampir tak memiliki informasi apapun mengenai neneknya. Yang ia ketahui hanyalah neneknya itu meninggal karena melahirkan ayahnya.
“Wanita di mimpi si Yuna itu hanya bermaksud mengingatkan dan melindungi cucunya. Jadi sekarang aku yakin Dion tidak mengguna-gunai si Yuna,” ujar Ruben pada Effendi.
Untuk beberapa saat terdengar beberapa suara menyetujui pendapat Ruben itu. Termasuk Marudut dan Ojak.
“Aku sudah dengar cerita versi temannya si Yuna. Aku juga ingin mendengar ceritamu. Bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan si Yuna?” Effendi memberanikan diri untuk bertanya kepada Dion.
“Aku tak punya hubungan apa-apa dengannya. Tapi baiklah aku ceritakan apa yang telah aku dan Yuna lalui,” sahut Dion.
“Aku kaget bertemu dengannya ketika melakukan joging di lapangan di depan sana usai libur tahun baru lalu,” Dion memulai kisahnya sambil menunjuk lapangan di seberang jalan.
“Dia lah yang pertama mengenaliku. Aku agak kesulitan karena dalam pikiranku, Yuna tetaplah adik kecil seperti ketika aku meninggalkannya di kampung. Aku tak menyangka dia telah tumbuh menjadi gadis dewasa.”
“Kami bercerita panjang pagi itu. Aku ingat waktu itu Lastri dan Tuti juga menyertainya bukan? Waktu itu kita sarapan bareng,” tutur Dion sesaat sambil menatap pada Lastri dan Tuti.
“Iya Bang, aku ingat pagi itu,” sahut Tuti.
“Setelah pagi itu, kami semakin sering bertemu, sering makan bersama, ngobrol atau berolahraga pagi bersama. Aku tentu saja sangat senang karena merasa memiliki keluarga di sekitar sini,” lanjut Dion.
“Tapi setelah sebulan atau lebih, aku menjadi khawatir karena Yuna menjadi terlalu manja. Manjanya itu bukan lagi layaknya adik kepada kakak lelakinya. Sudah seperti seorang gadis pada kekasihnya. Kuharap Tulang paham maksudku. Itulah sebabnya aku menasihati dan mengingatkannya untuk menjaga sikap.”
“Mulanya ia mau mendengarkanku. Tapi setelah beberapa hari, ia kembali mengulanginya. Aku lalu mulai menjaga jarak. Bagaimana pun juga, aku hanya menganggapnya sebagai adik perempuan sendiri. Aku mengenalnya sejak kecil, bahkan aku sudah bermain dengannya ketika ia masih belajar bicara,” tutur Dion.
“Iya aku masih ingat dulu ia sering merengek minta digendong olehmu. Bahkan pernah waktu giginya sakit, seharian kau menggendongnya. Kau membawanya menemuiku di bandar yang jauh dari rumah hanya untuk bertemu denganku dan kau kembali membawanya pulang ke rumah dengan terus menggendongnya. Bibimu pernah menceritakan hal itu padaku,” Effendi terkenang masa kecil Yuna dan Dion.
“Lalu terjadi kejadian di acara ulang tahun seperti yang diceritakan Lastri tadi. Waktu itu aku kembali menegaskan bahwa aku menganggapnya seperti adik, tidak lebih dari itu. Ia marah sekali padaku. Setelah kejadian itu beberapa kali Yuna menuntut maaf dariku.”
“Aku kemudian meminta maaf, karena mungkin telah membuatnya malu di depan teman-temannya. Aku bahkan menawarkan diri untuk berpura-pura menjadi pacarnya agar ia memenangkan taruhan. Tapi Yuna semakin marah dan ngotot meminta agar aku memacarinya.”
“Permintaannya itu tentu saja tak mungkin aku penuhi. Sedari kecil aku sayang padanya dan itu tak berubah sampai sekarang. Tapi itu sayang seorang kakak kepada adiknya. Hanya untuk memikirkannya sebagai pacar saja membuatku merasa aneh.”
“Penolakanku itu ternyata membuatnya marah. Dua atau tiga bulan belakangan ia menolak untuk berbicara denganku,” tutur Dion.
“Aku tak tahu kalau dia jatuh sakit dan sudah berada di kampung sekarang. Aku tadi kaget dengan kedatangan kalian, tapi lebih kaget ketika aku dituduh melakukan teluh atau guna-guna. Kenapa aku melakukan itu?” kata Dion kembali menatap Effendi.
“Sekarang aku sudah paham masalahnya. Aku tak bisa memikirkan alasan yang mungkin Dion miliki untuk melakukan itu. Maafkan lah Tulang mu ini. Aku panik dan takut memikirkan apa yang terjadi pada adikmu si Yuna itu,” ujar Effendi kembali meneteskan air mata.
“Sudah lah Tulang. Kita lupakan saja kejadian tadi. Sekarang kita pikirkan solusi yang paling mungkin Tulang bisa ambil. Saranku, temui saja orang pintar di pantai barat itu dan minta ia menghentikan apapun yang ia lakukan,” usul Dion lalu menatap ke arah Marudut dan Ojak serta dua pemuda yang bersama mereka.
Keempatnya tampak mengangguk menyetujui kata-kata Dion untuk melupakan kejadian dan kekerasan tadi.
“Aku pernah dengar cerita, seseorang yang gagal mengguna-gunai justru diserang oleh guna-guna itu sendiri,” ujar Ojak. Kata-katanya dibenarkan oleh Udut dan juga Ruben.
“Aku juga pernah dengar cerita seperti yang dikatakan Ojak itu. Aku juga setuju dengan saran menemui dukun itu,” timpal Ruben.
Mereka lalu meminta Lastri dan Tuti menuliskan alamat kedua dukun yang pernah coba mengguna-gunai Dion.
Rombongan Effendi kemudian berdiskusi untuk memutuskan ke mana mereka akan pergi. Effendi sempat mengusulkan akan ke Deliserdang terlebih dahulu karena jaraknya lebih dekat.
“Sebaiknya langsung saja ke pesisir barat walaupun jaraknya lebih jauh. Dari cerita yang disampaikan Tuti dan Lastri tadi, aku berpikir kalau orang pintar di Deliserdang itu sangat licik dan jahat. Aku takut ia malah akan memengaruhi Tulang untuk mengambil tindakan lain. Bukannya menghasilkan solusi, malah akan mendatangkan masalah baru.”
“Kupikir kalau berangkat sore ini, besok siang sudah bisa bertemu dengan dukun di pesisir barat itu. Lagipula bukankah dia yang melakukan guna-guna yang terakhir?” usul Dion.
Setelah berdiskusi lebih lanjut, akhirnya Effendi mengikuti saran Dion. Sementara Ruben yang merasa urusannya telah selesai, mulanya menolak untuk ikut ke pesisir barat, tapi Effendi berhasil membujuknya untuk menemaninya pergi bersama-sama.
“Iya kupikir Bapatua juga perlu ikut. Malah sesampainya di sana, biarlah Bapatua Ruben yang bicara. Aku tak bermaksud mengecilkan Tulang Effendi, tapi saat ini pikiran Tulang pasti sedang kalut dan emosional. Bapatua Ruben pasti bisa lebih berpikir jernih,” Dion kembali memberikan usulan.
“Dan kuharap kalian tidak melakukan tindakan intimidasi apalagi kekerasan di sana. Kita belum tahu orang seperti apa yang akan kita hadapi. Memohon saja dengan kerendahan hati. Mudah-mudahan ia mau mendengar dan membatalkan guna-guna itu,” ujar Dion yang membuat Effendi kembali mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu Ruben kembali menatapi keponakannya yang sudah tumbuh dewasa secara fisik dan pemikiran dengan rasa kagum.
Karena merasa urusan telah selesai, Anto, ketiga penghuni indekos Dion beserta Lastri dan Tuti meninggalkan rumah makan itu, sementara Dion dan Hendrik masih menemani mereka yang bersiap untuk berangkat menuju pesisir barat Sumatera.
Ketika mendapat kesempatan, Dion kemudian menanyakan kabar bibi dan para sepupunya. Ruben dengan bersemangat bercerita bahwa semuanya baik-baik saja.
“Kedua abangmu yang di Medan ini sudah tamat dan bekerja. Yang ketiga sedang kuliah di Jakarta sementara yang keempat akan mengikuti seleksi perwira Polisi bulan depan,” jelas Ruben dengan bangga.
“Wah abang-abang dan kakakku hebat-hebat! Oh iya, aku baru tahu kalau Tua Doli adalah keturunan Eropa. Bagaimana ceritanya itu?” tanya Dion yang sedari tadi penasaran. Tua Doli adalah sebutan untuk kakek moyang.
“Kakekku atau moyangmu, adalah seorang pekerja galangan kapal di Belawan di masa penjajahan. Dia berkebangsaan Perancis. Dia menikahi wanita pribumi dan memiliki seorang putri yaitu ibuku, nenekmu.”
“Ketika Jepang masuk ke negeri ini, perusahaannya memerintahkan mereka memindahkan kapal-kapal entah ke mana. Kakek pun tak bisa menolak perintah itu. Tapi setelah itu kakek tak pernah kembali dan meninggalkan nenek moyang bersama nenekmu yang masih balita,” tutur Ruben bercerita.
“Apa kau pernah bertemu dengan oppung borumu di dalam mimpi?” tanya Ruben kemudian.
“Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak mengenal oppung boru,” kata Dion sedikit berbohong. Tapi ia juga tak ingin menjelaskan pertemuannya dengan Melati dan belum yakin kalau wanita itu adalah neneknya.
“Suatu waktu, pulanglah ke kampung aku akan menunjukkan foto-fotonya kepadamu. Aku menyembunyikannya dari kakekmu karena tak mau membuatnya sedih. Kakekmu sangat mencintai nenekmu. Ia menolak untuk menikah lagi dan memilih menduda sampai akhir hidupnya,” jelas Ruben.
Di dalam hati Dion sempat memikirkan sejarah keluarganya yang miris. Kakek moyang meninggalkan nenek ketika masih kecil. Nenek meninggal ketika melahirkan ayah Dion. Ayah dan ibunya juga meninggalkan Dion ketika masih kecil.
“Kenapa keluargaku begini dan tidak pernah hidup secara lengkap?” pikir Dion.
Hari belum terlalu sore ketika Dion dan Hendrik melepas Effendi, Ruben beserta keempat pendampingnya berangkat menuju pesisir barat.
“Wah maaf, Bro. Tiba-tiba kita dihadapkan urusan seperti ini, mengganggu rencanamu mentraktirku dan menceritakan kisah kasihmu,” ujar Dion kepada Hendrik.
“Tidak apa-apa Bro. Aku juga kaget. Hebat juga kau tadi menghajar kedua orang itu,” sahut Hendrik.
“Masih ada waktu. Kita ngopi saja di sini lagi,” ajak Dion.
“Oh iya, bagaimana kau bisa tahu aku punya kisah kasih?” tanya Hendrik sambil melangkah kembali ke dalam rumah makan itu untuk berbincang menikmati kopi sore itu.
“Itu gampang, Bro. Lihat saja caramu berpakaian. Itu menandakan kau sedang jatuh cinta,” ungkap Dion sambil tertawa meledek.
Belakangan hari, Dion mengetahui bahwa rombongan paman dan ayah Luna tidak berhasil menemui orang pintar di pesisir barat Sumatera itu. Orang pintar itu sudah menjadi mayat ketika mereka tiba di sana, meninggal pada malam ketika rombongan Effendy dalam perjalanan.
Orang pintar yang sudah uzur itu meninggal dalam keadaan mengenaskan. Lidah terjulur dan wajah membiru seakan seseorang mencekiknya ketika sedang tidur.
Ketika mereka kembali ke kampung, Yuna mengaku tidak lagi mendapat gangguan dari kedua makhluk mengerikan yang pernah ia ceritakan. Yuna sudah bisa tidur lelap dan secara perlahan mulai membaik meskipun masih sering dibayangi ketakutan.
Karena terlalu malu dan ingin melupakan masa lalunya, Yuna melanjutkan kuliahnya di pulau Jawa, bekerja dan menikah di sana.