Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Berganti Status
Selang beberapa hari, Jagat sudah menyelesaikan dokumen yang dibutuhkan, untuk persyaratan pernikahan. Tak ada kesulitan bagi seseorang dengan status sosial seperti dia, menyelenggarakan pernikahan dalam waktu cukup singkat.
“Kenapa mendadak sekali, Kak? Aku belum ada rencana pulang ke Indonesia. Duncan sedang sibuk dengan pekerjaannya,” ucap Nayeli, saat dihubungi Jagat.
“Aku tidak akan memaksamu pulang, Nay. Kapan-kapan, aku akan membawa Jenna berkunjung, lalu menggelar pesta di sana. Bagaimana?”
“Ah, itu ide yang sangat bagus. Musim panas mendatang akan jadi waktu terbaik untuk menyelenggarakan pesta.” Nayeli menyambut ceria usulan Jagat. Apalagi, sudah lama sang kakak tidak mengunjunginya.
“Aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa menghadiri acara pernikahanmu. Sampaikan salamku untuk untuk Kak Jenna. Aku sangat bahagia karena akhirnya Kakak memutuskan mengakhiri masa lajang. Doa terbaik untuk kalian berdua.”
“Terima kasih, Nay. Doa yang sama untukmu dan keluarga,” balas Jagat. “Aku masih ada urusan lain. Nanti kuhubungi lagi bila sempat,” pamitnya, sebelum mengakhiri perbincangan.
Jagat keluar dari ruang kerja, lalu menuju kamar yang ditempati Jenna. “Boleh mengganggu sebentar?” Jagat menyembulkan kepala dari balik pintu, setelah mengetuknya. Dia mendapati Jenna sedang asyik menyulam.
“Masuk saja, Pak,” sambut Jenna hangat, lalu meletakkan hasil pekerjaannya di meja.
Jagat melangkah masuk. Dia berdiri sambil memperhatikan hasil sulaman Jenna, sebelum beralih pada sang pembuatnya. “Sebentar lagi, pihak butik akan mengirimkan gaun pengantin. Bersiaplah. Barangkali, ada bagian-bagian yang harus diperbaiki.”
Jenna tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Apa Anda akan pergi?” tanyanya.
“Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Aku akan pergi setelah pihak butik datang, kecuali jika kamu merasa tidak membutuhkanku.”
Jenna tersenyum lebar mendengar ucapan Jagat. “Aku belum berpengalaman mempersiapkan pernikahan.”
“Aku juga.” Jagat tersenyum kecil. “Omong-omong, ada salam dari Nayeli.”
“Bagaimana tanggapannya?” Raut wajah Jenna tiba-tiba berubah, mendengar nama Nayeli disebut.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku kakaknya.”
Jenna berusaha menerima ucapan Jagat, meskipun ada rasa waswas dalam hatinya. “Apa Nayeli tahu aku sedang hamil?” tanyanya ragu.
“Aku tidak harus memberitahunya segala hal,” jawab Jagat tenang.
“Ya, tapi bagaimana jika dia curiga?”
“Dia pasti curiga dan akan bertanya macam-macam padaku. Namun, kamu tidak perlu memikirkannya karena itu akan jadi urusanku. Fokuslah pada kehamilanmu. Tetap jaga kesehatan.”
Jenna mengangguk. Dia tak ingin banyak bertanya lagi. Jenna menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Jagat, sebab pria itu pasti sudah mempertimbangkan segala keputusan yang diambil.
Seperti yang Jagat katakan tadi, ada perwakilan dari pihak butik yang datang mengantarkan pesanan gaun pengantin. Mereka bahkan memastikan Jenna sudah benar-benar nyaman dengan gaun itu.
Jenna terlihat sangat cantik dalam balutan gaun pengantin tersebut. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, akan mengenakan gaun berharga puluhan juta rupiah.
Bagai mimpi yang jadi kenyataan. Walaupun tidak dalam situasi yang seharusnya, tetapi pernikahan antara Jagat dan Jenna akhirnya terjadi. Gaun pengantin itu terlihat sangat indah, saat melekat di tubuh semampai Jenna. Namun, ada satu hal yang tidak bisa disembunyikan oleh keindahan gaun mahal tersebut, yaitu perut Jenna yang tengah mengandung empat bulan.
Akan tetapi, itu tak membuat Jagat terganggu. Dia menyambut Jenna dengan senyum hangat penuh wibawa, membawa wanita muda itu berdiri di altar untuk mengucap janji suci pernikahan.
Entah permainan apa yang tengah Jagat dan Jenna lakukan saat ini. Namun, mereka tak sepenuhnya bermaksud menjadikan itu sebagai lelucon. Jagat merasa pernikahan yang dilakukan didasari niat tulus, meskipun tanpa dasar cinta kasih layaknya pasangan kebanyakan.
Di hadapan Tuhan dan pendeta yang mengesahkan pernikahan itu, Jagat mengucap sumpah setia. Begitu juga dengan Jenna. Ini merupakan keputusan terbesar yang mereka ambil, dalam waktu teramat singkat.
“Anda boleh mencium mempelai wanita,” ucap pendeta, yang memimpin upacara sakral itu.
Jagat dan Jenna saling berhadapan. Ada rasa canggung, saat Jagat membuka veil yang menutupi wajah Jenna. “Bolehkah?” tanya Jagat teramat pelan, meminta izin terlebih dulu.
Tak ada alasan bagi Jenna menolak permintaan izin Jagat. Wanita muda yang tengah mengandung empat bulan itu tersenyum kecil, sebagai tanda setuju.
Untuk pertama kali, Jagat menyentuh bibir Jenna dengan bibirnya. Namun, itu bukanlah ciuman panas yang dapat menggugah berahi. Hanya sekilas dan tak menimbulkan rasa apa pun, selain kecanggungan yang kian menjadi.
Pesta pernikahan berlangsung cukup meriah. Sayangnya, acara itu hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu, berhubung Jagat hanya mengundang kerabat dekat dan beberapa kolega. Bisa dikatakan, pesta yang diadakan merupakan privat party.
Namun, meskipun begitu, tidak mengurangi kebahagiaan beriring doa tulus bagi kedua mempelai. Ucapan selamat diterima Jagat dan Jenna, membuat mereka akhirnya bisa merasakan jadi raja dan ratu sehari.
“Beristirahatlah. Jangan lupa minum vitamin sebelum tidur,” ucap Jagat, setelah berada di kamar hotel, yang sengaja disewa untuk malam pertama.
“Pinggangku sakit sekali. Mungkin karena terlalu lama berdiri,” ucap Jenna, seraya mengusap-usap bagian belakang pinggangnya.
“Semoga tidak berpengaruh pada kehamilanmu. Bagaimana jika kita memajukan jadwal kontrol bulanan? Hanya untuk kali ini.”
“Terserah Anda, Pak.” Jenna tak ingin banyak membantah. Dia teramat lelah. Setelah selesai membersihkan riasan, wanita muda itu langsung naik ke tempat tidur.
“Apa kita akan berbagi tempat tidur?” tanya Jenna, sebelum merebahkan tubuh.
“Tidak usah, jika kamu keberatan. Aku bisa tidur di sofa,” jawab Jagat tenang. Dia mengambil bantal, kemudian meletakkannya di sofa. “Sudah minum vitamin?” tanya Jagat, sebelum merebahkan diri.
Jenna mengangguk. “Aku akan tidur sekarang,” ucapnya, seraya menarik selimut. Jenna merebahkan tubuh dengan posisi menyamping, membelakangi sofa. “Selamat malam, Pak.”
“Selamat malam, Jenna,” balas Jagat. Dia terpaku beberapa saat, sebelum mengalihkan perhatian kepada Jenna yang sudah berbaring.
Jagat mengembuskan napas berat dan dalam, lalu tersenyum kecil. Tak bisa dipercaya, statusnya kini telah berganti. Dia bukan lagi seorang lajang menyedihkan.
Jam digital di meja sudah menunjukkan angka 22.30. Bukannya tidak merasa lelah atau mengantuk. Namun, Jagat tak terbiasa tidur sebelum membersihkan tubuh terlebih dulu. Akhirnya, dia memutuskan masuk ke kamar mandi.
Jenna yang disangka telah tidur, rupanya masih terjaga. Wanita muda itu kesulitan memejamkan mata. Terlebih karena lampu di dalam kamar masih menyala.
Sayup-sayup terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Jenna mengernyitkan kening. Dia yang awalnya dalam posisi membelakangi, kali ini berbalik menghadap ke sofa.
“Apa Pak Jagat mandi pada jam seperti ini?” pikir Jenna, yang langsung berpura-pura tidur, saat Jagat muncul dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.