Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07.
Luna baru saja menyelesaikan tugas pertamanya pagi itu, dia berjalan menuju ke ruang istirahat setelah meletakkan sejumlah peralatan yang digunakannya tadi. Ketika hendak mengambil minuman langkah perempuan berambut kepang itu terhenti ketika di dengar suara aneh dari salah satu pintu yang kebetulan berada darah yang sama dengan dispenser minuman. Degupan jantung Luna agak meningkat, arah pandangnya langsung dengan cepat menyisir sekitar dan benar adanya hanya ialah seorang diruangan itu. Salivanya ditegur sekali sambil bergumam,
"Masa pagi - pagi setan di gedung ini udah muncul sih?"
Setelah berpikir sejenak dan ada rasa penasaran disana, Luna memutuskan kembali ke ruangan penyimpanan. Diambil satu alat yang sekiranya berpotensi bisa melakukan manuver penyerangan pada sumber suara yang masih diyakininya adalah makhluk dari dunia lain itu. Perlahan namun pasti, dibuka lebar - lebar daun telinganya juga langkah pelan nan teraturnya serta sikap waspada terlihat jelas ketika dia berjalan menuju ke arah sumber suara. Toilet wanita, suara aneh yang di dengarnya semakin kuat dan jelas. Dimiringkan sedikit kepalanya agar telinganya benar - benar dapat memastikan sumber suara itu.
"Loh, ini bukannya...," gumamnya lagi sambil kemudian mendorong salah satu bilik toilet itu.
Betapa terkejutnya Luna, ketika di dapati Ningning sedang duduk diatas kloset dan menangis. Wajah serta tatanan rambut perempuan yang lebih kurus darinya itu sudah sangat berantakan.
"Ning...," panggil Luna lembut.
"Luna...," balas Ningning setelah melihat kearah teman baiknya itu. Lalu dengan cepat dia berhamburan memeluk Luna yang masih sangat terkejut dan bingung. Perlahan diletakkan alat kerja yang inginnya digunakan sebagai alat proteksi Luna ke lantai, lalu dibalas peluk Ningning dengan usapan lembut ke kepala perempuan itu.
Setelah beberapa saat memberikan Ningning meluapkan kesedihannya, Luna lalu menggiring perlahan teman satu divisinya itu untuk duduk di salah satu tempat duduk sambil kemudian diambilkan segelas air putih dingin untuknya.
"Na, sungguh, sungguh aku nggak sengaja...," ucap Ningning yang terlihat sudah lebih tenang.
Luna hanya mengangguk pelan sambil membantu membersihkan sisa - sisa air mata juga helaian rambut Ningning yang berantakan.
"Ning, tarik napas dulu. Kalau kamu sudah siap cerita, silahkan. Ceritanya pelan - pelan aja ya...," ucap Luna yang terus berusaha membuat Ningning tenang.
Perempuan berambut cepol itu mengikuti saran Luna, dicobanya untuk mengendalikan diri dengan memejamkan mata serta menarik napas lalu menghembuskannya dalam dan panjang.
"Jadi gini Na...," lanjut Ningning mulai bercerita.
"Aku awalnya membersihkan ruangan Pak Danar sesuai aturan yang ada. Sebenarnya semua sudah selesai ku kerjakan, tapi karena ke usilan aku juga, ada satu benda lucu yang aku ambil dari pajangan dekat TV. Aku mainkan sebentar dan entah kenapa? benda itu tiba - tiba licin di genggamanku dan jatuh lalu pecah...." cerita Ningning terhenti.
Perempuan muda itu kembali terdiam dengan merunduk dan tetes air mata yang kembali jatuh, dia mencoba kembali melanjutkan cerita dengan menggelengkan kepala sesaat dan mengusap jejak air matanya.
"Tadi, aku dipanggil bersama Ibu Rahma. Pak Danar ngasi pilihan, Ibu Rahma atau aku yang pergi dari ABS? Itu semua kesalahan aku Na, aku nggak lapor Ibu Rahma karena sudah ketakutan. Karena aku juga Ibu Rahma dihadapkan sama pilihan yang sulit, awalnya Ibu Rahma bilang biar beliau aja yang pergi karena kasihan sama aku. Tapi aku bilang, itu semua kesalahan aku jadi aku yang harus tanggung jawab...," lanjut Ningning dengan tangis yang kembali pecah.
Luna kemudian menarik tubuh temannya itu dan dipeluk cukup erat dengan mengusap pelan kepala serta punggungnya. Otak Luna kembali liar, jiwa pahlawannya tiba - tiba muncul karena melihat keadaan Ningning juga atasannya Ibu Rahma.
xxxxxxxx
Tok...
Tok...
Tok...
Suara ketukkan pintu terdengar dari luar ruangan Ibu Rahma. Wanita gemuk itu mendongak, dialihkan pandangannya dan dia mempersilahkan Si Tamu untuk masuk.
"Permisi Bu...," sapa singkat dan dengan gestur sopan Luna masuk.
"Oh, Luna. Silahkan...," jawab Ibu Rahma yang juga sopan sembari melepas kacamatanya dan kemudian mempersilahkan salah satu bawahannya itu untuk duduk.
Luna yang sudah berhadapan dengan Ibu Rahma lalu mulai bercerita soal Ningning tanpa basa - basi lagi. Atasannya itu mendengarkan dengan sesama tanpa sedikit pun menginterupsi.
"Menurut saya semua itu tidak adil Bu. Kami staff baru disini, Ningning memang salah, tapi itu bukan kesalahan yang fatal. Maaf Bu, kalau boleh, bisa saya bertemu dengan Bapak Danar. Saya ingin menuntut keadilan untuk Ningning juga teman - teman yang lain sesama staff baru disini?" jelas Luna dengan nada dan semangatnya yang membara.
Ibu Rahma lalu mengaitkan kedua jemarinya ke depan wajah. Wanita yang sudah memiliki cucu itu berpikir sejenak, kemudian memberikan senyum simpul sesaat.
"Luna, perusahaan ini memiliki aturan. Seperti yang sudah saya jelaskan diawal soal ruangan Pak Danar, area itu memang tempat yang sangat rawan. Kamu juga sudah dengar sendiri dari Ningning apa saja kesalahan fatal yang dilakukannya. Saya mengajukan diri karena saya tahu kondisi Ningning dan ditambah saya juga sudah sangat lama mengabdi disini, mungkin ini sudah waktunya untuk saya pensiun. Saran saya, jangan pernah tempatkan diri kamu di kondisi berbahaya jika itu bukan kesalahan kamu, biarkan teman - teman kamu atau orang yang berbuat salah yang bertanggung jawab....," Ibu Rahma mencoba memberi penjelasan pada Luna yang masih terlihat berapi - api.
Perempuan muda itu cukup kecewa dengan tanggapan Ibu Rahma, namun tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Sesaat dia berpikir begitu hingga masi di tempat yang sama terbersit sebuah ide gilanya.
"Bagaimana jika saya mengajukan diri untuk menjadi staff khusus pembersih ruangan Pak Danar? Karena beliau memecat Ningning, otomatis posisi itu kosong, gimana Bu?" usul Luna.
Pupil Ibu Rahma agak membesar dengan kerutan di dahi yang muncul, sedikit ragu namun wanita agak tua itu juga berpikir, bahwa ucapan Luna ada benarnya. Anggukan kepala kembali terlihat sebagai ekspresi awalnya. Lalu tiba - tiba dia mengangkat telepon dan menghubungi seseorang, tidak lama kemudian Luna juga Ibu Rahma sudah berada diruangan Danar.
Danar yang masih menggunakan masker mulut dan juga memakai kacamata minusnya terlihat sedikit berbeda, kedua matanya memandang langsung kearah Luna. Begitupun perempuan manis itu, walaupun dengan debaran jantung yang meningkat tajam dan sesekali menelan salivanya karena menahan rasa gugup serta takutnya.
"Jadi, ada syaratnya? Heum...," ucap Danar dengan tawa kecil yang kemudian keluar.
Luna mengangguk dengan keyakinan penuh dan wajah beraninya. Ibu Rahma hanya bisa melihat bergiliran antara Luna dan Danar. Lelaki muda itu lalu mendorong kursinya dan berdiri, berjalan kearah sudut meja kerjanya dan duduk sedikit diatasnya.
"Ibu Rahma, bisa tinggalkan kami?" pinta Danar dengan sopan dan lembut.
Ibu Rahma hanya bisa mengangguk tanpa bersuara, karena dilihat guratan ketegangan dimulai dan dia tidak punya pilihan lain untuk meninggalkan anak didiknya seorang diri disana.
"Tell me that's condition you asking me for...," lanjut Danar sambil sedikit mengangkat telapak tangannya pada Luna.
"Saya akan menjadi staff khusus bersih - bersih untuk ruangan Bapak ini dan juga mengganti barang yang dipecahkan oleh Ningning dengan potongan gaji saya, tapi tolong jangan pecat Ningning, karena dia satu - satu nya tulang punggung keluarganya. Saya mohon, Pak...," ucap Luna dengan berani.
Danar masih terdiam dengan menatap terus kedua bola mata Luna yang cukup indah. Lagi - lagi Luna melihat atasannya itu mengangguk, namun kali ini dibarengi dengan perpindahan posisi. Danar berjalan mendekat kearah Luna, awalnya perempuan itu masih berdiri dengan tegak diposisinya, namun lama - kelamaan dia berjalan mundur secara perlahan. Dari sorot mata Danar terlihat ada segurat senyum puas yang dibuatnya. Tanpa disadari Luna sudah diambang batas ruangan, tubuhnya menabrak tembok dan hampir saja kepala belakangnya juga membentur benda keras itu, namun dengan cepat Danar meraih pinggang Luna dengan satu tangan dan tangan lainnya ditempelkan ke dinding, hingga lagi - lagi jarak keduanya benar - benar hitungan mili.
"Bukan hanya staff khusus untuk ruangan ini, tapi juga tempat pribadi saya. Bagaimana?" tawar Danar dengan suara pelan mendayung dihadapan Luna.
Pupil Luna membesar dan kedua matanya menatap retina mata Danar dengan cukup liar dalam diam.
********