~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19 - Ketika Harimau Berbicara dengan Ayam
...----------------...
Sora berjalan menyusuri jalanan desa dengan langkah santai. Di tangannya ada bungkusan kain yang berisi makanan. Ibunya menitipkan ini untuk diberikan kepada seorang tetangga, seorang pria tua yang tinggal sendirian di ujung desa.
Setelah mengetuk pintu beberapa kali, suara serak terdengar dari dalam.
“Siapa?”
“Sora, Paman.”
Terdengar suara langkah kaki berat, lalu pintu kayu itu terbuka. Seorang pria tua dengan wajah penuh keriput menatapnya. Mata sayu nya sedikit membulat melihat Sora membawa bungkusan itu.
“Ah… ini dari ibumu, ya?”
Sora mengangguk dan menyerahkan bungkusan itu. Pria tua itu mengambilnya dengan tangan gemetar. Sejenak, ia menatapnya dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
“Kimiko… dia selalu baik,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Terima kasih, Sora.”
Sora tersenyum tipis. “Ibu bilang kalau ada yang Paman butuhkan, beritahu saja.”
Pria tua itu hanya mengangguk. Lalu, seolah menyadari sesuatu, ia menatap Sora dengan tajam.
“Dingin di luar. Kau tidak ingin mampir sebentar?”
Sora menggeleng pelan. “Maaf, Paman. Aku harus pergi ke pasar.”
Pria tua itu menghela napas. “Baiklah… hati-hati di jalan, nak.”
Sora menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat sebelum berbalik pergi.
Di Pasar
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya Sora tiba di pasar. Suara pedagang yang menawarkan dagangan dan pembeli yang sibuk memilih barang terdengar di mana-mana.
Di sampingnya, Emi berjalan dengan ekspresi yang sedikit muram.
Sora meliriknya. “Kenapa wajahmu seperti itu?”
Emi mendengus pelan. “Tidak apa-apa.”
Sora menaikkan alis. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi perhatiannya langsung tertuju pada sesuatu di depan.
Lapak dagangan yang besar dan megah.
Seseorang berdiri di sana.
Liliane.
Gadis berambut pirang itu tampak duduk di atas peti kayu, mengayunkan kakinya sambil melihat-lihat sekeliling dengan tatapan bosan.
Ketika matanya menangkap Sora, wajahnya langsung berubah.
Ia melompat turun dan berjalan cepat ke arahnya.
Sora tidak punya waktu untuk bereaksi sebelum Liliane berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan mata berbinar.
“Kau akhirnya datang juga.”
Sora berkedip. “Eh?”
Liliane menautkan kedua tangannya di belakang punggung, menyandarkan tubuh sedikit ke depan dengan ekspresi yang jelas menunjukkan ketertarikannya.
“Kukira kau tidak akan muncul.”
Emi, yang berdiri di samping Sora, mengerutkan kening.
“Aku tidak tahu kalau kau menungguku,” jawab Sora jujur.
Liliane tertawa kecil. “Aku tidak menunggu, hanya kebetulan melihatmu.”
Emi menyipitkan matanya. Itu kebetulan yang terlalu sempurna.
Sementara itu, Liliane mengamati Sora dari kepala hingga kaki. “Kau mau beli sesuatu?"
Sora mengangguk. “Aku hanya ingin melihat-lihat.”
Liliane tersenyum. “Kalau begitu, aku bisa menemanimu.”
Sebelum Sora sempat menjawab, Emi langsung menyela.
“Dia tidak perlu ditemani,” katanya dengan nada ketus.
Liliane akhirnya menoleh ke arahnya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memperhatikan Emi.
Sejenak, mereka saling menatap.
“Dan kau…?” tanya Liliane, suaranya datar.
“Emi.”
Liliane mengangguk pelan, lalu kembali menatap Sora.
Sora, yang menyadari ketegangan yang mulai muncul, menggaruk kepalanya. “Uh… kami akan berkeliling dulu.”
Liliane tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi kalau kau ada waktu nanti, datanglah ke lapak ini lagi. Aku ingin berbicara lebih banyak.”
Sora mengangguk pelan. “Oke.”
Liliane lalu berbalik, kembali ke tempatnya.
Saat ia pergi, Emi langsung menatap Sora dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Kau terlihat akrab sekali dengannya.”
Sora mengangguk. “Ah... itu—”
Sebelum Sora dapat menyelesaikan perkataanya, Emi menundukkan kepalanya sedikit, dan memotongnya. “Dia cantik…”
Sora menatapnya. “Hah?”
Emi menggigit bibirnya. “Tidak apa-apa.”
Sora bisa merasakan sesuatu yang aneh dari Emi.
Dan untuk pertama kalinya… ia merasa suasana di antara mereka berubah.
Kembali ke Rumah
Sora berjalan di jalan setapak yang dipenuhi kerikil, langkahnya ringan, sesekali menendang batu kecil di jalannya. Di sampingnya, Emi masih terlihat murung.
Sora meliriknya dengan penasaran.
"Hei, Emi," panggilnya.
Emi hanya melirik sekilas, lalu kembali menunduk.
Sora mengangkat alis. Ia berpikir keras. Lalu, tiba-tiba, wajahnya berubah jahil. Ia melangkah lebih cepat, lalu pura-pura tersandung batu dan—
"WAH!"
Sora jatuh berguling di tanah dengan dramatis, kedua tangannya mencakar udara seolah-olah mencoba menangkap sesuatu yang tidak ada.
Emi, yang awalnya tidak peduli, langsung tersentak. "Sora!"
Tapi sebelum Emi bisa menghampiri, Sora sudah bangkit dengan wajah datar dan berkata, "Aku baru saja bertarung dengan monster bayangan yang mencoba menculik ku."
Emi berkedip. "...Apa?"
Sora mengangguk serius, membersihkan tanah dari pakaiannya dengan gaya seorang pahlawan. "Ya, kau tidak melihatnya? Monster itu datang dari tanah, menjulurkan tangannya untuk menarik ku ke dunia lain!"
Emi mulai menyipitkan mata.
Sora semakin bersemangat. "Tapi aku berhasil mengalahkannya dengan jurus rahasiaku...!"
Ia lalu melompat ke udara, berputar satu kali, lalu mendarat dengan gaya yang konyol.
"Aku menyebutnya Tendangan Bayangan Harimau!!" katanya dengan suara berat seolah-olah sedang mendongeng kisah pahlawan.
Emi akhirnya mendengus kecil. "Itu terdengar konyol."
"Tidak, ini teknik yang diwariskan turun-temurun!" Sora bersikeras, mendekat ke Emi dengan wajah serius. "Kau ingin belajar?"
Emi mencoba menahan tawanya, tapi akhirnya menyerah dan tertawa kecil. "Sora, kau benar-benar aneh."
Sora tersenyum lebar. "Aku tahu! Itu sebabnya aku adalah pendekar masa depan!"
Ia kembali melompat-lompat di sekitar Emi, membuat gerakan tangan aneh seolah-olah sedang bertarung dengan musuh tak terlihat.
Emi menutup mulutnya, berusaha menahan tawa lebih lama. Tapi Sora terus bertingkah konyol—berlari zig-zag, berguling tanpa alasan, bahkan mencoba berdiri dengan satu kaki sambil merentangkan tangannya seperti burung.
Akhirnya, Emi tidak bisa menahan lagi dan tertawa keras.
"Kau terlihat seperti bebek bodoh!" katanya di antara tawanya.
Sora berhenti, meletakkan tangannya di pinggang. "Bukan bebek! Aku harimau bayangan!"
Emi masih tertawa.
Melihatnya tertawa seperti itu, Sora merasa puas. Itu tujuannya sejak awal.
Ia berjalan mendekat dan menatap Emi dengan seringai jahil. "Nah, sekarang kau sudah ceria lagi!"
Emi masih terkikik, tapi mengangguk. "Iya, iya… terima kasih, Harimau Bayangan."
Sora tertawa. "Sama-sama!"
Mereka berdua berjalan kembali ke desa, kini dengan suasana yang jauh lebih ringan.
Dan di dalam hati Sora, ia merasa bangga karena bisa membuat Emi tersenyum lagi. Tapi… ia merasa ini belum cukup.
Ia melirik Emi yang sudah mulai tenang, lalu menyeringai. Saatnya kejahilan tahap dua.
Ia berjalan lebih cepat, melangkah di depan Emi, lalu tiba-tiba berbalik dengan ekspresi serius.
"Emi, aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting."
Emi berhenti, menatapnya dengan bingung. "Apa?"
Sora menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, "Aku punya kekuatan tersembunyi."
Emi mengerutkan kening. "Hah?"
Sora mengangguk serius. "Iya… tapi ini rahasia besar."
Ia menunduk sedikit, berpura-pura melihat sekeliling, lalu mendekatkan wajahnya ke Emi dan berbisik pelan, "Aku bisa berkomunikasi dengan hewan."
Emi berkedip beberapa kali. "Apa?"
Sora mengangkat satu tangan, meletakkannya di dada. "Kau tidak percaya? Lihat ini!"
Ia tiba-tiba membalikkan badan dan menatap seekor ayam yang sedang berkeliaran di pinggir jalan.
"KAWK-KAWK-KAWK!"
Emi terdiam, menatapnya dengan tatapan kosong. "Sora… itu cuma suara ayam biasa."
Sora menggeleng dengan dramatis. "Tidak, tidak, kau salah. Aku sedang mengobrol dengannya!"
Emi menaruh tangan di pinggangnya, menatap ayam itu dengan skeptis. "Terus, dia bilang apa?"
Sora pura-pura menatap ayam itu dalam-dalam, mengangguk beberapa kali, lalu berbalik dengan ekspresi serius.
"Dia bilang… ‘Aku sangat tampan’."
Emi langsung menepuk dahinya. "Ayam tidak bisa bicara soal ketampanan!"
Sora mengangkat bahu. "Tentu saja bisa! Kau meremehkan kecerdasan ayam, Emi!"
Ia lalu menatap ayam itu lagi. "Baiklah, teman, kau mau bilang apa lagi?"
Ia berpura-pura mendengar sesuatu, lalu menoleh dengan ekspresi kaget. "Hah?! Kau bilang Emi terlihat galak tapi sebenarnya manis?! WAH, aku juga berpikir begitu!"
Emi langsung memerah. "SORA!!!"
Sora tertawa keras, berlari sebelum Emi bisa menangkapnya.
"AKU AKAN MEMBUNUHMU!" teriak Emi sambil mengejarnya.
"KYAAA! Ayam, tolong aku!" Sora tertawa sambil lari berputar-putar di jalanan desa.
Para warga yang melihat hanya bisa tersenyum geli, sementara Emi mengejar Sora dengan tangan terkepal.
"BERHENTI KAU, HARIMAU BAYANGAN PALSU!"
"JANGAN MEMUKUL SEORANG PAHLAWAN!"
Suasana yang awalnya sedikit canggung kini berubah menjadi penuh tawa.
Dan untuk Sora, ini lebih dari cukup. Ia hanya ingin Emi kembali ceria.
Meski… harus mengambil risiko dipukul kepalanya nanti.
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?
Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/