"Dasar brengsek! Kadal burik! Seumur hidup aku gak mau ketemu kamu lagi. Bahkan meskipun kamu mati, aku doain kamu susah menjemput ajal."
"Siapa yang sekarat?" Kanya terhenyak dan menemukan seorang pria di belakangnya. Sebelah tangannya memegang kantung kresek, sebelah lagi memasukan gorengan ke dalam mulutnya.
"Kadal burik," jawab Kanya asal.
"Kadal pake segala di sumpahin, ati- ati nanti kena tulah sumpah sendiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelesaian
Alan baru saja memasuki rumah saat melihat kedua orang tuanya di ruang tamu rumahnya. Yang membuat Alan berdecak kesal adalah kehadiran satu orang lagi di antara mereka, Rio.
"Anak kesayangan udah pulang," ejeknya.
Rio menatapnya dengan tajam, namun Alan bergeming dan mendudukan dirinya di sofa.
"Lo berani banget ya, Lan. Jual bengkel Mama, Papa. Mereka sekarang luntang lantung gak jelas, gak punya penghasilan." Rio berdiri dari duduknya dan menunjuk wajah Alan.
"Gue udah kenyang, ngurusin mereka, Bang. Sekarang giliran lo dong. Jangan maunya makan dari duit gue. Dan bengkel itu gue yang beli, tiap bulan gaji karyawan gue yang bayar. Masa itu jadi milik Mama Papa, sih?" Lagi pula jika dia tidak mengambil semua itu Rio belum tentu pulang. Pria itu jelas pulang sebab tak memiliki uang lagi.
"Dan lo jangan ngomong doang, bang. Buktiin dong kalau lo juga anak mereka. Bukannya lari terus dari tanggung jawab."
"Sialan lo, Lan." Rio menyadari dia salah, hanya saja dia yang selalu di manjakan membuatnya tinggi hati.
Alan mencondongkan tubuhnya ke arah Rio. "Gue bisa balikin lagi, bengkel dan rumah. Gue juga bakalan kasih itu semua atas nama Mama dan Papa. Asalkan lo nikah sama Sonya."
"Mama gak setuju!" Adisti berseru.
Alan menghela nafasnya lelah. "Terserah. Lagian tujuan kalian ini apa sih? Meminta yang bukan milik kalian?"
"Alan, Mama yang melahirkan kamu! Berani banget kamu!" Adisti berucap dengan nada semakin geram.
"Durhaka lo!" timpal Rio.
"Setelah apa yang gue lakuin, lo bilang gue durhaka? Terus lo yang lempar kotoran ke muka Mama dan Papa berbakti gitu? Lo bahkan numbalin gue atas kesalahan yang lo lakuin."
"Gak ada penawaran. Nikah sama Sonya, tanggung jawab sama kesalahan lo. Dan jangan ganggu gue lagi. Sebagai gantinya gue kasih rumah dan bengkel itu ke Mama dan Papa."
Rio terdiam. "Buktiin kalau lo bisa berbakti sama mereka, jangan cuma berani bilang gue anak durhaka."
"Alan, Sonya istri kamu," ucap Adisti.
"Loh, perjanjiannya kan gak begitu. Begitu Bang Rio keluar dari penjara aku cerai sama Sonya dan mereka menikah. Lagian kenapa sih, Mama gak mau dia nikah sama Bang Rio, jangan lupa Sonya udah ngelahirin cucu Mama, anaknya Rio."
"Sonya itu bukan wanita baik."
Alan terkekeh. "Oh, jadi Bang Rio gak boleh nikah sama wanita gak baik. Tapi aku kalian nikahkan sama wanita gak baik itu. Aku sampai mikir, apa aku ini anak kalian?"
Adisti terdiam.
Alan menghela nafasnya. "Gimana mau, gak?" tanya Alan pada Rio. "Gue gak rugi kok, kalau lo gak mau. Lagian proses perceraian udah berjalan. Kurang dari sebulan gue bakalan cerai. Tapi lo? Kalau gak punya apa-apa, bahkan rumah, lo mau hidup di mana?"
"Alan kamu menindas kami!" Aditya tak kalah nampak geram, meski sejak tadi dia hanya diam. Mungkin karena dia menyadari tak memiliki kuasa apapun.
Rio nampak berpikir keras. Alan benar, dia selama ini mengandalkan uang orang tuanya yang di berikan Alan. Dia bisa hidup senang tanpa bekerja dengan uang Alan. Tapi sekarang dia bahkan tak punya apapun sebab Alan menghentikan uang bulanan orang tua mereka, bahkan mengambil kembali bengkel cuci mobil yang Alan berikan untuk usaha Aditya.
"Oke."
Alan mendengus mendengar keputusan Rio. Jika tidak ada iming-iming rumah dan bengkel itu, Alan yakin Rio tetap tidak akan mau bertanggung jawab.
"Besok gue tunggu lo untuk nikahin Sonya, jangan sampai kabur lagi!"
Keesokan harinya Rio benar-benar datang beserta orang tuanya. Di sana Sonya juga sudah hadir dengan wajah muramnya di temani Raka.
Melihat sekumpulan orang-orang jahat itu Alan hanya mampu mendengus kesal. Bagaimana pun dia sudah kehilangan kehidupannya karena keegoisan orang-orang itu.
"Jadi, sudah selesai kan, ya?" Alan meletakan surat kepemilikan rumah orang tuanya. "Sisanya aku kasih kalau kalian sudah mengesahkan pernikahan kalian secara Negara" Karena proses itu hanya bisa terjadi saat surat perceraiannya dan Sonya keluar dari pengadilan kurang dari satu bulan kemudian.
....
Satu Bulan Kemudian.
Kanya membuka pagar sebelum memasukkan motornya ke dalam pelataran rumahnya.
Sebelum benar-benar masuk Kanya melihat ke rumah sebelah dimana rumah itu kosong selama satu bulan lebih dia kembali ke Bali.
Kanya menghela nafasnya saat mengingat rumah itu milik Alan. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk tak mengganggunya lagi setelah pertunangannya dan Joe berlangsung. Alan bahkan tak datang ke Bali meski dari yang dia tahu pria itu memiliki rumah, bahkan restoran yang tempo hari mengajukan pinjaman di bank tempatnya bekerja.
Kanya memasuki rumah dan memutuskan untuk membersihkan diri sebelum memasak untuk makan malam. Saat baru saja melepas pakaiannya Kanya mendengar ponselnya berdering. Namun saat melihat nomer tak di kenal, Kanya tak bisa tak mengeryit.
Menunggu hingga layar ponselnya mati, panggilan itu kembali datang untuk kedua kalinya.
"Hallo?" Kanya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Namun beberapa saat menunggu tak ada jawaban di balik ponselnya.
"Hallo? Siapa ya?" tanyanya saat tak juga mendengar jawaban, namun ponselnya masih dalam mode panggilan.
"Aneh deh." Akhirnya Kanya memutuskan mematikan panggilan tersebut.
Baru meletakan ponselnya di meja rias, ponselnya kembali berdering.
Melihat nama Joe, Kanya segera menerima panggilan tersebut.
"Hai, Joe?" tanya Kanya saat menerima panggilan tersebut
"Hai, Kan. Apa kabar?"
"Baik, kamu sendiri, gimana?" tanya Kanya kembali.
"Baik. Oh, ya aku mau bilang kalau aku sudah pesan tiket untuk kesana."
"Kamu mau kesini?" Kanya jelas terkejut.
"Hm, Mama bilang aku harus mengunjungi tunanganku." Kanya terkekeh. "Aku rasa sebentar lagi mereka akan mendesak kita untuk menikah."
"Oh, ya?" Dan sekarang hati Kanya menjadi gundah. Bagaimana jika dia dan Joe di desak segera menikah.
"Ya, jadi gimana kamu udah punya pria yang kamu suka?"
Kanya mencebik. "Lebih baik kamu cari wanita yang kamu suka."
"Kamu tahu aku gak bisa."
"Mau aku carikan teman wanitaku? Gadis disini cantik- cantik, kamu tahu?"
Joe mendengus kesal. "Tidak mau," tolaknya.
"Jangan menolak sebelum melihat."
"Pokoknya aku hanya datang untuk mengunjungi tunanganku."
Kanya tertawa. "Oke, kalau gitu."
"Nanti bantu aku cari hotel dekat rumah kamu, ya."
Kanya mengangguk. "Jangan kan hotel, gadis pun akan aku carikan."
Joe kembali mendengus kesal. "Baiklah tunggu aku besok, ya!"
"Ya, aku tunggu." Kanya mematikan teleponnya. Satu bulan ini menjadi tunangan Joe, mereka memang jarang bertelepon. Hanya saja terkadang mereka berkirim pesan meski tak setiap hari. Kegiatan yang jarang itu pastinya tak menumbuhkan sesuatu hal yang di sebut perasaan. Hingga Kanya merasa tak ada kemajuan dalam hubungan mereka kecuali pertemanan.
Lagi pula mereka memang tak bisa bersama pada akhirnya, bukan?
Kanya melanjutkan niatnya untuk segera mandi. Lagi pula dia juga sudah merasa lapar.
Setelah menyelesaikan mandinya, Kanya pergi ke dapur untuk memasak makan malam, namun baru saja tiba disana Kanya mendengar pintu rumahnya di ketuk dari luar.
Kanya mengeryit lalu membalik langkahnya untuk kembali ke depan dan melihat siapa yang datang.
Saat pintu terbuka tekukkan di dahinya semakin dalam sebab tak menemukan siapapun disana, namun Kanya justru melihat sebuah kotak di atas meja.
Kanya membuka kotak tersebut yang ternyata berisi makanan. Kanya bahkan melihat nama restoran ternama diatas kotak tersebut.
Tak melihat nama pengirimnya Kanya mengedarkan pandangannya, namun tak menemukan tanda- tanda orang disana.
Kanya mengedikkan bahunya acuh lalu membawa makanan itu masuk. Mungkin ini dari tetangganya. Baguslah dia jadi tak perlu repot masak. Jadilah Kanya memakan makanan tersebut tanpa mekikirkan siapa pengirimnya.