Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Agnes tidak benar-benar pergi. Sebaliknya, dia justru melangkah mendekati meja kerja Axeline yang tengah sibuk menatap layar komputer. Tanpa basa-basi, Agnes berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya di lipat di depan dada.
"Hei, kau!" suaranya terdengar tajam.
Merasa ada yang menghampiri, Axeline mendongak. Pandangannya bertemu dengan tatapan menusuk Agnes. Sesaat, ia menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang dipanggil, sebelum akhirnya menatap Agnes dengan alis mengernyit.
"Kau berbicara denganku?" tanyanya, menunjuk dirinya sendiri.
"Tentu saja. Kau pikir siapa lagi yang cukup berani menggoda tunanganku jika bukan kau?"
Axeline semakin mengerutkan kening. Kata-kata Agnes jelas bernada tuduhan. Ia memperhatikan wanita itu yang kini bergerak mendekat, berdiri tepat di sampingnya. Dengan tubuh sedikit membungkuk, Agnes mendekat dan berbisik penuh peringatan.
"Keynan itu calon suamiku. Jadi, jangan pernah sekali pun mencoba menggodanya, atau aku akan membuatmu menyesal."
Axeline tetap diam. Dia bisa merasakan tatapan rekan-rekannya yang mulai memperhatikan interaksi mereka. Entah, apakah mereka mendengar ucapan Agnes atau tidak, tapi perhatian yang tertuju padanya mulai membuatnya risih.
"Aku harap kau paham maksudku," lanjut Agnes, suaranya lebih pelan namun tetap mengancam.
Alih-alih gentar, Axeline malah tersenyum sinis. Dengan gerakan tiba-tiba, dia berdiri, membuat Agnes terkejut. Kini, posisi mereka sejajar, dan Axeline menatapnya tanpa rasa takut sedikit pun. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, membalas menatap Agnes dengan tatapan penuh tantangan.
"Kau memberiku peringatan? Apa kau takut Kak Keynan akan berpaling darimu, hm?" tanyanya dengan nada sinis.
Wajah Agnes menegang. Bibirnya sedikit terbuka, seolah hendak membalas, tetapi terhenti saat melihat seringai tajam di wajah Axeline.
Axeline mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Agnes, lalu berbisik dengan suara yang begitu tenang, namun mengandung ancaman yang tersirat.
"Percaya atau tidak, hanya dengan satu kalimat dariku, seluruh keluarga Dirgantara tidak akan pernah menyetujui pertunangan kalian. Dan ... mungkin saja, keluargamu akan hancur." Senyuman tipis Axeline tetap terpatri, sementara wajah Agnes mulai memucat.
Mata Agnes membelalak mendengar bisikan Axeline. Napasnya tercekat, tetapi ia cepat-cepat menenangkan diri dan memasang ekspresi angkuh.
"Omong kosong! Kau pikir siapa dirimu berani mengancamku seperti itu?" suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha tetap terlihat percaya diri.
Axeline hanya tersenyum miring, ekspresinya penuh arti. Ia menatap Agnes dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendekat sedikit lagi, membuat Agnes secara refleks mundur setengah langkah.
"Jika aku hanya omong kosong, kenapa kau terlihat begitu panik?" suara Axeline terdengar lembut, tetapi setiap kata mengandung ancaman yang terselubung.
Agnes mengepalkan tangannya erat. Ia tidak bisa membiarkan Axeline mengendalikan situasi. "Dengar, kau cuma magang di sini. Jangan bermimpi bisa merebut Keynan dariku!"
Axeline terkekeh pelan. "Siapa bilang aku mau merebutnya? Dan lagi ..." ia mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Agnes dengan tatapan tajam. "Kau tidak lupa siapa aku, bukan? Seharusnya kau tidak perlu datang padaku dengan wajah putus asa seperti ini."
Agnes terdiam, dadanya naik-turun menahan emosi. Ia ingin membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk menyangkal kebenaran di balik ucapan Axeline.
Sementara itu, rekan-rekan kerja Axeline yang sedari tadi mengamati, mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu, bahkan ada yang tampak menahan tawa melihat ekspresi Agnes yang mulai kehilangan kendali.
Mengetahui dirinya berada di posisi lemah, Agnes mengertak kan giginya. "Kau akan menyesal!" desisnya sebelum berbalik pergi dengan langkah cepat.
Dia bisa saja mengancam Axeline dengan ancaman yang sama, yang ia lakukan pada Keynan. Tapi, tidak sekarang. Saat ini, mengancam Keynan, sudah cukup membuatnya mendapatkan keuntungan besar.
Sementara itu, Axeline hanya tersenyum tipis, lalu duduk kembali di kursinya. Ia mengambil berkas di mejanya dan mulai membaca, seolah tidak ada yang terjadi. Namun dalam hati, ia dia berusaha sekuat tenaga menahan sesak di dadanya.
"Tenang, Axeline. Yang kau lakukan itu, sudah benar. Jangan biarkan siapapun menindasmu," batin Axeline.
Sementara itu, Keynan duduk di kursinya, matanya tidak lepas dari layar laptop yang menampilkan rekaman CCTV. Ia melihat dengan jelas bagaimana Agnes mendekati Axeline, melontarkan kata-kata tajam yang penuh ancaman. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah Agnes, melainkan ekspresi Axeline yang terlihat begitu tenang, seakan percakapan itu tidak berarti apa-apa baginya.
Tangannya mengepal erat di atas meja. Rahangnya mengatup kuat. Ia menekan tombol interkom dengan gerakan kasar.
"Ke ruanganku sekarang!" suaranya terdengar dingin dan penuh ketegasan.
Matanya masih terpaku pada layar, memperhatikan setiap perubahan ekspresi Axeline. Namun, tidak ada sedikit pun emosi yang bisa ia baca dari wajah wanita itu.
"Apa kau benar-benar tidak mencintaiku lagi, Axeline?" gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri.
Hingga suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia berdehem pelan, berusaha menenangkan diri sebelum kembali dengan ekspresi dinginnya yang biasa.
"Masuk!"
Pintu terbuka, Andrian melangkah masuk dengan sikap hormat, sedikit membungkuk sebelum berbicara.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Keynan menutup laptopnya perlahan, kemudian menatap Andrian dengan sorot mata tajam.
"Aku ingin kau mengirim orang-orang ke rumah Tuan Reno untuk mendekorasi setiap ruangan yang akan digunakan untuk acara pertunangan."
Andrian mengangguk, mencatat instruksi itu dalam pikirannya. Namun, sebelum ia sempat merespons, Keynan melanjutkan.
"Dan ..." suara Keynan lebih rendah dan dalam dengan tatapan yang semakin tajam, seolah menyembunyikan rencana terselubung. "Aku ingin mereka melakukan sesuatu untukku."
Andrian menegakkan tubuhnya, menunggu perintah selanjutnya. Namun, dalam hati, ia tahu, apa pun yang akan diperintahkan Keynan kali ini, pasti tidak sekedar mendekorasi ruangan semata.
jadi penasaran
thor jgn lama2 up nya