"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 16
George menjabat tangan Abraham Adiguna, Direktur galeri seni terbesar di Ibukota, setelah mereka melakukan diskusi panjang terkait pameran seni yang akan dilakukan.
“Senang bisa bekerja sama denganmu, George,” ucap Abraham ramah tersenyum lembut.
“Justru saya yang merasa terhormat karya saya bisa di pamerkan di galeri Anda,” puji George merendah.
Abraham terkekeh renyah. “Kamu sangat rendah hati, pameran seni kali ini pasti mendapat banyak keuntungan dengan kehadiran kamu.”
“Saya pun berharap begitu, Pak Adiguna.”
Setelah berbincang-bincang ringan dengan Abraham, George pamit undur diri. Pria muda itu memijit pelipisnya yang berdenyut tak nyaman sejak bertemu dengan Gladys di depan minimarket.
“Ssssstt, aku butuh hiburan,” gumam George melajukan mobilnya ke night club langganannya.
Untuk apa lagi jika bukan minuman dan wanita, sebagai pria dewasa dan lama tinggal di luar negeri s** bebas tidak lagi tabu baginya.
Belakangan ini George tidak pernah menyentuh wanita manapun lagi sejak bertemu dengan Gladys. Perempuan muda itu berhasil mengacaukan pikirannya setiap malam.
Membayangkan bagaimana kulitnya yang halus kemerahan, senyumnya yang menawan, bibir mungilnya yang berwarna pink cerah juga lekuk dadanya yang membuat George menelan ludah.
“Danm! I really want to kiss her right now!” teriak George memukul setir frustrasi.
“Gladys, Gladys, Gladys, aku harus dapatkan kamu apapun caranya,” gumam George tersenyum miring.
George memarkir mobilnya di lahan khusus belakang club, ia keluarkan kartu Member VVIP untuk masuk ke sana.
“Selamat datang, Mr. George Dawson,” sambut manager klub setelah George menempelkan kartu keanggotaannya pada mesin Scan.
“Give me a glass of tequila and two ladies,” pinta George melonggarkan dasinya.
“Of course, Sir.”
George menuju ruangan privat miliknya, kamar luas dengan meja bundar dan sofa panjang untuk bersenang-senang, juga ada meja billiard di tengah-tengah.
George menjatuhkan badan besarnya ke sofa, tak lama berselang, dua orang wanita cantik dengan pakaian super minim masuk membawa segelas tequila pesanannya.
Mereka dapati George yang bersandar dengan kaki terbuka, dasinya sudah kusut dan dua kancing teratas kemeja terlepas, menampilkan dada kecokelatannya yang keras berurat juga sabuk celana yang longgar. Panas dan seksi.
“Bule?” bisik wanita yang membawa nampan tequila.
Wanita satunya balas berbisik. “Dia pasti kuat.” Keduanya tertawa cekikikan.
“Ini minuman pesanan Anda, Tuan,” ucap wanita berbaju hitam meletakan tequila di atas meja.
George yang sudah tidak tertarik pada minuman itu menggesernya ke samping dan menarik si wanita ke atas meja.
“Kau terlihat lebih enak dari minuman yang kau bawa,” bisik George menggoda.
Wanita itu tertawa nakal, meraba-raba dada George berani. “Kalau begitu, I will be your tequila, Sir.”
Detik itu juga George mencium bibirnya brutal yang dibalas dengan lihai juga oleh si wanita penghibur.
Si wanita satunya duduk di samping George, memegang bahunya dengan gerakan sensual dan berbisik dengan nada pura-pura merajuk.
“What about me, Sir.”
George melepaskan ciuman dari wanita pertama, ia tarik wanita kedua lebih dekat dengan kasar.
“Kemarilah, Sayang. Akan ku eksekusi kalian satu-satu hingga terkapar!” tukar George menggigit bibirnya.
***
Acara bersenang-senang George tidak berhenti di dalam klub saja, belum puas di situ ia membawa salah satu wanita penghibur tadi ke apartemen mewahnya.
Lanjut bersenang-senang di sana semalaman hingga pagi. Si wanita penghibur yang bernama Stella itu terbangun saat hari sudah siang.
Ia cepat-cepat memungut dan memakai bajunya kembali karena sore ini ada janji dengan klien lain.
“Gawat, aku hampir saja terlambat,” gumam wanita itu. Ia dengan buru-buru keluar kamar tapi segera berhenti dan berteriak begitu melihat tampilan wajahnya di cermin.
“Wajah macam apa ini berantakan sekali astaga!” dengusnya.
Stella masuk ke kamar mandi George untuk membasuh wajahnya dengan sabun hingga terlihat lebih fresh.
Ketika ia hendak mengambil sikat untuk menggosok giginya Stella hampir berteriak, ia melotot melihat sebuah jari tangan dengan cat kuku warna merah berada di mangkuk sikat gigi George.
“Ja—jari manusia,” gumam Stella syok.
Wanita penghibur itu menelan ludah kasar. Ia menengok ke belakang memastikan George tidak ada.
“Aku—aku harus cepat keluar dari sini,” monolog Stella pelan.
Seluruh badannya sudah lemas ketakutan, Stella kerahkan tenaga nya untuk keluar dari sana, berjalan pelan keluar dari kamar mandi dengan cara mengendap.
“Ada apa?” Jantung Stella hampir copot mendengar teguran George.
Stella berbalik, menemukan wajah George yang bermata sayu dan suara serak khas bangun tidur.
“Wajahmu pucat sekali,” ujar George, Stella menelan ludah gugup.
“Ak—aku hanya kelelahan, benar! Aku kelelahan karena semalam,” jawabnya terbata-bata.
George menaikkan alis kurang percaya, ia mendekat pada Stella dengan wajah bantal mata sayu yang lama-lama menajam.
“Kau melihat sesuatu di kamar mandi ya?” Jantung Stella berdebar kencang, kakinya melemas seperti Jelly.
Gawat! Dia tidak mau mati di sini! Apes sekali dapat klien psikopat berwajah malaikat.
“Tidak, aku tidak lihat apapun!” Stella menggoyangkan kedua telapak tangannya yang bergetar sambil menggeleng.
George diam menatapnya tajam membuat Stella makin ketakutan hingga rasanya mau mati saja!
“Hahahaha!” George tertawa terbahak-bahak melihat wajah ketakutan wanita itu.
Stella yang tadinya cemas ketakutan setengah mampus mengernyit kebingungan, kenapa si gila ini malah tertawa?
“Kamu pasti melihat jari di tempat sikat gigi bukan?” tanya George mengusap sudut matanya setelah melerai tawa.
Stella mengangguk dengan kaku, masih ketakutan, ayolah siapa yang tidak ketakutan melihat bagian tubuh manusia terpotong begitu?
“Itu bukan jari asli, itu salah satu bagian replika dari patung yang saya buat,” jelas George mengurai ketakutan Stella.
“Oh, jadi begitu,” ucap Stella, ia baru ingat jika semalam George mengatakan jika ia adalah seniman pembuat lukisan dan patung.
Stella menghembuskan napas lega, wajahnya berangsur-angsur normal apalagi setelah George menertawai wajah bodohnya yang ketakutan tadi.
“Ihhh! Kamu membuat aku takut, Tuan!” protes Stella memukul dada telanjang George kesal.
“Maaf-maaf, Sayang. Seharusnya aku memberitahumu lebih dulu,” ujar George memegang tangan Stella yang terus memukul dadanya.
Pria itu cium kedua tangannya bergantian. “Mau main se ronde lagi? Untuk mengobati keteganganmu tadi,” tawar George.
Stella menarik kedua tangannya. “Maaf tidak bisa, Tuan Bule. Aku ada janji dengan klien lain siang ini.”
George menggendikkan bahu kecewa. “Ya sudah, tunggu sebentar,” ucapnya mencari-cari keberadaan dompetnya.
Pria itu keluarkan semua uang pecahan seratus ribu dari dalam dompet menyerahkannya pada Stella.
“Bonus untukmu.”
“Wah, banyak sekali, terima kasih, Tuan,” ucap Stella menerima uang itu dengan senang hati.
Ia masukan uang itu ke dalam tasnya dan pamit pulang, George mempersilahkan wanita itu pergi, ia sendiri masuk ke kamar mandi.
“Gak sia-sia goyang sampai sakit pinggang,” kekeh Stella memijit pinggangnya pelan.
Wanita penghibur itu mengernyit bingung saat menekan knop pintu. “Loh? Terkunci?”
Stella tekan berkali-kali hingga ia coba gedor-gedor dengan tangan tapi tidak berhasil. Entah bagaimana hawa di sekitarnya tiba-tiba pengap dan terasa tidak nyaman.
Stella teringat dengan jari tangan di kamar mandi, barulah ia tersadar mengingat detail kulit dan sobekan pada jari itu persis kulit manusia. Ia menelan ludah kering.
“Kok gak bisa?” paniknya.
“Tolong!” Stella gedor pintu kencang.
“Siapa pun di luar tolongin aku!” teriak wanita itu, sayang sekali dia tidak tahu jika apartemen George kedap suara.
“Tolong!”
Derap langkah pelan dari belakang semakin menubuatnya tambah panik dan ketakutan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” jerit Stella sekuat mungkin.
“Tolong siapa pun tolong aku!”
“Tempat ini kedap suara.”
Deg! Stella membatu. Habis, habislah sudah riwayatnya di sini. Ia rasakan embusan napas panas mendekat ke arah telinganya dari arah belakang.
“Sudah melihat berarti di larang kabur,” bisik George lembut, bukan lembut ramah melainkan lembut dalam yang mengancam.
Stella melemas, badannya sudah mengigil dari ujung kaki hingga kepala, menelan ludah, Stella berusaha mengumpulkan keberanian untuk melawan, ia mau menendang kemaluan George tapi belum sempat berbalik Stella sudah berteriak duluan karena George menusuk perutnya hingga tembus ke dada.
“Aaarghhh!”
Wanita itu ambruk ke lantai, menggelepar seperti ikan selama beberapa detik lalu terdiam kaku dengan mata melotot dan mulut menganga.
George mengusap wajahnya yang terkenal cipratan darah, “Ah, sial! Harus mandi lagi.”