"Ah...ini di kantor! Bagaimana jika ada yang tau! Kalau istrimu---" Suara laknat seorang karyawati bernama Soraya.
"Stt! Tidak akan ada yang tau. Istriku cuma sampah yang bahkan tidak perlu diingat." Bisik Heru yang telah tidak berpakaian.
Binara Mahendra, atau biasa dipanggil Bima, melihat segalanya. Mengintip dari celah pintu. Jemari tangannya mengepal.
Namun perlahan wajahnya tersenyum. Mengetahui perselingkuhan dari suami mantan kekasihnya.
"Sampah mu, adalah harta bagiku..." Gumam Bima menyeringai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peduli
Berusaha tersenyum, benar-benar berusaha. Tapi lebih baik begini, Dira menganggap dirinya impoten. Menghela napas berusaha bersabar, ingat! Ini istri orang. Jika saja bukan istri orang, tidak akan ada ampun untuknya.
"Yah .... akhirnya kamu tau satu-satunya kelemahanku. Tapi itu lebih baik daripada menjadi orang miskin yang memakai kain lap pel sebagai baju." Hinaan yang telak, pada awalnya Dira ingin marah. Tapi pada akhirnya menyadari sesuatu.
"Kamu benar-benar impoten!?" Dira menutup mulutnya sendiri.
"Yap..." Dusta Bima.
"Tidak malu?" Tanya wanita itu penasaran.
"Apa yang memalukan dari impoten. Hal yang memalukan adalah menebar benih dimana-mana." Bima menghela napas kasar.
Dira menunduk jemari tangannya mengepal, bagaikan mengingat kecurigaannya tentang Heru. Sudah setahun ini mereka tidak berhubungan layaknya suami istri. Hubungan yang mendingin bagaikan satu atap tapi saling tidak mengenal. Tetap saja, ada Pino diantara mereka. Selama Heru masih mempertahankan pernikahan, maka dirinya akan bertahan."Kamu benar! Menebar benih dimana-mana itu menjijikkan."
"Aku salah bicara." Gumam Bima dengan suara kecil. Tapi, bagaimana caranya membuat Dira kembali tersenyum?
Pada akhirnya kata ini diucapkan olehnya."Walaupun impoten, tapi aku ini playboy. Bau bawang sepertimu, bukan levelku."
"Ya...ya...ya! Orang paling sempurna. Tapi ini benar-benar bukan penipuan?" Tanya Dira menelan ludah. Jujur saja dirinya semakin pusing dengan harga kebutuhan pokok yang naik.
Uang lauk yang dijatah nya 35 ribu sehari, lebih sering tidak cukup. Hingga pada akhirnya uang jajan Pino terpakai. Hampir setiap hari bekerja lembur, menambal kekurangan. Namun, tabungan sedikit pun tidak ada.
"Bukan! Keuntungan kita bagi dua. Aku selaku pemilik dan kamu selaku pengelola." Jelas Bima.
"Aku tidak terikat kontrak dengan tempat konveksi. Jadi mulai kapan aku dapat bekerja. Mumpung ini awal bulan?" Tanya Dira.
"Tiga hari lagi...ya...tiga hari lagi." Jawaban dari seorang pemuda yang masih menunggu mesin jahit pesanannya datang. Menghela napas, mungkin dirinya dapat sedikit serius tentang ini."Rekrut beberapa tukang jahit juga."
"Terimakasih Bima! Aku doakan impotenmu cepat sembuh. Dan kamu dapat berdiri tegak menantang!" Dira memberi semangat pada manatan pacarnya.
"Bau bawang!" Bima berusaha tersenyum.
"Eh! Terasi! Jangan menghina bawang!" Dira berdecak, masih membaca kontrak berkali-kali. Rasa senang menderu dirinya. Berbagai fikiran positif tentang segalanya.
"Tapi ini konveksi pakaian berkelas. Karena itu, tidak boleh bekerja sembarangan. Harus rapi." Tegas Bima.
"Apa...akan masuk ke mall, atau butik?" Dira menelan ludahnya.
"Rencananya begitu, satu lagi. Jangan sampai ada bau bawang yang menempel."
"Siap!" Dira memberi hormat.
***
Pulang mengendarai motor seorang diri. Tidak henti-hentinya bernyanyi dalam perjalanan. Meskipun belum pasti akan pendapatannya. Tapi sudah dipastikan, akan lebih besar dibandingkan dengan bekerja di konveksi.
Wanita yang turun dari motornya. Seseorang yang pertama kali dipanggilnya adalah putranya. Sembari mencoba membuka pintu depan rumah.
"Pino!" Teriaknya dengan nada bahagia. Namun, isakan tangis terdengar.
"Ibu!" Teriak putranya dari dalam sana.
Dira mencoba membuka pintu. Tapi sialnya pintunya terkunci."Ibu mertua!" Teriaknya murka.
Tapi tidak ada jawaban dari dalam sana. Hanya suara tangisan putranya yang semakin nyaring terdengar."Ibu! Buka pintunya! Pino sendirian di rumah."
Wanita itu membulatkan matanya, ini terjadi lagi. Putranya tercinta, yang paling ganteng dan manis ditinggalkan di rumah seorang diri.
"Pino tunggu ibu ya? Ibu cari jalan membuka pintu." Ucap Dira dalam kepanikan.
"Ibu... sakit." Teriak Pino, entah apa yang terjadi pada putranya di dalam sana.
Dengan kecepatan tinggi bak Superman, wanita itu lari ke pintu belakang. Air matanya mengalir, walaupun sedikit bukankah dirinya sudah meninggalkan uang untuk menjaga Pino, khusus untuk ibu mertuanya? Tapi kenapa Pino ditinggalkan di rumah sendirian?
Namun, nihil pintu belakang terkunci. Mencoba mendobrak pun percuma. Dirinya tidak sekuat wonder woman.
"Ibu!" Tangisan semakin kencang dari putranya.
Tidak ada pilihan lain, dengan cepat Dira mengambil linggis. Membuka jendela samping dengan paksa. Barulah segalanya terlihat.
Pino menangis terisak, telapak tangannya berdarah. Darah yang mengalir cukup banyak.
"Ibu!" Teriak Pino dengan wajah pucat pasi.
Tidak memikirkan apa penyebab segalanya. Tangan Dira gemetar, menatap ke arah darah di lantai.
Mengangkat tubuh putranya, mencuci tangan Pino di wastafel.
Tapi.
"Ueek..." Pada akhirnya putranya muntah. Putranya takut pada darah, walaupun itu darahnya sendiri.
"Pino yang sabar ya?" Pinta Dira, mengambil kotak P3K. Memberikan pertolongan pertama dengan cepat.
Menghentikan pendarahan, hanya itu tujuannya. Pada akhirnya darah memang berhenti, namun. Wajah Pino masih pucat pasi.
"Ki...kita ke Bu bidan. Tidak! Rumah sakit saja..." Mendekap erat tubuh putranya. Tidak tahu harus bagaimana. Tubuh Pino benar-benar mendingin.
***
Anak yang penurut? Itulah Pino kecilnya. Mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Putranya diberikan air gula, meminumnya melalui sedotan. Anak yang minum, masih dibonceng oleh sang ibu, dengan tubuh terikat selendang. Mungkin ketakutan kesadaran sang anak akan hilang.
Tidak mengetahui tentang pertolongan pertama, hanya menolong sebisanya. Yang terpenting sampai di rumah sakit, hanya itulah yang ada di otaknya.
Hingga kala motornya terhenti, Dira segera membawa Pino kecil ke UGD.
Anak yang segera mendapatkan penanganan. Kala itulah dirinya menghela napas lega.
Wanita yang mencoba menghubungi suaminya dan ibu mertuanya. Tapi tidak ada satu orang pun diantara mereka yang mengangkat panggilan.
Apa mungkin Heru sedang lembur? Entahlah... suaminya memang sering pulang terlambat. Bahkan terkadang tidak pulang.
Lalu bagaimana dengan ibu mertuanya?
Air matanya mengalir, menatap ke arah putranya yang harus mendapatkan transfusi darah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perlahan Dira mendekat kala keadaan Pino lebih baik.
"Pino, kamu kenapa?" Tanya sang ibu.
"Maaf...Pino tidak sengaja. Tadi Pino baru bangun, tidak ada orang di rumah. Sudah memanggil nenek, pintu terkunci. Air... dispenser... panas... gelasnya jatuh..." Anak itu menangis terisak, merasa sudah berbuat kesalahan.
"Pino..." Sang ibu menghapus air matanya.
"Sudah Pino berusaha bersihkan...tapi sakit, tangan Pino berdarah..." Penjelasan dari mulut kecil, berwajah pucat.
Dapat cukup dimengerti olehnya. Kala putranya terbangun dari tidur siang, tidak ada satupun orang di rumah. Karena haus, Pino mengambil air dari dispenser. Salah menekan air panas, mungkin menyebabkannya menjatuhkan gelas. Putra kecil yang diajarinya mandiri, hendak membersihkan kekacauan yang dibuatnya. Tidak ingin satupun orang di rumah ini marah padanya.
Tapi... tangannya terluka saat memungut pecahan gelas.
"Ibu! Maaf! Gelasnya pecah! Belum Pino bersihkan." Teriaknya kembali terisak.
"Tidak apa-apa...ini bukan salah Pino. Ini salah ibu..." Ucap Dira pelan."Pino anak pintar..."
***
Sejatinya apa yang terjadi? Heru mungkin tengah menikmati hangatnya ranjang bersama Soraya.
Sedangkan Sutini, menunggui Mela (sepupu) Pino. Yang ditinggalkan kedua orang tuanya, refreshing. Mungkin Sutini menganggap tidak apa meninggalkan Pino seorang diri, seperti biasanya. Cucu laki-lakinya memang biasanya mandiri. Berbeda dengan Mela yang lebih manja dan manis.