Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Dukungan Mertua.
Akhirnya terungkap juga identitasku yang aku sembunyikan selama ini di depan Arbi. Aku tidak bisa menahan ucapan Mitha karyawanku yang menjelaskan siapa aku dihadapan Arbian dan Gladys. Sebab dia keburu emosi atas ulah mereka yang merendahkanku.
Mungkin, Arbi selama ini menganggap aku gadis kampungan yang tidak tau apa-apa atau tidak memiliki apa-apa. Mengira aku mau menikah dengannya karena tahta dan harta. Padahal uang yang dia janjikan selama ini sebagai bayaranku sebagai istri pajangannya saja tidak pernah aku ambil.
Kebutuhan sehari-hariku juga atau uang bulanan selama jadi istrinya tidak pernah aku tuntut. Dikasih aku terima gak dikasih pun tidak pernah aku minta. Wong aku sadar diri kalau pernikahan kami hanya sandiwara seperti yang dia minta.
Aku mengikutinya saja. Sekalipun tidak berniat mempermainkan pernikahan itu sendiri. Aku menerima dirinya apa adanya tapi diriku hanyalah karena ada apanya baginya. Dia menikahiku karena orangtuanya. Namun, cinta dan hatinya tetaplah milik Gladys.
Aku yang terpaksa menerima pernikahan itu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berharap doa dan restu dari kedua orangtuaku serta mertuaku. Akan tetapi semua itu tidak cukup agar pernikahanku bahagia.
Daripada menyia-nyiakan waktu lebih lama dalam permainan ini, mendingan aku bertindak tegas saja. Agar Arbian mau melepasku dengan bercerai. Aku yang harus bergerak karena batas toleransiku atas perlakuan Arbi sudah melewati ambang batas. Menunggu sikap cowok plin plan itu akan menguras banyak waktu dan tenaga.
Lebih baik aku bicarakan hal ini pada Amang dan Inang, agar jelas segala persoalannya dan bisa menemukan solusi sehingga masalah pernikahanku tidak berlarut-larut lagi.
***
Sore itu sepulang kerja aku berencana ke rumah mertua. Selain membicarakan perihal rumah tanggaku, aku juga hendak mengetahui khabar terkini Inang. Karena cuaca mendung aku memesan taxi grab saja. Soalnya aku takut kehujanan di jalan.
Tiba di lokasi rumah Inang, aku harus jalan kaki beberapa meter dari jalan besar. Kulihat ada mobil Arbian di pekarangan. Enggan berpapasan dengannya aku mengambil jalan pintas dari samping rumah langsung menuju dapur.
Baru juga aku jalan beberapa langkah, lamat-lamat terdengar suara Inang dari ruang tamu. Suara khas Inang yang lantang cukup jelas terdengar olehku dari samping ini. Rasa ingin tahuku membuatku menguping percakapan yang sepertinya cukup serius itu.
"Sebenarnya mau apa sih, Arbi. Sudah ceraikan saja Rania. Jangan kau gantung hidup dia. Biar dia bisa menentukan masa depannya." Cetus Inang serius.
Deg!
Ternyata aku yang menjadi topik perbincangan mereka.
"Tapi, Ma, aku tidak ingin menceraikan,Rania." Suara Arbian terdengar keras.
"Kenapa? Bukankah selama ini kalian hanya bersandiwara. Harusnya kamu senang 'kan Mama menyetujui kamu menceraikannya. Biar kamu bisa menikahi Gladys. Apa karena kamu sudah tau siapa sebenarnya, Rania, sehingga kamu berubah pikiran."
"Selama ini aku kira dia hanya menginginkan uangku, Ma."
"Apa? Sepicik itu kamu menilai Rania, Arbi! Tanpa pernah mencoba mengenali dirinya. Hatimu memang telah dibutakan oleh Gladys yang jelas-jelas memoroti uangmu!" Bentak ibu mertua keras. Aku melihat wajah Arbian yang tertunduk lewat celah jendela yang terbuka.
Aku tersentak mendengar ucapan Inang. Apa benar Arbian menilaiku seperti itu selama ini. Astaga, betapa menyakitkan sekali.
"Rania itu perempuan mandiri. Dia punya usaha yang dia rintis sejak masih remaja. Kalau bukan karena bujukan Mama, dia pasti mampu mendapatkan lelaki lebih segalanya dari kamu. Tapi meskipun wanita karir, dia tetap hidup bersahaja. Itu yang membuat Mama salut padanya.Tapi kamu, kamu sungguh tidak punya hati, tega menyia-nyiakan dirinya." Suara Inang tercekat.
"Maafkan saya, Ma. Arbi memang salah. Arbi ingin menebus semua kesalahan itu."
"Trus bagaimana dengan Gladys!"
"Aku akan putus dengannya, Ma." Tiba-tiba ibu mertua tertawa mendengar ucapan Arbi.
"Kalau kamu mau putus dengannya kenapa tidak dari dulu. Kenapa baru sekarang disaat Rania ingin cerai dari kamu. Kamu benar-benar membuat Mama kecewa, Arbi. Mama tidak bisa menolong kamu, semua keputusan ada di tangan Rania. Mama akan mendukung keputusannya."
Aku tertegun beberapa saat mendengar ucapan Inang. Jadi ibu mertuaku setuju jika aku dan Arbi bercerai? Seperti katanya tempo hari itu. Sepertinya ibu mertua berpihak padaku dan mengerti posisiku saat ini. Apakah aku harus bahagia. Atau sebaliknya sedih karena pernikahanku kandas?
Diam-diam aku pergi dari sana. Kuurungkan niatku untuk bertemu Inang, karena ada Arbian disana. Setidaknya aku telah tahu sikap ibu mertua padaku. Itu akan memudahkanku untuk menentukan langkah selanjutnya.
Aduh, sial sekali. Baru beberapa langkah aku hendak pergi, tanpa sengaja aku menyenggol pot bunga ibu mertua. Membuatku jatuh dan pot bunga itu pecah berderai. Aku langsung berlari, sembunyi dibalik rumpun bougenville.
"Suara apa itu?" Ibu mertua berlari ke ruang depan lalu melihat ke teras samping. Disusul langkah Arbi.
"Aduh, pot bunga Mama jatuh." Ibu mertua memungut bunga yang telah terlepas dari pot.
"Mungkin ulah kucing, Ma."
"Ah, kucing siapa? Mama gak ada pelihara kucing. Kucing tetangga juga jarang masuk kemari." Jantungku dag dig dug saat mendengar langkah mertua mendekati tempatku bersembunyi.
"Ngeong." suara kucing tiba-tiba terdengar, seraya berlari dan melompati pagar.
"Tuh 'kan, ulah kucing Ma." Tukas Arbi saat melihat seekor kucing melompati pagar.
"Huh, dasar kucing nakal." Aku menarik napas lega saat melihat Arbi dan Ibu mertua kembali masuk ke dalam rumah. Buru-buru aku pun segera keluar dari tempatku sembunyi. Kuhela napas lega saat aku telah berada di jalan besar. Kuhadang taxi yang kebetulan melintas. Aku kembali pulang ke rumah Bastian saat menjelang malam.
Lampu rumah sudah dinyalakan, tetapi halaman masih gelap gulita. Apakah Bastian sudah pulang dari luar kota. Atau Bibi Sumi sengaja menyalakan lampu sebelum pulang ke rumahnya.
Saat pintu aku buka, kulihat Bastian tengah tertidur di sofa. Wajahnya menyiratkan kelelahan. Aku merasa bersalah karena Bastian terpaksa tidur di sofa. Sementara tubuhnya perlu istirahat.
Aku memang sudah menemukan rumah kostan yang menurutku sangat nyaman dan harganya sesuai. Tapi aku menunggu kepulangan Bastian sebelum aku pindah.
Sekalipun Bastian menahanku agar tetap tinggal, aku merasa tidak etis harus tinggal seatap dengannya. Bagaimana pandangan para tetangganya nanti. Melihatku tinggal bersama Bastian. Pacar bukan, apalagi istri. Aku tidak ingin merusak citra Bastian di komplek ini.
Sudah pulang, Ra?" sapa Bastian tidak seperti biasanya. Kalau selama ini dia menyebutku Mbak tapi kali ini langsung menyebut namaku.
"Eh, i-iya Mas." seruku kaget karena aku kira dia sedang tidur.
"Dari mana?" Bastian duduk dan menatapku dengan mata setengah terbuka.
"Dari rumah teman." sahutku. Seraya duduk juga di sofa.
"Mas, besok aku pindah ya. Aku sudah menemukan rumah kost dan lokasinya dekat dengan tempat kerjaku."
"Kamu mau pindah?"ucapnya dengan wajah kuyu.
"Iya, Mas. Terimakasih telah membantuku selama ini. Kutatap wajah itu. Wajah yang mendadak lesu dan kehilangan semangat. ***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor