Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 KEMBALINYA LUNA.
Satu bulan telah berlalu sejak malam itu di Pantai Tamansari. Hubungan Cintia dan Araf semakin dekat, nyaris seperti pasangan yang telah lama bersama. Araf selalu ada di sisinya, tanpa menuntut lebih, tanpa menghakimi. Dan meskipun Cintia belum bisa sepenuhnya menyerahkan hatinya, ia mulai terbiasa dengan kehadiran Araf—sesuatu yang menakutkan sekaligus menenangkan.
Namun, segalanya berubah ketika Luna kembali.
Hari itu, Cintia sedang duduk di salah satu kafe favoritnya di pusat kota, jari-jarinya sibuk mengaduk es kopi dalam gelas. Araf ada di seberangnya, mengamati wajahnya dengan tatapan lembut.
"Kamu kelihatan gelisah," ujar Araf tiba-tiba.
Cintia tersentak kecil, lalu tersenyum samar. "Nggak. Cuma lagi kepikiran sesuatu aja."
Araf tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu bahwa Cintia memiliki banyak rahasia yang belum siap ia bagi, dan ia memilih untuk menunggu.
Lalu, suara yang sangat familiar menyapa mereka.
"Cintia!"
Cintia menoleh, dan di sanalah Luna berdiri—masih dengan senyuman cerahnya, rambut panjangnya yang sedikit berantakan setelah perjalanan panjang, serta aura kebahagiaan yang begitu kontras dengan kegelapan yang selama ini Cintia simpan dalam dirinya.
"Luna!" Cintia segera berdiri, memasang ekspresi terkejut bercampur senang yang sudah ia latih bertahun-tahun. Ia segera memeluk Luna erat, menyembunyikan senyuman licik di balik pundak sahabat lamanya.
Luna tertawa kecil, membalas pelukan itu. "Aku kangen banget sama kamu!" katanya, melepaskan diri lalu mengamati Cintia dengan mata berbinar. "Kamu baik-baik aja kan selama aku pergi?"
Cintia mengangguk cepat. "Tentu. Tapi aku kangen juga, tahu nggak?"
Luna mengangguk antusias. "Aku mau banyak cerita! Aku harus cerita semuanya ke kamu!"
Araf yang duduk diam sejak tadi akhirnya berdeham pelan. Luna baru menyadari kehadirannya dan langsung tersenyum ramah. "Oh, Araf! Kamu masih sering bareng Cintia ternyata?"
Araf menatap sekilas ke arah Cintia sebelum mengangguk. "Iya. Kita sering ketemu belakangan ini."
Luna tidak curiga. Ia malah terlihat senang. "Baguslah! Aku senang Cintia punya teman yang selalu ada buatnya."
Cintia tersenyum lembut. Dalam hatinya, ia tertawa. Luna benar-benar tidak tahu apa-apa.
Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama di kafe, mengobrol, tertawa, seolah tidak ada kebencian yang mengendap di dada Cintia. Namun, di balik tatapan hangat dan tawa yang ia bagi dengan Luna, pikirannya terus bekerja.
Ia harus melanjutkan rencananya. Dan kehadiran Luna kembali ke kehidupannya hanya berarti satu hal—waktunya semakin dekat.
...----------------...
Cliffhanger: Rahasia di Balik Pintu
Malam itu, setelah pertemuan mereka bertiga, Cintia kembali ke rumah kecilnya yang ada di atas toko. Ia duduk di meja kerja, mengeluarkan catatan kecil yang telah lama ia simpan. Dengan jemarinya yang terlatih, ia membuka halaman terakhir—daftar langkah yang harus ia jalankan.
Luna sudah kembali. Itu berarti Cintia harus melanjutkan ke tahap berikutnya.
Ia menatap ponselnya, lalu mengetik sebuah pesan.
"Rencana kita tetap berjalan. Aku akan pastikan Luna tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku butuh kepastian dari pihakmu. Kita ketemu besok. Jangan terlambat."
Ia menekan 'kirim' lalu meletakkan ponselnya di meja. Sejenak, ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajah yang sama, tetapi dengan senyum yang berbeda.
Namun, tepat saat ia hendak beranjak, ponselnya bergetar. Balasan telah datang.
"Aku juga punya sesuatu buat kamu. Sebuah kebenaran yang mungkin bisa mengubah semuanya. Kita lihat siapa yang lebih siap menghadapi kenyataan."
Cintia mengernyit. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Siapa pun yang ia ajak bekerja sama… mereka menyimpan sesuatu.
Dan itu bisa berarti bencana.
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭