"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POLIGAMI
"Anita itu sama saja menolak poligami." Suara Arman terdengar putus asa. Matanya menerawang, mencari jawaban yang mungkin tidak akan pernah ia temukan. Ia mencintai Anita. Itu tak terbantahkan. Tapi di sisi lain, ia ingin berbakti pada ibunya, yang menginginkan Bianka menjadi bagian dari keluarganya. Jalan tengahnya? Poligami.
Tapi Anita menolak.
Dewi mendecih, sinis. "Arman, apa yang kamu ragukan dari seorang Bianka? Sudah, tinggalkan saja Anita. Untuk apa mempertahankan istri yang hanya bisa menunggu uang suami tanpa mau membantu? Dia bahkan tidak tahu agama. Buat apa kamu bertahan?"
Ada keangkuhan dalam suaranya, seakan ia yang paling memahami agama. Seakan menolak poligami adalah tanda kurangnya iman. Seakan poligami adalah satu-satunya tolok ukur ketakwaan seseorang.
"Benar kata Dewi," Lakmsi menimpali. "Bianka jauh lebih baik dari Anita dalam segala hal. Sudah, ceraikan saja dia. Kamu tidak mau menikahi orang terhormat seperti Bianka?"
Ada nada kemenangan dalam suaranya. Lakmsi tak perlu repot-repot menyingkirkan Anita kalau perempuan itu sendiri yang menolak.
Arman menghela napas panjang. Ia ingin tetap mempertahankan Anita. Ia juga ingin menuruti ibunya. Haruskah Anita mengerti? Haruskah Anita berkorban? "Anita, ini ladang ibadah buat kamu. Kamu bisa berbakti padaku, berbakti pada ibuku. Ayolah, bersikap dewasa. Poligami itu dianjurkan. Bahkan Rasulullah saja berpoligami."
Kata-kata itu keluar dari mulutnya begitu saja, tanpa ia sadari bahwa dirinya sendiri tidak memahami maknanya. Seperti kebanyakan lelaki lain, ia hanya tahu satu hal: Rasulullah berpoligami, maka kami pun bisa.
Anita mendongak. Matanya berkilat. Dingin. Penuh luka.
"Jangan samakan dirimu dengan Rasulullah. Kamu tahu kenapa beliau berpoligami? Kamu tahu tujuannya? Kamu tahu ilmunya? Rasulullah tidak pernah berpoligami untuk menuruti kemauan ibunya. Rasulullah tidak pernah menggunakan dalil agama untuk kepentingan pribadinya."
Arman terdiam. Begitu juga Dewi dan Lakmsi. Tak ada yang menduga Anita akan berbicara seperti ini.
"Kamu tahu apa syarat utama poligami?" Anita bertanya, tatapannya tajam menusuk Arman. "Apa syarat utama poligami itu desakan ibu mertua?"
Sunyi.
Dewi mendengus. "Kamu tahu apa tentang agama, Anita? Sekolah cuma sampai SMP. Ikut pengajian pun jarang. Jangan sok ngajari kami. Malu sendiri nanti."
Anita tersenyum tipis. Tanpa gentar. "Kalau kalian memang pintar agama, jawab pertanyaanku. Tidak sulit, kan?"
Mereka saling pandang. Tidak ada yang menjawab. Karena mereka hanya tahu poligami diperbolehkan. Tapi mereka tidak pernah benar-benar memahami syarat dan tujuannya.
Anita menarik napas dalam. "Baiklah, aku akan menjawabnya. Syarat utama poligami itu adil. Itu disebutkan dalam Al-Qur'an, surat An-Nisa ayat 3. Silakan kalian baca sendiri, kalian kan orang pintar agama."
Tatapannya kembali beralih ke Arman. Kali ini, lebih tajam.
"Sekarang aku tanya, Mas. Apakah kamu sudah berbuat adil padaku?"
Jantung Arman seperti tertimpa batu raksasa. Degupnya melambat. Napasnya tercekat.
"Apakah kamu sudah mensejahterakan aku, seperti dalam surat At-Talaq ayat 7?"
"Apakah kamu tidak pernah membentakku, seperti yang Allah perintahkan dalam surat An-Nisa ayat 19?"
"Apakah kamu sudah memberiku pendidikan agama yang cukup, hingga aku mampu berkata: ‘Demi cintaku pada Tuhanku, silakan kamu poligami’?"
Arman tercekat. Bayangan-bayangan tentang bagaimana ia memperlakukan Anita berkelebat di kepalanya.
"Apakah kamu sudah berlaku adil pada Amira? Kamu tahu pesantren Amira di mana? Kamu tahu berapa biaya pendidikannya? Kamu ingat ulang tahunnya? Kamu bahkan merayakan ulang tahun Salma, tapi lupa ulang tahun Amira, padahal mereka lahir di tanggal yang sama."
Arman menunduk. Lalu Anita menatapnya lebih dalam, menembus kebimbangannya.
"Sekarang kamu meminta aku menerima poligami. Harusnya kamu bertanya pada dirimu sendiri: sudah pantas belum kamu berpoligami?"
Suasana begitu sunyi.
"Ingat, Mas," Anita menghela napas, suaranya pelan, tapi begitu tegas. "Allah paling tidak suka pada hamba-Nya yang berbuat zalim."
Dan di ruangan itu, hanya ada kesunyian yang menggantung di udara. Sunyi yang begitu berat, seakan memenuhi dada Arman dengan ribuan sesak yang tak mampu ia uraikan.
Laksmi tidak bisa membiarkan Arman goyah. Bagi Laksmi, hanya ada dua pilihan: Arman harus menceraikan Anita, atau Anita harus menerima Bianka sebagai madu. Tidak ada opsi lain. Dia tidak akan membiarkan keadaan berbalik menguntungkan Anita.
Laksmi tertawa kecil, sinis. "Hahaha… jadi ini alasan kenapa kamu selalu sibuk dengan ponsel? Rupanya kamu belajar agama dari sana, ya? Pantas saja kamu pintar bicara." Nada bicaranya tajam, menusuk, berusaha mencari celah untuk menjatuhkan Anita.
Dewi langsung menangkap umpan ibunya. Seperti serigala yang mencium darah, dia tak akan melewatkan kesempatan ini. "Oh iya, pantesan dia bisa ngomong panjang lebar. Pasti sudah nyiapin jawaban ini jauh-jauh hari!" katanya, menatap Anita dengan tatapan penuh ejekan.
Bianka hanya diam. Ada sesuatu dalam dirinya yang terusik. Dia tak pernah menyangka, seorang ibu rumah tangga seperti Anita bisa bicara dengan begitu meyakinkan. Ia mulai merasa kecil.
Dewi kembali bersuara, kali ini lebih tajam. "Dalil-dalil yang kamu ucapkan itu nggak berlaku, karena yang ngomong kamu! Kamu pikir siapa kamu? Lulusan SMP, ikut pengajian juga jarang. Ilmu dari HP itu nggak bisa dijadikan rujukan!"
Anita menatap Dewi, tenang. "Terus, siapa yang pantas jadi rujukan?" tanyanya, suaranya datar tapi menusuk.
Dewi menyeringai. "Pak Amil Dasun! Dia punya istri dua. Masa dia nggak ngerti agama? Dia itu amil, loh! Istri pertamanya hidup sederhana, istri keduanya mewah. Jadi, dasar poligami itu ya boleh-boleh aja!"
"Ok lah, kalau itu menurutmu," Anita berkata dengan nada ringan, seolah semua ini hanya percakapan biasa. "Aku hanya bisa mendoakan… semoga Mas Doni juga berpoligami."
Warna wajah Dewi seketika berubah. Merah padam, marah, tersinggung. "Tidak mungkin! Mas Doni tidak mungkin poligami! Dia lelaki setia!" katanya dengan suara bergetar.
Anita menatapnya tajam, bibirnya membentuk senyum samar. "Jadi, menurutmu lelaki yang berpoligami itu tidak setia?"
Deg. Dewi terdiam. Kata-kata itu menamparnya tepat di wajah, membalikkan segala argumen yang sejak tadi ia banggakan.
"Tidak! Anita! Tidak! Mas Doni tidak akan pernah berpoligami!" Kali ini suaranya hampir berteriak, nadanya dramatis seperti adegan dalam film Rhoma Irama.
Anita menghela napas. "Kenapa kamu marah begitu, Dewi? Bukankah dari tadi kamu yang paling keras membela poligami? Kenapa sekarang saat aku bilang Mas Doni berpoligami, kamu malah marah?"
Dewi membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar.
"Sudah cukup! Hentikan ocehanmu, Anita!" suara Laksmi memecah ketegangan. Matanya beralih ke Arman yang masih terdiam, wajahnya penuh kebimbangan. "Arman! Cepat ceraikan istrimu ini!"
Arman menoleh, suaranya nyaris serak. "Alasannya apa, Bu?"
Laksmi mendengus, seolah pertanyaan itu tak perlu dijawab. "Banyak! Dia istri tak berguna. Asal-usulnya nggak jelas. Cuma jadi ibu rumah tangga, beban keluarga! Nggak ngerti agama! Dan yang lebih parah, dia sekarang pandai membantah! Sampai kapanpun, hidupmu tidak akan bahagia bersama Anita, Arman!"
Arman terdiam. Kata-kata ibunya berputar di kepalanya, saling bertabrakan dengan kenangan yang ia miliki bersama Anita. Tidak bahagia? Benarkah selama ini ia tidak bahagia? Atau justru, ia akan kehilangan kebahagiaan jika melepaskan Anita?
Hatinya semakin kacau.