Widuri Azzahra, seorang gadis cantik yang lahir di Cianjur tepatnya di sebuah desa di kabupaten cianjur, namun saat ia sudah berusia 15 tahun Widuri di bawa pindah ke Bandung oleh kedua orang tuanya, Widuri tumbuh menjadi gadis cantik, saat ia menginjak sekolah menengah atas, Widuri bertemu dengan Galuh, selang beberapa bulan mereka berpacaran, namun salah satu pihak merugikan pihak yang lain, ya sayang sekali hubungan mereka harus kandas, karena Galuh yang kurang jujur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Yanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Gangguan yang Kembali
Dia mengambil buku catatan kecil yang biasa dia gunakan untuk menulis dan mulai mencatat pemikirannya:
"Hari ini, aku belajar bahwa tidak semua orang sama seperti Galuh. Ada orang-orang yang benar-benar peduli dan tulus. Dan mungkin, aku harus mulai percaya lagi pada hal-hal baik dalam hidup."
Widuri tersenyum kecil sambil meletakkan pena. Hari ini terasa seperti awal yang baru, dan dia merasa siap untuk melangkah lebih jauh.
---
Hari-hari Widuri berjalan lebih ringan sejak pertemuannya dengan Damar. Dia mulai menikmati kegiatan sekolah, lebih fokus pada pelajaran, dan bahkan mengikuti lomba debat yang akan datang. Namun, seperti kebiasaan hidup, ketenangan tidak pernah berlangsung lama.
Pada suatu pagi, saat Widuri sedang membaca buku di perpustakaan, seseorang mendekatinya.
“Widuri.”
Widuri mendongak. Suara itu langsung dia kenali—Galuh.
“Ada apa lagi, Gal?” tanyanya, tanpa menyembunyikan rasa enggan.
“Aku cuma mau bicara sebentar. Kamu sibuk?”
Widuri menutup bukunya dengan suara pelan. “Cepat saja. Aku nggak punya banyak waktu untuk kamu.”
Galuh menarik kursi di depannya dan duduk. Dia terlihat canggung, tapi matanya memancarkan keseriusan.
“Aku mau minta maaf lagi. Aku tahu permintaan maafku nggak berarti apa-apa buatmu, tapi aku bener-bener nyesel. Selama ini aku terus mikirin kita, Wid. Aku nggak bisa berhenti nyalahin diriku sendiri.”
Widuri mendengarkan, tapi wajahnya tetap datar. “Dan kamu kira, dengan bicara begini, semuanya akan selesai?”
Galuh menggigit bibirnya. “Aku cuma pengen kita baik-baik aja. Kalau nggak bisa balik seperti dulu, setidaknya jangan kayak sekarang.”
Widuri tertawa kecil, sarkastik. “Galuh, aku udah bilang sebelumnya. Aku nggak mau ada urusan lagi sama kamu. Kamu yang memutuskan buat nggak jujur, kamu yang bikin aku percaya pada harapan palsu. Jadi tolong, berhenti muncul di hadapanku.”
Galuh terlihat terguncang, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Setelah beberapa detik hening, dia berdiri dan pergi.
Namun, seperti yang sudah Widuri duga, Galuh tidak menyerah begitu saja. Beberapa hari kemudian, saat Widuri berjalan menuju gerbang sekolah setelah pulang, Galuh muncul lagi.
“Widuri, tunggu dulu!”
Widuri mendesah frustrasi. “Apa lagi, Gal? Aku udah bilang jangan ganggu aku.”
“Aku nggak ganggu. Aku cuma mau nganterin kamu pulang. Rumah kita searah, kan?”
Widuri melotot padanya. “Aku bisa pulang sendiri. Aku nggak butuh kamu.”
“Tapi—”
“Enggak ada tapi! Galuh, serius deh, kamu itu ngeganggu. Kalau kamu bener-bener minta maaf, biarin aku hidup tenang!”
Galuh terdiam, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak berniat mundur. Widuri akhirnya menyerah dan berjalan cepat meninggalkan Galuh.
Hari itu, di rumah, Widuri merasa emosinya bercampur aduk. Galuh terus muncul di saat dia merasa sudah mulai menemukan kedamaian. Mengapa lelaki itu tidak bisa menerima kenyataan bahwa semuanya sudah berakhir?
Widuri mencoba mengalihkan pikirannya dengan belajar, tapi pikirannya terus melayang. Dia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Damar.
“Damar, kamu sibuk?”
Tidak lama kemudian, pesan balasan datang.
“Enggak, Wid. Ada apa?”
Widuri merasa sedikit lega. Dia butuh seseorang untuk bicara.
“Aku cuma… Aku bingung. Ada orang yang terus-terusan muncul di hidupku, padahal aku nggak mau ada hubungannya lagi sama dia.”
“Apa dia orang yang pernah nyakitin kamu?”
Widuri mengetik cepat, “Iya.”
“Kalau aku boleh tahu, kamu masih merasa ada perasaan sama dia?”
Widuri tertegun membaca pertanyaan itu. Perasaan? Tidak. Yang dia rasakan sekarang hanyalah rasa jengah dan marah.
“Enggak, Damar. Aku cuma pengen dia pergi. Aku capek.”
Balasan dari Damar membuatnya sedikit tersenyum.
“Kalau begitu, kamu harus tetap tegas. Kalau dia nggak mengerti, kamu punya hak untuk melindungi dirimu sendiri. Kamu orang yang kuat, Widuri. Aku percaya kamu bisa.”
Widuri merasa lebih baik setelah membaca pesan itu. Damar benar. Dia tidak boleh goyah hanya karena Galuh.
Keesokan harinya, saat di sekolah, Widuri bertekad untuk mengabaikan Galuh sepenuhnya. Namun, tidak mudah untuk melakukannya, terutama karena Galuh terus mencari celah untuk mendekatinya.
“Widuri,” panggil Galuh saat istirahat.
Widuri tidak menjawab. Dia berpura-pura tidak mendengar dan berjalan ke arah yang berlawanan.
Galuh mengejarnya. “Widuri, tunggu! Aku cuma mau bicara sebentar.”
Widuri berhenti dan berbalik. Kali ini, dia tidak bisa menahan kemarahannya.
“Dengar, Galuh. Aku nggak mau bicara sama kamu. Aku nggak mau lihat kamu. Aku cuma pengen kamu pergi dari hidupku. Susah banget ya buat ngerti?”
Galuh terdiam, tampak terkejut dengan nada suara Widuri yang lebih tajam dari biasanya. Tapi Widuri tidak peduli. Dia melangkah pergi tanpa melihat ke belakang.
Dalam hati, dia berdoa semoga Galuh akhirnya menyerah. Dia sudah terlalu lelah dengan semua ini. Yang dia inginkan hanyalah hidup tenang dan melanjutkan perjalanan tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.