Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Tangan Nayla gemetar saat meraih amplop itu. Permukaannya kasar, seolah telah melewati banyak tangan sebelum sampai di pintu rumah mereka. Jantungnya berdegup kencang. Kata-kata pada amplop itu terasa seperti bisikan dari jurang yang dalam, memanggilnya untuk membuka dan menatap ke dalam kegelapan.
Setelah memastikan bahwa Arga masih di ruang kerjanya, Nayla menyelipkan amplop itu di bawah bantalnya, berniat membuka isinya nanti. Namun, pikirannya tak mampu lepas dari rasa penasaran yang membakar. Apa yang disembunyikan suaminya?
Saat malam semakin larut, Arga akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tetap tak terbaca. Tanpa sepatah kata, ia menuju kamar, meninggalkan Nayla di ruang tamu dengan perasaan bercampur aduk.
Nayla menunggu beberapa saat, memastikan Arga telah benar-benar tertidur, sebelum ia kembali ke kamar dan mengambil amplop yang disembunyikan. Dengan napas tertahan, ia merobek segelnya dan menarik isinya keluar.
Beberapa lembar foto jatuh ke pangkuannya. Dalam foto itu, terlihat seorang wanita muda dengan senyum lembut, berdiri di samping Arga. Mereka terlihat begitu akrab, hampir seperti pasangan bahagia.
“Siapa dia?” bisik Nayla pada dirinya sendiri, rasa cemburu dan penasaran membuncah bersamaan.
Selain foto, ada selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi. “Jika kamu ingin tahu kebenaran, cari tahu apa yang Arga sembunyikan di ruang kerjanya. Jangan percaya apa yang dia katakan.”
Nayla menatap pintu kamar Arga yang tertutup rapat. Ia tidak tahu apa yang sedang ia hadapi, tetapi dorongan untuk mencari tahu lebih besar dari ketakutannya.
Esok paginya, Nayla memperhatikan Arga dengan seksama saat mereka sarapan. Pria itu tampak tenang, bahkan terlalu tenang, seolah tidak ada hal yang mengganggunya.
“Ada yang ingin kamu ceritakan padaku, Arga?” tanyanya dengan suara yang sengaja dibuat lembut.
Arga hanya menatapnya singkat. “Seperti apa?”
Nayla menelan ludah, mencoba menyembunyikan ketegangan di balik senyumnya. “Entah. Sesuatu yang penting. Mungkin tentang... masa lalumu?”
Arga meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, gerakannya penuh perhitungan. “Masa lalu adalah masa lalu, Nayla. Aku tidak melihat alasan untuk membahasnya.”
“Tapi masa lalu selalu menjadi bagian dari kita, bukan?” desaknya, mencoba menyelipkan nada ringan dalam suaranya.
Tatapan Arga mengeras. “Beberapa hal lebih baik dibiarkan terkubur.”
Setelah Arga pergi, Nayla berdiri di depan pintu ruang kerjanya, pintu yang selalu terkunci rapat. Amplop dan foto itu terus menghantui pikirannya, membuat rasa ingin tahunya tak tertahankan.
Ia mencoba memutar pegangan pintu, tetapi tetap terkunci seperti biasanya. Dengan jantung berdebar, ia mengitari ruang kerja itu, berharap menemukan petunjuk lain. Pandangannya jatuh pada bingkai foto di rak ruang tamu, salah satu dari sedikit barang pribadi Arga yang dipajang.
Nayla mengambil foto itu, memperhatikan latar belakangnya dengan seksama. Matanya terpaku pada sebuah detail kecil—sebuah figura kayu dengan ukiran khas, yang ia sadari pernah melihatnya di ruang kerja Arga.
Saat malam tiba, Nayla menyusun rencana. Ia menunggu hingga Arga tertidur lelap sebelum menyelinap keluar dari kamar. Dengan hati-hati, ia kembali ke ruang tamu dan membawa bingkai foto itu ke ruang kerja Arga.
Dari sakunya, ia mengeluarkan penjepit kecil yang ia temukan di laci dapur. Dengan napas tertahan, ia mencoba membuka kunci pintu. Setelah beberapa percobaan, terdengar bunyi klik yang hampir membuatnya bersorak.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruang kerja yang gelap. Nayla meraih saklar lampu dan menyalakannya.
Ruangan itu penuh dengan rak buku, meja besar, dan... lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya, ia melihat figura kayu yang sama seperti dalam foto tadi, tetapi kini tanpa isi.
Ia melangkah mendekat, tangannya gemetar saat mencoba membuka lemari kaca itu. Kali ini, kuncinya lebih rumit. Nayla tahu ia harus mencari cara lain untuk membukanya.
Saat ia hendak menyerah, pandangannya tertuju pada salah satu laci di meja kerja Arga. Ia membukanya perlahan dan menemukan tumpukan dokumen. Di antara dokumen itu, ada amplop kecil lain dengan inisial yang sama seperti pada foto wanita tadi: "S.K."
Nayla meraih amplop itu dan membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya ada beberapa catatan keuangan dan sebuah kartu pos dengan tulisan tangan: “Aku menunggumu di tempat yang sama.”
Ia belum sempat mencerna sepenuhnya isi amplop itu ketika suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Nayla membeku, matanya terpaku pada pintu.
Langkah itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu ruang kerja.
Pintu terbuka, dan Arga berdiri di sana dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. “Apa yang kamu lakukan di sini, Nayla?”
Udara di ruangan itu terasa membeku. Nayla masih memegang amplop dengan inisial “S.K.”, matanya terkunci pada Arga yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya tidak menunjukkan amarah, tetapi tatapan dingin itu cukup membuat napas Nayla tersendat.
“Aku bertanya, apa yang kamu lakukan di sini?” Arga mengulangi, suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan berbahaya.
Nayla menggenggam amplop lebih erat, berusaha menyembunyikannya di balik tubuhnya. “Aku... aku hanya ingin tahu kenapa ruangan ini selalu terkunci.”
“Dan kau pikir itu alasan untuk masuk tanpa izin?” Arga melangkah mendekat, setiap langkahnya membuat Nayla merasa terpojok.
“Aku istrimu, Arga. Aku berhak tahu apa yang terjadi,” jawab Nayla, mencoba mempertahankan keberanian meski tubuhnya gemetar.
Arga berdiri di depannya sekarang, matanya menyapu amplop di tangannya. Dengan gerakan cepat, ia merampas amplop itu dari genggamannya. “Ini bukan urusanmu,” katanya dengan nada tegas.
“Kalau begitu, kenapa kau menyembunyikannya? Siapa S.K. itu?” Nayla balas menantang, rasa frustrasi dan penasaran akhirnya meledak.
Arga menatapnya tajam, seperti menimbang apakah ia harus mengatakan sesuatu atau tetap diam. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui, Nayla. Hal-hal yang bisa menghancurkanmu.”
“Apa maksudmu? Kau tidak bisa terus-menerus menutupiku seperti ini. Aku punya hak untuk tahu!” Nayla melangkah maju, matanya berapi-api.
Namun, Arga tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengunci pintu ruang kerja dan memasukkan kunci ke sakunya. “Kembali ke kamar,” katanya dingin. “Dan jangan pernah mencoba masuk ke sini lagi.”
Malam itu, Nayla berbaring gelisah di tempat tidur. Bayangan amplop, foto, dan catatan keuangan terus berputar di kepalanya. Ia tahu ada sesuatu yang besar yang disembunyikan Arga, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Pagi harinya, sikap Arga kembali seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi. Tetapi bagi Nayla, tidak ada yang sama lagi. Ia merasa seperti hidup dengan pria asing yang memiliki sisi gelap yang tidak pernah ia kenal.
Hari itu, Nayla memutuskan untuk mengalihkan fokusnya pada tugas-tugas rumah tangga. Saat sedang membersihkan lemari di kamar, tangannya menemukan sebuah buku agenda tua yang tampaknya milik Arga. Buku itu sudah usang, tetapi isinya terlihat penting.
Saat membuka halaman pertama, matanya langsung terpaku pada sebuah catatan kecil. “Jika terjadi sesuatu padaku, hubungi nomor ini. Jangan percaya siapa pun.” Di bawahnya ada nomor telepon yang tertulis dengan tinta hitam tebal.
Degup jantung Nayla semakin cepat. Ia meraih ponselnya, tetapi ragu. Apa yang akan ia temukan jika menghubungi nomor itu? Apakah ini benar-benar jawabannya, atau hanya akan membuka pintu ke masalah yang lebih besar?
Setelah mengumpulkan keberanian, Nayla mengetik nomor itu dan menekan tombol panggil. Dering pertama berlalu. Lalu dering kedua. Hingga akhirnya, sebuah suara wanita menyahut dari ujung sana.
“Siapa ini?” suara itu terdengar tajam, penuh kewaspadaan.
“Saya... Nayla. Istri Arga,” jawabnya dengan suara pelan.
Hening sejenak. Lalu suara wanita itu berubah menjadi tawa kecil yang sinis. “Jadi dia benar-benar menikah. Kasihan sekali kau terjebak dalam permainan ini.”
“Apa maksudmu? Siapa kau? Apa yang kau ketahui tentang Arga?” Nayla mendesak, merasa napasnya tersangkut di tenggorokan.
Wanita itu berhenti tertawa. “Kau benar-benar tidak tahu, ya? Kau tidak tahu apa yang telah dia lakukan, dan kenapa dia menikahimu.”
Kata-kata itu menghantam Nayla seperti badai. “Katakan padaku! Apa yang dia sembunyikan?”
“Kau akan tahu,” jawab wanita itu datar. “Datanglah ke alamat ini.”
Nayla mencatat alamat yang diberikan wanita itu dengan tangan gemetar. Begitu panggilan terputus, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan. Apakah ia harus pergi dan mencari tahu, atau tetap diam dan menerima ketidaktahuan ini?
Saat Nayla bersiap untuk pergi ke alamat tersebut, ia menemukan sebuah koper besar di bawah tempat tidur Arga. Ketika membuka koper itu, ia terkejut menemukan isinya—dokumen-dokumen, uang tunai dalam jumlah besar, dan sebuah paspor atas nama yang berbeda “Ardi Saputra Raharja.”