Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Perjumpaan yang Tak Terduga
Ardan melangkah pelan di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon-pohon raksasa. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah yang terasa menenangkan, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Hutan ini berbeda dari yang pernah ia lihat sebelumnya—tidak hanya hidup, tetapi seperti mengawasinya.
Setiap langkah membawa gema pelan, seakan-akan hutan ini memiliki ingatan dan suara yang mencoba berbicara. Tapi kali ini, tidak ada kegelapan yang mengintai di sudut pandangannya. Justru, ia merasa seolah berada di tengah tempat yang menunggu untuk diungkapkan rahasianya.
Saat ia menyentuh kulit pohon di dekatnya, ia teringat akan kata-kata anak kecil dalam dirinya:
"Aku adalah bagian dari dirimu."
Namun, sebelum ia bisa tenggelam dalam pikiran itu, suara melodi lembut mengalun di kejauhan. Nada itu halus, namun membawa kehangatan aneh yang membangkitkan rasa penasaran.
“Siapa… di sana?” seru Ardan, mencoba menangkap sumber suara.
Tidak ada jawaban. Hanya alunan melodi itu, seakan-akan memanggilnya lebih dalam ke jantung hutan.
Ia mengikuti suara itu, setiap langkahnya membawa dia lebih dekat, sampai akhirnya ia melihat sebuah pemandangan yang membuatnya tertegun.
---
Di tengah hutan, ada sebuah danau kecil yang memantulkan cahaya seperti cermin. Di tepi danau itu, duduk seorang perempuan muda dengan rambut panjang berwarna perak yang berkilauan seperti bulan. Ia sedang memainkan alat musik kecil, sejenis seruling bambu, dengan jemari lentiknya. Suaranya membawa ketenangan, seperti mendengar lagu masa kecil yang hampir dilupakan.
Ardan tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri, memperhatikan perempuan itu dalam diam. Entah kenapa, ada sesuatu yang hangat di dadanya—seperti sinar lembut yang merangkul jiwanya.
Perempuan itu menyadari kehadirannya dan berhenti memainkan serulingnya. Ia menoleh, menatap Ardan dengan mata yang tampak bercahaya.
“Kau datang,” katanya dengan suara lembut, seperti embun yang turun di pagi hari.
Ardan mengernyit. “Kau tahu aku akan ke sini?”
Perempuan itu tersenyum tipis. “Bukan tentang tahu atau tidak. Aku hanya merasa kau akhirnya tiba.”
Jawabannya membuat Ardan bingung. Ia melangkah lebih dekat, mencoba memahami sosok di depannya. Perempuan itu tampak nyata, tetapi kehadirannya terasa seperti bagian dari mimpi.
“Siapa kau?” tanya Ardan akhirnya.
“Aku? Aku hanyalah penjaga tempat ini. Namaku Selina.” Ia berdiri, membiarkan cahaya matahari menyoroti wajahnya. Ada sesuatu yang anggun dan rapuh tentangnya, tetapi juga kekuatan yang tersembunyi di balik sikap lembut itu.
“Penjaga?” Ardan memandang sekeliling, lalu kembali menatap Selina. “Apa yang kau jaga?”
Selina memandang danau di belakangnya. “Tempat ini adalah bagian dari dunia yang sering terlupakan. Ia menyimpan cerita, ingatan, dan harapan dari mereka yang pernah ke sini. Aku hanya memastikan semuanya tetap damai.”
Ardan merasa ada sesuatu yang tak terucapkan dalam kata-katanya, tetapi ia tidak ingin memaksanya. Ada sesuatu yang menenangkannya di sekitar Selina, seolah-olah semua pertanyaannya tidak penting untuk saat ini.
---
Mereka duduk di tepi danau, berbicara tentang banyak hal. Selina menceritakan kisah-kisah tentang hutan itu—tentang pohon-pohon yang pernah menjadi saksi perjalanan jiwa-jiwa yang hilang, tentang angin yang membawa pesan dari dunia lain.
Ardan mendengarkan dengan penuh perhatian. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Kehadiran Selina adalah sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang mengerti apa yang ia lalui tanpa perlu penjelasan.
“Aku tahu seperti apa rasanya tersesat,” kata Selina dengan lembut, memandang Ardan dengan mata penuh kasih. “Kadang, dunia terasa begitu besar, dan kita tidak tahu ke mana harus melangkah. Tapi tidak apa-apa. Kau di sini sekarang, dan itu adalah langkah pertama.”
Kata-katanya menyentuh hati Ardan. Ia menatap danau, melihat bayangannya sendiri yang mulai tampak lebih jernih. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti mulai menemukan bagian dari dirinya yang hilang.
“Terima kasih,” katanya akhirnya.
Selina tersenyum. “Kau tidak perlu berterima kasih. Ini adalah perjalananmu. Aku hanya kebetulan ada di sini.”
---
Malam mulai menyelimuti hutan, dan bintang-bintang muncul satu per satu di langit. Selina mengeluarkan serulingnya lagi dan mulai memainkan melodi yang berbeda—lebih ceria, tetapi masih dipenuhi kehangatan.
Ardan berbaring di atas rumput, membiarkan dirinya tenggelam dalam musik itu. Ia merasa tenang, seperti anak kecil yang dikelilingi oleh kehangatan keluarga.
Namun, di tengah ketenangan itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Angin berubah dingin, dan suara bisikan mulai terdengar di kejauhan. Selina berhenti bermain, wajahnya berubah serius.
“Mereka datang,” katanya pelan.
“Siapa?” Ardan duduk tegak, merasa tegang.
Selina menatapnya dengan mata penuh ketegasan. “Bayangan. Mereka selalu mencoba mengambil tempat ini. Kau harus pergi, Ardan.”
“Apa maksudmu? Aku tidak akan meninggalkanmu di sini sendiri!”
Selina tersenyum lemah. “Ini bukan pertarunganmu, Ardan. Kau belum siap.”
Sebelum Ardan bisa membalas, suara gemuruh terdengar dari dalam hutan. Bayangan-bayangan mulai muncul di antara pepohonan, merangkak seperti kabut hitam yang hidup.
Selina berdiri, memegang serulingnya seperti senjata. “Pergilah sekarang. Aku akan mengurus mereka.”
“Tapi—”
“Percayalah padaku,” potong Selina, suaranya tegas namun tetap lembut. “Aku akan baik-baik saja. Ini tugas yang sudah aku lakukan selama bertahun-tahun.”
Dengan enggan, Ardan mulai mundur. Ia tidak ingin meninggalkan Selina, tetapi ia tahu ia tidak punya pilihan. Sebelum pergi, ia menatapnya sekali lagi.
“Aku akan kembali,” katanya dengan suara mantap.
Selina tersenyum, meski ada kesedihan di matanya. “Aku tahu kau akan kembali.”
---
Ardan berlari melalui hutan, meninggalkan danau dan Selina di belakangnya. Suara pertempuran mulai terdengar di kejauhan, melodi seruling yang berubah menjadi nada peperangan. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus terus maju.
Di dalam hatinya, ada janji yang ia buat untuk dirinya sendiri. Ia akan kembali ke tempat itu, dan kali ini, ia akan lebih kuat.
Ketika ia mencapai tepi hutan, ia berhenti dan menoleh. Cahaya kecil di dalam dirinya kembali bersinar lebih terang, dipenuhi oleh harapan dan tekad baru.
Selina telah memberinya sesuatu yang tak ternilai—bukan hanya kedamaian, tetapi juga alasan untuk melanjutkan perjalanannya.
---