"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Bri mendesah pelan ketika melihat pagar rumahnya kembali bergoyang terkena angin. Engselnya sudah longgar, dan setiap kali ia membukanya, bunyi berderit tajam memenuhi udara. Pagar itu sudah tua, sedikit berkarat di beberapa bagian, dan tidak lagi bisa tertutup sempurna.
"Harusnya aku sudah menggantinya sejak bulan lalu," gumam Bri, lalu meraih teleponnya untuk mencari tukang. Namun, sebelum sempat menelepon, suara seseorang dari sebelah rumah membuatnya menoleh.
"Kalau hanya sekadar engsel yang longgar, aku bisa memperbaikinya," ujar Raga, yang tengah berdiri di teras rumahnya. Ia mengenakan kaus longgar dan celana pendek, tampak santai dengan secangkir kopi di tangan.
Bri mengerutkan kening. "Sejak kapan kau suka jadi tukang?"
Raga terkekeh. "Aku tidak suka, tapi aku bisa. Kalau kau panggil tukang, mereka mungkin baru datang seminggu kemudian. Aku bisa mengerjakannya sore ini."
Bri menatap pagar yang bergoyang itu, lalu kembali menatap Raga. Ia tahu pria itu tidak akan menawarkan bantuan kalau tidak yakin bisa mengerjakannya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau kau merusaknya lebih parah, aku akan menagih ganti rugi."
Raga mengangkat bahu. "Percayalah, aku pernah memperbaiki hal yang lebih parah dari ini."
Sore itu, Raga datang dengan sekotak perkakas dan langsung bekerja. Ia membongkar engsel lama, menggantinya dengan yang baru, lalu mengencangkan sekrup-sekrup yang mulai berkarat. Sementara itu, Bri hanya berdiri di ambang pintu, mengawasinya dengan lipatan tangan di dada.
Ketika pagar sudah selesai diperbaiki, Raga mengayunkannya beberapa kali untuk memastikan kestabilannya. "Sudah selesai. Coba kau buka dan tutup sendiri." Bri melangkah maju, meraih pagar itu, dan mendorongnya perlahan. Tidak ada bunyi berderit. Pagar itu bergerak mulus, jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Tidak buruk," kata Bri, meskipun dalam hati ia terkesan.
Raga menyeringai. "Aku menerima pujian dalam bentuk makanan, kalau kau mau tahu."
Bri mendelik. "Kau tidak ikhlas membantuku ya?"
"Tidak ada yang gratis di dunia ini tetangga," balas Raga enteng.
Namun, ide itu tetap tertanam di benak Bri. Sore itu, ia memutuskan memasakkan sesuatu untuk Raga—bukan karena merasa berutang, tentu saja. Hanya sekadar balasan kecil.
Ketika malam tiba, Bri mengetuk pintu rumah Raga dengan sebuah piring di tangannya. Raga membukanya dengan ekspresi terkejut.
"Apa ini?" tanyanya, menatap piring berisi nasi dan ayam kecap dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Balasan atas jasamu," kata Bri santai.
Raga mengambil piring itu, mencium aromanya. "Jangan bilang kau menaruh racun di dalamnya."
Bri mendesah. "Kalau aku mau meracunimu, sudan kulakukan sejak dulu."
Raga mendengus, lalu melangkah mundur untuk memberi ruang bagi Bri. "Kalau begitu, masuklah. Akanku makan kalau kau memaksa. Lagipula kau sudah bersusah payah. Betapa jahatnya aku kalau tidak menghargai usahmu iya kan?."
Bri melemparkan tatapan sinis padanya lalu masuk ke dalam rumah Raga dengan perasaan ragu. Mereka duduk di meja makan, dan Raga mulai mencicipi makanan itu.
"Hmm," gumamnya sambil mengunyah.
"Lumayan. Ternyata kau bisa memasak juga."
"Tentu saja," kata Bri bangga. "Aku bukan orang yang hidup dari mi instan seperti dirimu."
"Aku merasa dihina, tapi aku tidak bisa membantah," kata Raga, tertawa.
"Serius, ini enak. Aku bisa menerima lebih banyak piring seperti ini."
Bri tersenyum kecil, tapi kemudian menambahkan, "Jangan harap. Ini hanya sekali ini saja."
"Dasar pelit." Raga menatapnya dengan wajah pura-pura sedih.
"Aku penasaran kenapa di sini kosong sekali, ke mana barang-barangmu yang lama?" tanya Bri menatap ruang tamu Raga yang kosong seingatnya dulu ada sofa berwarna krem lengkap dengan beberapa pot tanaman favorit ibunya Raga.
"Sudah kujual. Waktu itu aku butuh uang dan hanya itu solusinya".
Bri menatapnya tak percaya. "Kau serius?"
Raga membalasnya dengan anggukan malas, memang seperti itulah cerita sebenarnya meskipun tidak semuanya seperti tanaman favorit ibunya yang masih Raga simpan di kamar atas.
Pagi itu langit cerah dan angin bertiup dengan pelan, Bri keluar rumah dan menemukan tumpukan sampah di sudut halamannya—jelas berasal dari rumah sebelah. Angin malam tampaknya telah menerbangkan plastik-plastik kosong ke pekarangannya. Tapi tidak akan terbang jika kau menaruhnya dengan benar pikirnya.
Tentu itu bukan miliknya, tong sampah Bri selalu dalam keadaan rapi dan sampahnya tidak pernah menumpuk, tidak seperti dengan tetangga sampingnya itu. Bri mengambil napas panjang dan mengetuk pintu rumah Raga dengan agak keras.
"Apa?" Raga membuka pintu dengan wajah mengantuk.
Bri menunjuk ke arah sampah di halamannya. "Tolong jelaskan itu."
Raga melirik sekilas dan menangkap ada dua kantong hitam sedang teronggok di atas pekaranga tetangganya itu, dia lalu menguap. "Itu sampah."
"Aku tahu itu sampah, Raga," kata Bri dengan nada frustrasi. "Sampahmu. Yang tertiup ke halamanku."
Raga menggaruk kepala. "Aku akan membersihkannya nanti."
"Nanti itu kapan?"
"Saat aku bangun dengan benar," kata Raga sebelum hendak menutup pintu.
Namun, Bri menahannya. "Tidak. Kau akan membersihkannya sekarang."
Raga menatapnya dengan heran selama sesaat, "Baiklah." Tanpa aba-aba pria itu menutup pintunya tepat di depan wajah Bri yang membuat wanita itu berang dan mengetuk pintu Raga berulang kali.
"Dasar brengsek! Awas kau Raga," ucapnya dengan penuh emosi.
Bri yang tak mau kalah mengambil sampah itu dan membuka bungkusannya. Berhamburanlah sampah-sampah itu di atas teras Raga yang semula bersih, dengan senyuman licik Bri merasa puas melihat tumpukan sampah yang berserakan.
Raga kemudian bangun sudah tampak rapi karena dia akan pergi untuk melihat salah satu proyeknya. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu ketika melihat terasnya penuh dengan sampah yang berserakan, wajahnya memerah.
"BRIANA!" Dengan keluhan kecil, Raga akhirnya mengambil sapu dan mulai mengumpulkan sampah itu. Sementara Bri yang mengintip melalui jendela depan tersenyum puas.
Malam harinya, Bri yang baru saja sampai di rumah setelah selesai pergi menonton denga teman-temannya, kakinya tak sengaja menginjak sesuatu yang lengket berada tepat di depam garasinya—seonggok kotoran kucing.
Dengan amarah yang menyala, ia langsung menuju rumah Raga lagi. Kali ini, ia tidak mengetuk—ia langsung membuka pintu dan menemukan Raga tengah duduk santai di depan meja makan.
"Raga!"
Raga menoleh dengan alis terangkat. "Apa lagi? Ngomong-ngomong di mana etikamu, bukannya mengetuk dulu tapi malah masuk tanpa permisi ke rumah orang lain."
"Persetan dengan etika. Kucingmu!" Bri menunjuk ke luar. "Buang air di rumahku! Tepatnya di depan garasiku."
Raga terkikik. "Oh. Itu namanya berkah."
"Berkah kepalamu!" Bri mengatupkan rahangnya. "Ini terakhir kalinya aku membiarkan kucingmu berkeliaran di sekitar rumahku, dua hari yang lalu dia mengotori pot bungaku. Kalau dia melakukannya lagi, aku akan—"
"Akan apa?" Raga menantangnya dengan senyum iseng.
Bri terdiam, tidak benar-benar punya rencana balasan. "Lihat saja nanti." Akhirnya, ia hanya mendengus dan berbalik.
Namun, sebelum ia pergi, Raga berjanji, "Baiklah, aku akan menasehatinya dengan baik," ucapnya sambil tertawa geli. Meskipun terkadang kesal dan terganggu namun Raga senang bisa menikmati momen pertengkaran mereka yang membuat hari-harinya jadi lebih berwarna.