Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Kabut_Desa Yang Aneh
Kami tiba di Desa yang ada di pulau Sumatera saat hari mulai beranjak sore. Desa ini bernama Desa hutan kabut, nama yang menurutku cukup aneh awalnya, tapi sepertinya nama ini diberikan karena Desa ini katanya selalu dikelilingi kabut tipis sehabis hujan deras.
Papa membangunkan kami semua dan memberitahukan bahwa kami telah tiba. Mobil memasuki halaman pekarangan yang cukup luas, dan di depannya terdapat rumah berlantai dua yang sepertinya terbuat dari kayu dan bergaya klasik.
Aku merasa tertarik saat melihat rumah ini pertama kali, entah mengapa seperti memiliki daya tarik tersendiri. Dilantai dua rumah itu terdapat jendela kaca yang cukup besar dan terhubung langsung dengan balkonnya yang kesemuanya terbuat dari kaca. Mungkin dimaksudkan agar penghuni rumah bisa menikmati pemandangan alamnya yang indah berupa hutan pinus langsung.
Sebelum berhasil turun dari Mobil, papa mendapati Bima temannya memberitahukan agar kami tidak turun, dan tetap menunggu di dalam Mobil saja sampai Adzan magrib terdengar. Bima menjelaskan jika larangan keluar dari rumah saat surup atau magrib merupakan salah satu pantangan yang ada di Desa ini.
Sebagai orang yang telah lama tinggal di Kota dan lahir disana, aku merasa bahwa hal tersebut sangatlah konyol. Karena kami disana biasa-biasa saja melakukannya dan tidak terjadi apapun setelahnya. Tapi papa meminta kami untuk menurut saja dan tidak perlu memprotesnya karena bisa saja itu menimbulkan permasalahan lainnya.
"Lagian aneh banget sih, Mas." protes Mama dan akupun mengangguk setuju dan membenarkan perkataan Mama.
"Aneh gimana cobak. Lagian, dalam ajaran Islam, memang ada larangan untuk tidak keluar rumah saat Maghrib karena setan dan jin dipercaya berkeliaran pada waktu tersebut," jelas Papa membungkam pernyataanku dan Mama.
Papa menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melarang anak-anak keluar saat Maghrib, kita juga di anjurkan untuk menutup pintu dan semua jendela rumah menjelang Maghrib dan sebaiknya tidak berkeliaran di luar rumah saat Maghrib. Dan ketika menutup pintu dan jendela sebaiknya membaca basmalah sebelum masuk ke rumah agar mereka pun tidak bisa ikut masuk.
Larangan ini dibuat bukan tanpa alasan yang jelas melainkan sebab setan dan jin mulai menyebar mencari tempat tinggal dan berlindung saat kegelapan datang.
Setan -setan ini akan bergerak dengan cepat melebihi kecepatan manusia. Setan akan mencari perlindungan di dalam wadah kosong, rumah kosong, atau diantara orang-orang yang duduk diluar rumah dan mencari perlindungan di antara orang-orang yang duduk diluar rumah.
"Ngerti kan sekarang, kenapa ada larangan itu, Sayang? Jadi, mulai sekarang Papa harap kalian menghormati keyakinan itu entah kalian setuju atau tidak." jelas Papa.
"Iya, Om. Lilian juga percaya kalau larangan itu nyata adanya, lagian itu bukan mitos karena sudah diatur juga dalam agama." tambah Lilian. Yang setelah itu sepertinya menyadari jika ia telah banyak bicara kemudian seperti biasa ia akan tertunduk.
"Ckkk," aku berdecak malas, melirik ke arah Lilian yang juga tengah mencuri pandang kearahku, kemudian keluar dari Mobil sembari menunggu papa membuka bagasi Mobil untuk mengambil koper milikku dan sebuah tas kecil yang berisi buku.
Ya, aku suka sekali membaca buku, dan kupikir disini aku akan menghabiskan banyak waktu luangku hanya untuk membaca buku, karena sepertinya akan sulit untukku mencari teman baru disini. Jadi, aku membawa banyak buku koleksiku berupa novel yang di tulis oleh para penulis terkenal.
Sedang papa kulihat tengah sibuk menurunkan perabotan milik kami dari truk yang kesini bersama kami dengan dibantu oleh beberapa orang lelaki yang sepertinya berasal dari sini.
Di depan rumah ini terdapat sebuah pancuran air yang tidak berfungsi. Air hanya menggenang di kolam bawah, berwarna hijau dan menampung beberapa teratai kecil.
Pada halamannya rumput terlihat gundul dan kering, tetapi tidak ada sampah daun yang berserakan. Di pinggir rumah ini terlihat hutang, sepertinya rumah ini dikelilingi oleh hutan dan kebun penduduk sekitar.
Ketika pintu dibuka pertama kali, hal pertama yang terlihat adalah ruangan kosong yang cukup luas yang nampak bersih dari debu hal itu terbukti dari lantainya yang juga terlihat bersih. Juga sebuah perapian kecil yang berada di ruang tamu, sepertinya ini baru dibuat dengan tujuan menampung api, agar tercipta suasana santai dan menghangatkan ruangan.
Sepertinya itu memang perlu mengingat ini adalah daerah pegunungan yang dikelilingi oleh banyak pepohonan, salah satunya adalah pohon pinus. Lumayan, tidak buruk juga. Aku pikir tinggal di Desa sangatlah tidak menyenangkan, tapi sepertinya ini seru. Semoga saja kami betah.
"Disini kalau malam sangat dingin, karena itu Papa meminta salah seorang tukang untuk membuat perapian ini, yang mungkin bisa kalian gunakan nantinya." jelas Papa singkat.
"Oh ya, Pa. Kok rumahnya bersih? Adelia pikir kita bakal beres-beres dulu."
"Itu karena Bima menyarankan Papa agar membayar seseorang untuk membersihkan rumah ini. Biar kalau kita sampai disini, kita bisa langsung istirahat." jelas Papa panjang lebar yang hanya mendapat anggukan kepala dari kami tanda mengerti.
Setelah puas berjalan-jalan melihat isi dalam rumah keseluruhan nya, tidak terasa bahwa sekarang rumah ini sudah disulap sedemikian rupa menjadi rumah yang sudah siap dihuni, dan seperti kata Papa, kami memang langsung bisa beristirahat tanpa perlu repot-repot membersihkan rumah terlebih dahulu.
Sebagai gambaran, rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai satu terdiri dari 5 ruangan, di antaranya, ada satu ruang tamu, 2 kamar tidur, disamping kamar yang berada di pojok terdapat sebuah gudang yang terkunci, ruang santai keluarga yang terhubung langsung dengan dapur.
Lalu di lantai atas terdiri dari 3 ruangan saja, 1 kamar tidur yang memiliki balkon yang cukup luas yang jendelanya juga terbuat dari kaca, ruang santai juga sebuah dapur.
Mama dan Papa sudah memilih sebuah kamar yang akan mereka tempati, sekarang tinggal aku dan Lilian saja yang belum menentukan pilihan.
"Kalian gak mau sekamar saja?" tanya Papa yang kurasa sebenarnya merupakan sebuah saran, barangkali.
"Sebenarnya mau, tapi sayang, kamarnya ada dua." jawabku kali ini merasa menang, karena Papa tidak bisa memerintahkan kami untuk sekamar lagi karena tidak punya alasan yang lebih logis.
"Baiklah, kami istirahat lebih dulu. Kalian boleh memilih kamar kalian sekarang." ujar Mama kemudian membuka pintu dan segera menutupnya kembali.
Sekarang hanya ada aku dan Lilian saja disini. Orang-orang yang tadinya ikut membantu juga semuanya sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Canggung sebenarnya dan aku tidak suka situasi semacam ini.
"Kamu mau kamar yang mana?." tanyaku cuek bahkan tanpa ekspresi.
"Kak Adelia saja dulu. Setelah kak Adelia selesai milih, baru Lilian ambil opsi keduanya." jawabnya sembari menatapku kemudian menunduk. Huft, apa aku seaneh itu hingga ia selalu menunduk tiap kali kami bertatap muka?
"Baiklah, aku di Lantai dua." jawabku sembari melemparkan kunci kamar padanya yang berhasil ia tangkap dengan baik dan segera bergegas naik ke lantai dua.
"Apa tidak sebaiknya kak Adelia di lantai satu saja? Maksudku, mungkin kakak ingin dekat dengan kamar Om dan Tante." ungkapnya lirih yang berhasil membuatku menghentikan langkah dan segera berbalik kemudian menatapnya.
"Apa maksudmu? Bukankah tadi kamu bilang, kamu akan mengambil opsi kedua. Apa kamu berubah pikiran sekarang?." tanyaku tersenyum menyeringai yang penuh dengan kalimat sindiran. Ya, aku tengah mengejeknya, karena kurasa ia sepertinya menginginkan kamar dilantai dua tapi terlalu naif.
"A,.. Apa maksud kakak?." tanyanya kali ini.
"Lilian, berhenti memanggilku kakak. Sudah kukatakan aku bukan kakakmu, dan tidak akan pernah." bentakku.
"Lagian, aku berbicara padamu, tidak berarti hubungan kita dekat. Kamu terlalu percaya diri, untuk ukuran seorang yang menumpang." tambahku. Kali ini aku menatapnya lekat, tampak matanya berkaca-kaca. Apakah ia sedih? Tapi aku tidak peduli, walau aku akui aku sedikit kasar dan keterlaluan. Tapi bukankah ia dan ibunya lebih keterlaluan?
Aku bergegas menaiki lantai dua bahkan tanpa berbalik melihat ke arah Lilian lagi. Sebenarnya ini cukup menggangguku, aku merasa sedikit tidak nyaman setelah mengatakan itu. Tapi, bukankah aku benar, ia tidak perlu memanggilku kakak, kami hanya berbeda satu tahun saja. Bukankah Adelia tanpa sematan kakak di depannya akan menjadikan kami lebih dekat layaknya teman?! Ya, jika seandainya kita nanti menjadi dekat.