Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7 Zio Nggak Mau Punya Papa
“Apa maksud Zio? Kenapa Mama harus menangis setiap malam?” tanya Adrian tertegun mendengar ucapan Enzio yang tiba-tiba.
Kania segera memanggil Bi Inah dan menyuruh wanita paruh baya itu membawa Enzio ke kamarnya. Kania tak ingin putranya mendengar percakapan mereka lebih jauh.
“Tunggu, Kania. Aku belum selesai bicara.” Adrian berkata, berusaha melangkah masuk ke apartemen.
Namun, Kania menahan pintu, menghalanginya masuk. “Aku tidak mau bicara, Mas. Karena tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!”
Setelah mengatakan itu, Kania menutup pintu apartemennya. Dia meninggalkan Adrian berdiri seorang diri di luar, tenggelam dalam penyesalan atas keputusannya lima tahun lalu.
“Seharusnya kamu mau mendengarkan penjelasanku dulu, Kania. Tentang mengapa aku menceraikanmu…” gumam Adrian, suaranya terdengar parau.
Tadinya dia datang dengan niat baik, ingin bertanya langsung kepada Kania tentang keadaan mereka, tetapi siapa sangka Enzio malah melihat kedatangannya.
“Anak itu sangat tampan dan mirip sekali denganku.” Adrian tersenyum getir. “Haruskah aku memberitahu papa dan mama bahwa mereka sudah punya seorang cucu?”
Adrian terdiam sesaat, bimbang. Akhirnya Adrian memutuskan untuk memberitahu keluarganya. Dia berbalik menuju mobil, berniat pulang ke rumah keluarga Pratama.
Namun, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Laras?” gumam Adrian dengan kesal. “Ada apa lagi wanita itu?” Setiap kali mendengar nama Laras, emosinya selalu tersulut.
**
“Zio sudah tidur, Bi?” tanya Kania pada Bi Inah yang baru keluar dari kamar Enzio.
“Belum, Non. Katanya dia ingin menunggu Non Kania,” jawab Bi Inah lembut.
Kania menghela napas dalam-dalam. “Baiklah, Bi. Bibi boleh pulang. Terima kasih untuk hari ini, ya.”
“Sama-sama, Non.” Setelah Bi Inah pergi, Kania melangkah perlahan menuju kamar Enzio. Ia melihat putranya itu sudah berbaring di tempat tidur, membelakanginya.
“Zio, marah sama Mama?” tanya Kania sambil duduk di tepi tempat tidur.
Enzio tetap diam, punggung kecilnya masih membelakangi Kania.
“Ya sudah, kalau Zio tidak mau bicara, Mama keluar ya?” ucap Kania dengan nada menggoda, berharap bisa mengusik perasaan putranya.
“Mama…” panggil Enzio akhirnya. “Mama jangan pergi. Zio mau tidur sama Mama.” Bocah itu bangkit dari tempat tidur, lalu memeluk kaki Kania erat-erat.
Kania terkekeh, mengusap rambut Enzio dengan lembut. “Mama pikir Zio marah.”
Enzio mendongak, wajah polosnya menatap Kania dengan mata yang berkilau penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa Mama selalu pura-pura tersenyum di depan Zio, padahal setiap malam Mama selalu menangis?”
Kania terkejut mendengar pertanyaan putranya. Dia tidak menyangka bahwa Enzio memperhatikan hingga sedetail itu.
Berusaha menenangkan diri, Kania tersenyum tipis. “Tidak, sayang. Mama menangis bukan karena sedih. Mungkin Mama cuma terkena debu.”
“Debu? Apa setiap malam debu selalu masuk ke mata Mama?” tanya Enzio polos, membuat Kania terdiam.
Kania bingung harus menjawab apa. Bagaimana bisa anak sekecil Enzio memiliki kepekaan seperti ini? Apakah karena gen Adrian yang cerdas dan peka?
“Mama, kok malah diam?” Enzio kembali bertanya.
Kania tersadar dari lamunannya. “Ah, iya... setiap malam debu selalu masuk karena Bi Inah lupa membersihkan kamar Mama,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian Enzio.
Namun, Enzio tak begitu saja percaya. “Jadi bukan karena paman yang tadi datang, ya?”
Kania menggeleng, tersenyum menenangkan. “Bukan, sayang.”
Tiba-tiba, Enzio berkata dengan tegas, “Zio nggak mau punya papa!”
Kania terperangah mendengar ucapan itu. “Kenapa Zio bilang begitu?”
“Kalau punya papa tapi cuma bikin Mama sedih, Zio nggak mau. Lebih baik Zio sama Mama,” ucap Enzio sambil mengecup pipi Kania. “Zio sayang Mama.”
Air mata Kania tak tertahankan lagi. Ucapan Enzio begitu tulus, namun menohok hatinya. Ia memeluk putranya erat-erat, tak ingin bocah kecil itu merasakan luka yang ia pendam selama ini.
“Mama juga sayang Zio. Sangat sayang,” bisik Kania sambil mengusap rambut anaknya. “Kita tidur, ya?”
“Iya, Ma,” jawab Enzio, merebahkan dirinya di samping Kania.
Malam itu, dalam keheningan, Kania menyadari bahwa cintanya pada Enzio adalah kekuatan yang tak akan pernah tergantikan.
Meski ia harus menanggung kesepian dan sakit hati, kehadiran Enzio membuatnya merasa utuh.
“Kamu satu-satunya harta berharga milik mama, sayang.”