Bertahun-tahun aku berusaha melupakan kenangan kelam itu, namun mimpi buruk itu selalu menghantuiku bahkan setiap malam. Akupun tidak bisa bersentuhan dengan laki-laki. Entah sampai kapan ini akan terjadi. Ku kira selamanya tidak akan ada pria yang masuk dalam hidupku. Hingga dia datang dan perlahan merubah kepercayaanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pikiran Jahat Pak Wira
Keesokan paginya Nasya bangun dari tidurnya setelah semalaman terlelap karena obat tidur. Dia bangun saat matahari masih belum terlihat cahayanya.
"Ini masih jam 5 pagi. Sebaiknya aku bereskan rumah terlebih dahulu." ujar Nasya setelah melihat jam yang ada diatas meja nakas.
Diapun bangun dari tempat tidur dan mulai membereskannya. Nasya tinggal di sebuah apartemen yang dia sewa setelah keluar dari rumah sang ibu. Dia berjuang sendiri begitu menginjak usia remaja. Setelah Nasya membersihkan apartemennya, dia bergegas mandi dan membuat sarapan alakadarnya untuk dirinya sendiri.
Tak dirasa cahaya matahari mulai masuk ke jendela apartemennya. Nasya melihat jam yang kini sudah menunjukkan pukul 6.30. Diapun segera bersiap untuk pergi ke kantor. Nasya mengenakan blazer hitamnya lalu sepatu pantofel kemudian bercermin untuk memastikan penampilannya. Diapun mengakhirinya dengan mengambil tas yang sudah dia siapkan. Setelah dirasa cukup, Nasya bergegas meninggalkan apartemen menuju halte bus yang letaknya cukup jauh dari rumahnya.
Seperti biasa Nasya akan naik terakhir agar tidak bersentuhan dengan laki-laki. Jika bus sudah penuh dan Nasya harus berdesakan, dia lebih memilih naik taksi.
"Sepertinya hari ini busnya sudah penuh. Sebaiknya aku naik taksi saja." gumam Nasya yang langsung melambaikan tangan untuk memanggil taksi begitu melihat kursi didalam bus sudah terisi semua.
"Sya! Nasya!" Lia yang melihat dari kejauhan mencoba memanggil Nasya sambil melambaikan tangannya, namun taksi yang ditumpangi Nasya sudah terlanjur pergi. Lia pun mempercepat langkahnya untuk segera naik ke dalam bus yang masih menunggu di halte.
"Kenapa Nasya malah naik taksi? Padahal busnya belum berangkat dan masih ada tempat juga untuk berdiri." pikir Lia yang bingung karena Nasya lebih menggunakan taksi padahal ongkosnya tentu saja lebih mahal.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama akhirnya Nasya tiba di kantor. Dia langsung masuk untuk melakukan absensi.
"Pagi Nasya." sapa Alex yang juga baru tiba.
"Pagi, Lex" Nasya pun menanggapi sapaannya dengan senyum tipis. Mereka menunggu lift bersama untuk naik ke ruangan mereka.
"Selamat pagi" Disaat yang sama, pak Wira juga baru saja tiba.
"Selamat pagi, Pak" Nasya dan Alex menyapa dengan senyum yang tamah.
"Namamu … Nasya ya?" tanya pak Wira pada Nasya dengan sedikit ragu.
"Benar, Pak" Nasya menanggapi dengan ramah sambil menganggukkan kepala.
"Sudah berapa lama kamu bekerja disini?" tanya pak Wira lagi.
"Emn... Hampir 3 tahun, Pak" Nasya menanggapi setelah berpikir tentang lamanya bekerja.
"Ooh... Cukup lama juga ya."
Saat mereka sedang bercengkrama, pintu lift terbuka.
Ting
"Mari, Pak" Nasya mengulurkan tangan agar pak Wira naik lebih dulu.
"Ya, silahkan." Mereka pun naik bersama.
Terlihat dari raut wajah Nasya kalau dia merasa risih dengan sikap pak Wira yang terus saja menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan , bahkan tangannya seolah berusaha memegang tangan Nasya yang berada disampingnya, namun Nasya yang menyadarinya langsung memegangi tasnya sebagai alasan .
Ting
Begitu pintu lift terbuka, Nasya dengan cepat keluar dan melangkah menuju ruangannya. Dia meninggalkan Alex dan pak Wira yang masih menatapnya.
"Kenapa tatapan mereka begitu menyeramkan? Mereka seperti predator" pikir Nasya begitu dia berjalan keluar dari lift.
"Berusaha menghindar? Atau pura-pura karena disini banyak orang? Cepat atau lambat, kamu tidak akan bisa menghindar lagi." Pikir pak Wira sambil menatap Nasya yang berjalan menjauh disertai seringai licik dibibirnya.
...****************...
Sementara itu dirumah Juna. Dia sedang sarapan bersama dengan kakeknya. Suasananya terasa canggung dan menegangkan.
"Ehem. Juna, bagaimana pendapatmu tentang hotel kita?" Sang kakek berusaha memecah keheningan dan rasa canggung mereka dengan membuka sebuah obrolan.
"Ada beberapa bagian yang harus diperbaiki. Aku akan merubahnya agar citra hotel bisa teratasi." Juna menanggapi dengan acuh tak acuh sambil tetap melanjutkan sarapannya.
"Apa yang akan kamu perbaiki?" tanya sang kakek penasaran.
"Sistem kerja dan cara pengelolaan. Kurasa aku harus melakukan perombakan besar."
"Apapun yang kamu lakukan, Kakek harap itu tidak berdampak pada karyawan kita dan tamu hotel." Kakek Juna tidak menanyakan lebih lanjut dan hanya mengingatkan saja.
"Aku mengerti." Jawab Juna singkat.
"Jika kamu tidak keberatan, maka pergilah ke perusahaan juga. Kamu bisa menemui pamanmu disana untuk sekedar menyapa. Kalian belum bertemu semenjak kamu kembali kemari."
Tangan Juna yang sedang menyendok makanan langsung berhenti setelah mendengar ucapan kakeknya.
"Apa yang harus aku lakukan disana? Bukankah Kakek memintaku hanya untuk mengelola hotel saja?" tanya Juna dengan sikapnya yang dingin.
"Hanya untuk menyapa saja. Tidak perlu lakukan hal apapun." ujar sang Kakek dengan sikap yang tenang.
"Akan aku pertimbangkan jika aku tidak sibuk." Juna meletakkan sendoknya dan membersihkan mulutnya.
"Aku sudah selesai sarapan. Aku harus pergi sekarang. Nikmati sarapan Kakek." Sambung Juna yang langsung beranjak pergi meninggalkan meja makan untuk pergi ke hotel.
Kakek Juna tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam menatap punggung Juna yang semakin menjauh dari hadapannya.
...----------------...
Juna baru saja tiba dihotel setelah berkendara sekitar 1 jam. Disana Yudi juga terlihat baru saja tiba.
"Selamat pagi, Pak" Sapa Yudi begitu melihat atasannya berjalan masuk ke hotel.
"Selamat pagi" Juna menanggapi sambil terus melangkahkan kakinya.
"Selamat pagi, Pak"
"Pagi"
Beberapa karyawan lain juga menyapanya dan Juna hanya menanggapi seadanya. Begitu tiba diruangannya dia langsung menanyakan job disknya pada Yudi.
"Bagaimana dengan apa yang aku minta kemarin?" tanya Juna sambil mulai membuka dokumen yang tergeletak di meja kerjanya.
"Saya sudah siapkan desain interior yang anda minta. Pelatih profesional untuk karyawan juga sudah saya panggil dan akan datang kemari mulai hari ini." Yudi menjelaskan apa yang diinginkan oleh Juna sebelumnya.
"Pantau terus pekerjaannya. Pastikan semuanya sesuai dengan apa yang aku katakan sebelum kita mengadakan acara besar untuk pengenalan hotel ini!" ujar Juna dengan sikap yang tegas.
"Baik, Pak. Oh iya, sepupu anda datang kemari dan menempati salah satu kamar VIP."
Juna langsung berhenti dan menatap Yudi yang baru saja bicara.
"Maksudmu … Alan?" tanya Juna memastikan.
"Benar. Saya mendapat laporan kalau Pak Alan semalam datang kemari dengan beberapa temannya dan berpesta disana." ujar Yudi kembali menjelaskan.
"Apa dia sering datang kemari?" Juna bertanya pada Yudi dengan raut wajah tidak suka.
"Benar, Pak. Pak Alan dan Bu Anggun sering datang kemari membawa teman-teman mereka dan berpesta."
Juna semakin tidak suka mendengar penjelasan Yudi. Dia mengtuk meja dengan jarinya beberapa kali sambil menggerakkan dagunya.
"Jika lain kali mereka berpesta dan membuat keributan disini, langsung usir saja!" Tegas Juna mengingatkan
"Tapi Pak ..." Yudi merasa segan untuk setuju dengan permintaan Juna karena status Alan dan Anggun yang juga merupakan cucu pemilik hotel.
"Tidak perlu tapi-tapian. Katakan saja kalau aku tidak membiarkan ini jadi bagian dari rumah mereka." Juna menyela Yudi sebelum dia selesai bicara.
"Baik, Pak. Saya mengerti."
tapi tetep suka karena sifat laki²nya tegas no menye² ...