Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Rahasia Menuju Kebebasan
Sebulan telah berlalu...
Sejak kejadian super memalukan itu, Moza dan Abri tak pernah lagi bertemu. Bahkan, kalau bisa, Moza berharap mereka tak akan pernah bertemu lagi seumur hidup. Bukan lebay—itu benar-benar sangat, sangat memalukan. Dan Windy, si biang kerok segala petaka, sudah resmi kena sanksi, potong gaji tiga bulan penuh dari Moza. Sebagai peringatan agar jangan main-main lagi dengan harga diri sang bos besar.
Untungnya, kejadian itu hanya diketahui oleh tiga orang: Moza, Windy, dan tentu saja Abri. Tak ada satu pun orang lain yang tahu. Bahkan Aji, ajudan pribadi Moza yang hampir selalu menempel seperti bayangan, tak tahu-menahu soal aib nasional versi pribadi itu. Apalagi orang tua Moza. Hah! Tidak! Mengingatnya saja sudah membuat gadis itu ingin mengubur dirinya dalam-dalam. Mengumumkan pada dunia? Big no!
Lupakan kejadian yang memalukan yang sudah berlalu itu. Sekarang fokus akan masa kini saja.
Pagi pagi sekali Moza sudah bangun dan juga rapih dengan menggunakan dalaman Tank top berwarna putih dengan luaran Hoodie crop top berwana abu serta bawahan celana hot pents berwarna hitam. Tampaknya gadis itu akan berolahraga di hari weekend seperti ini, apa lagi setiap weekend akan ada car free day di sekitaran bundaran HI yang membuat Moza makin semangat. Sebagai pecinta hidup sehat—warisan dari Papi Hamzah—tidak ada kamus ‘tidur sampai siang’ di hari Minggu. No way. Bukan anak Hamzah kalau bermalas-malasan.
"Mami, Oza ke car free day dulu, ya," Ujarnya ketika ia berjalan ke dapur di mana Clara sedang membuat sarapan. Moza mencomot roti lapis yang sudah tersaji di atas meja, Moza tebak roti lapis ini adalah jatah sang papi karena menggunakan selai kacang favorit Hamzah tapi walaupun begitu Moza tetap memakannya karena Sarapan yang di buat Clara belum selesai sementara dia sedang buru buru.
"Mau ke car free day sama siapa? Aji lagi gak dirumah, loh, dek," tanya Clara sambil memotong sayur. Ia baru teringat bahwa Aji sedang dipanggil kembali ke satuannya sejak dua hari lalu.
"Ya sendiri, lah, mi," jawab Moza enteng.
Clara langsung menghentikan gerakan tangannya. “Enggak, enggak! Mami nggak mau kamu kenapa-kenapa, Za. Sama Mayor Marwan aja, ya.”
Moza belum sempat protes, sang mami sudah bersuara lebih keras, “Wan! Wan!” Panggilan itu mengudara dan tak lama muncullah Mayor Marwan dari arah kolam renang, berkeringat dan ngos-ngosan, tampaknya habis olahraga pagi di gym pribadi.
"Siap, Bu. Ada apa?" sahutnya sopan.
"Kamu temani oza ya wan ke car free day hari ini, ya."
“Enggak usah, Mi! Oza bisa sendiri!” protes Moza cepat-cepat.
Jujur ya, semakin pangkat papinya tinggi semakin pula Moza tidak bisa bebas dalam bersosialisasi. Ke mana-mana dijaga seperti berlian. Padahal, yakin deh, nggak ada juga yang minat nyulik dia.
"Mohon Izin Bu... tapi jam delapan nanti saya mau antar bapak ke istana," kata Marwan sopan. Walaupun hari Minggu, bagi ajudan tidak ada istilah libur tetap. Jadwal mereka ikut sang atasan ke mana pun pergi.
“Nah, tuh, dengar sendiri, kan, Mi? Ketemu Bapak Presiden lebih penting daripada ngawal Oza, kan, Mayor?”
Marwan mengangguk setuju.
Moza langsung menatap penuh harap. “Please, Mi... Oza udah gede, bisa jaga diri. Nggak bakal kenapa-kenapa, sumpah!” Rayu gadis itu. Setidaknya sekali saja ia ingin merasakan hidup seperti dulu lagi, di saat sang papi masih menjadi prajurit biasa.
Clara akhirnya menghela napas berat. "Minta izin papi dulu sana. Kalau papi izinin mami juga kasih izin," Final Clara pada akhirnya memasrahkan keputusan pada Hamzah, karena mau bagaimana pun Hamzah lah yang paling over protektif pada putri bungsunya ini sampai-sampai beberapa kali memerintahkan prajurit untuk menjadi ajudan sang putri. Entah apa yang di takutkan pria satu itu.
"Ada apa ini?" Belum sempat Moza meng iyakan ucapan sang mami, Hamzah sudah turun dengan pakaian olahraganya sepertinya akan bersiap keruang ruang gym untuk olahraga pagi sejenak.
Moza nampak melirik sang mami lebih dulu meminta pertolongan karena ia tau membujuk Hamzah itu jauh lebih sulit dari membujuk Clara. Tapi Clara hanya mengedikkan bahu, menyerahkan segalanya pada nasib.
“Kenapa?” tanya Hamzah lagi, kali ini menatap satu per satu orang di ruangan itu.
Clara memberi isyarat lewat lirikan ke arah Moza. Hamzah langsung menangkap sinyal itu dan menoleh ke putri bungsunya.
"Adek kenapa?" Tanya Hamzah pada sang putri bungsu tidak lupa memberikan elusan di kepala sang putri dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Moza nyengir, melirik Mami sekali lagi, lalu memeluk pinggang Hamzah manja, juga memberi kecupan di pipi—jurus andalannya.
Hamzah yang paham betul kelakuan putri bungsunya lantas tersenyum "pasti ada maunya, ya? Adek mau apa?" Todong Hamzah langsung.
Moza lantas tersenyum manis tau saja papinya ini kalau Moza sedang mode manja begini pasti ada maunya. "Gini Pi..." Ia mengurai pelukannya beralih merangkul tangan Hamzah menuntun pria itu untuk duduk salah satu kursi yang terdapat di meja makan, dan Moza beralih memijat pundak Hamzah untuk memperlancar aksinya.
Melihat aksi sang putri yang mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk merayu sang papi, Clara hanya bisa geleng geleng kepala.
"Emm... Berhubung ini weekend... Dan seperti biasa Oza pingin ke car free day di bundaran HI... Tapi kan Aji lagi nggak ada... terus Mayor Marwan juga mau nganterin Papi..." Sejak tadi kepala Hamzah sudah manggut-manggut mendengar rentetan kalimat dari sang putri sambil menikmati roti lapis yang sudah tersedia di atas meja juga pijatan di kedua pundaknya.
"Jadi... boleh nggak Oza pergi sendiri hari ini?” Tidak lupa di akhiri dengan senyuman manis sebagai senjata terakhir andalannya meluluhkan sang papi.
Hamzah langsung menoleh kebelakang sedikit mendongak agar dapat melihat wajah putrinya "nggak boleh."
“Papiiii!” Moza langsung mengerucutkan bibir.
"Papi bilang nggak, ya nggak, Oza."
"Why, why can't it be? Di car free day itu rame banget. Siapa sih yang sempat gangguin aku?”
“Tetap nggak boleh. Di luar itu berbahaya.”
“Papi... Oza bisa jaga diri. Orang juga nggak ada yang tahu Oza ini anak siapa. Aku nggak pakai label Anak Jenderal Panglima TNI di jidat, kan?”
Hamzah tampak ragu.
"Oza bisa jaga diri Pi, beneran, deh, sumpah! Ya Pi ya, sekali ini aja, Oza cuma pengin ngerasain hidup bebas kayak dulu, sekali aja. Please...” Moza mengeluarkan jurus pamungkas: tatapan puppy eyes. Mata besar berair penuh harap yang sudah terbukti 100% efektif dalam meluluhkan hati Panglima TNI sekalipun.
Hamzah menghela nafas pelan, ia paham betul jika jabatannya malah lebih membuat putri bungsunya ini tak bebas. Tapi mau bagiamana itu resiko anak seorang petinggi, bahaya sudah pasti mengintai anaknya di luar sana. Tapi sekali ini saja dia tidak apa kan membebaskan Moza, ia tak mau putri kesayangannya ini juga jadi membencinya kelak. "Oke, tapi kamu harus hati-hati, ya," Putusnya.
“Yay!” Moza langsung memeluk Hamzah erat. “Siap, Pak Bos!” serunya, lalu memberi hormat dengan gaya militer.
Ia beralih menoleh, menatap sang mami yang berada di dapur untuk meminta pendapat lalu melihat sang mami mengangguk dan tersenyum padanya sontak membuat Moza melompat kegirangan.
“Oza pergi dulu!” Ia mencium pipi Hamzah kanan-kiri, lalu menghampiri Clara dan melakukan hal serupa.
"Nona, saya gak ikut di kecup juga, nih?" seloroh Marwan.
Kontan dapat pelototan tajam dari Hamzah.
Marwan lantas cengengesan "Siap salah, Pak. Saya cuma bercanda kok."
Yah, siapa juga yang berani serius minta dicium putri Panglima Jenderal? Mau dikubur hidup-hidup?
Oh ya, kalau kalian bertanya-tanya Julian, Fira, dan Sean di mana? Jawabannya masih molor. Weekend gitu loh. Tidur adalah segalanya.
ngk papa mbk chika ni adalah momen yang paling di sukai pasutri normal lahh😀😀
biasanya bergerak dlm senyap tiba" harus diapresiasikan lwt kata"
berasa nano nano
mkasih thor akhirnya pnantian berakhir manis🤭🤭🤭😊
kangen kak Chika eh salah kangen abri Moza deh wkwkwkwkkwkkk
lanjuuuuuutttt....