Kacang Ijo
Moza baru saja selesai mandi, berpakaian, memoles wajahnya dengan make up tipis agar terlihat lebih segar. Setelah selesai semua itu ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Cantiknya gak manusiawi.
Kata itulah yang pantas di sematkan oleh gadis bernama lengkap Moza reffilia Abraham yang memiliki wajah belasteran. Bayangkan saja wajah dari tiga negara di jadikan satu. Ia memiliki mata gadis khas Indonesia bulat cantik dengan bulu mata lentik, hidung bangir runcing khas gadis Turki, serta kulit seputih susu khas orang Chinese. Semua di borong, lebih-lebih bentuk tubuhnya yang memiliki tinggi 167 cm dan lekuk tubuh bakbgitar Spanyol semakin menyempurnakan penampilan gadis tersebut. Tak sedikit gadis yang iri melihat rupanya yang cukup sempurna untuk ukuran manusia.
Fyi aja ni ya, Moza memang punya ibu keturunan Tionghoa-Turki, sementara bapaknya orang pribumi lebih tepatnya orang Payakumbuh, Padang.
Moza melangkahkan kaki jenjangnya keluar kamar menuruni satu demi satu anak tangga menuju meja makan yang dimana seluruh keluarganya sudah duduk disana bersiap untuk sarapan. Rumah itu tampak megah dan juga mewah, wajar saja sang papi merupakan panglima jenderal besar negara ini.
"Pagi semua." sapanya begitu tiba di area meja makan yang tentunya seluruh keluarga sudah kumpul disana juga ada dua ajudan yang juga bergabung bersama.
"Pagi sayang." jawab Hamzah dan Clara–orangtua Moza secara bersamaan. Moza mengecup sebelah pipi papi dan juga maminya secara bergantian. Dan tentunya di balas kecupan manis juga oleh kedua orangtuanya di pipi gadis itu.
"Rapih banget mau kemana pi, mi?" Tanya Moza ketika melihat kedua orangtuanya mengenakan pakaian dinas lengkap begitu pun juga Marwan—ajudan papinya yang tak kalah rapih, keduanya memakai baju loreng khas TNI AD dengan baret mereka serta Clara dengan seragam persitnya.
"Dinas, menghadiri acara kenaikan pangkat. Oza mau Ikut?" Tanya Hamzah menawarkan siapa tau anak bungsu kesayangannya itu mau ikut bersama.
"Gak pi, banyak kerjaan." Jawab Moza, malas juga ikut kalau sang papi dinas yang sudah pasti berdiri Berjam jam kalau sudah acara seperti itu. Paling Moza akan ikut kalau ada cara besar, seperti menghadiri acara tujuhbelasan di istana negara atau kalau tidak pelantikan para perwira baru.
"Ya sudah."
"Pagi dek." sapa Julian dan Fira yang merupakan kakak dan juga ipar Moza.
"Pagi bang, kak." Balas Moza tersenyum pada keduanya mencium tangan keduanya dengan sopan. Julian juga nampak rapih dengan setelan kantorannya. Fyi, aja Julian tidak mengikuti jejak sang papi karena ia sudah merasakan sendiri hidup dengan didikan militer papinya itu bagaimana, walaupun dia anak cowok satu tidak ada toleransi dalam mendidik. Tetap saja kalau salah di suruh sikap taubat. Makannya ia memilih jadi pengusaha saja, ogah jadi abdi negara.
"Pagi bunda telsayang." sapa Sean—anak dari Julian dan juga Fira yang baru berusia 5 tahun.
"Pagi juga gantengnya bunda." Tak lupa Moza menyetor pipinya untuk di kecup sang ponakan ganteng, itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari karena kalau tidak Sean akan tantrum.
Cup!
Satu kecupan Sean mendarat di pipi kanan Moza. "Wuih, cantikna sayangna sean, calon bidadali sulga sean... Halum lagi." Puji Sean setelahnya.
Semua orang di sana hanya geleng-geleng kepala. Sean memang sangat mengangumi Tante cantiknya. Bocah lima tahun itu bahkan mengklaim kalau Moza itu pacarnya. Dan Sean berkata di masa depan dia akan menikahi Tante cantiknya itu.
Bocil aja tau mana barang bagus.
Moza terkekeh "Wuih, gantengnya. Pagi-pagi udah rapih banget yang mau ke sekolah." tak lupa ia juga memuji sang ponakan gantengnya ini lalu mengacak-acak rambutnya mengusili.
"Iish, bunda! Jangan di acak-acak dong lambut Sean. Nanti gantengna Sean ilang. Telus Bunda Ndak cinta lagi, trus bunda putusin Sean, terus Sean sakit hati, terus gimana dong Sean?" protes bocah 5 tahun itu sambil mengerucutkan bibirnya lucu.
Astaga! Kadang Moza bingung, ini anak dapat rumus kisah cinta dari mana sih? Perasaan di rumah ini gak ada yang begitu. Kecuali mayor Marwan sih. Moza menatap ajudan sang papi dengan sengit. Semantara Marwan yang di tatap begitu oleh Moza langsung gelagapan "bukan saya nona." benar bukan dia loh yang ngajari bocah Lima tahun itu begitu. Dia tidak tau apa apa.
Moza akhirnya beralih lagi pada Sean dan mencubit kedua pipi bocah itu."uluh.. Uluh... Sekalipun Sean jadi pangeran kodok juga bunda tetap cinta."
"Iiish, kok belubah jadi pangelan kodok sih? Ndak elit banget. Sean itu vely vely handsome dali apapun dan siapapun, Om Aji yang ganteng kayak oppa oppa kolea aja masih kalah jauh sama Sean. Dia punya nilai minus kalena punya tampang tampang maling. Sean paling ganteng gak ada kulangnya, undelstand? Om aji gak boleh protes!"
Pria bernama Aji yang juga salah satu ajudan itu mendongak menatap Sean yang duduk di sebelahnya dengan mata melotot, pinter menjatuhkan harga diri sekali cicak albino satu ini. Habis di buat melayang karena di bilang ganteng seperti oppa oppa Korea, terus di jatuhkan karena di bilang tampang mirip maling "Om ganteng loh Sean, masak di bilang mirip maling."
"Iya, Om memang ganteng, tapi sayang muka Om itu belubah jadi maling kalau lihat bidadalinya Sean." jawab Sean tak ada takutnya sedikit mendongak menatap Aji yang lumayan tinggi duduk di sebelahnya.
Mata orang orang disana sudah menatap Aji, lebih lebih Hamzah tatapannya sudah seperti akan menguliti dirinya, jika benar apa yang di katakan Sean Aji ingin menculik Putri tersayangnya maka siap siaplah Aji di kulit bahkan di gantung di tiang bendera yang ada di istana negara. Aji menelan salivanya susah payah.
"Dengel ya Om Aji yang milip... Siapa ma nama oppa Korea yang suka joget kuda lumping di depan TV itu." Sean beralih pada Fira sebelum menyelesaikan ucapannya pada Aji.
"Sehun." jawab Fira sudah menahan tawa melirik raut tertekan ajudan yang mengawal sang adik itu karena di tatap sang mertua begitu tajam.
"Nah, itu. Denger ya Om Aji yang milip soun, maaf maaf aja ya mending niat Om Aji itu segela di tenggelamkan aja langsung ke inti bumi kalena Om Aji Ndak ada kesempatan buat culik bidadali sulga Sean dalam bentuk bunda Moza. Bunda Moza itu udah punya segel dan hak paten yang hanya punya Sean bellogo dan terseltifikat dali MUI jadi Om Aji jangan coba coba buat maling punya Sean paham!" tidak lupa ia mengacungkan jempolnya di depan wajah Aji.
Dan itu membuat orang orang yang ada di meja tersebut tak tahan untuk tidak tertawa mendengar perkataan bocah berusia lima tahun yang sudah dewasa sebelum waktunya. Aji yang di ceramah demikian pun bukannya marah ia malah ikut terkekeh karena ucapan sok bijak dan dewasa dari bibir Sean, ia sesekali melirik Hamzah takut di telan hidup hidup oleh panglima jenderal satu itu.
Aji mengusap kepala bocah Lima tahun itu yang tengah menatapnya dengan tatapan permusuhan. "Jangan sentuh sentuh Sean Om, nanti penyakit kurap Om nulal." kali ini tawa Marwan paling kencang sangking tak tahannya. Memang sejak beberapa bulan lalu Aji menginjakkan kaki di rumah keluarga Abraham dan mendapat tugas untuk menjaga Moza, bocah Lima tahun ini sudah mengibarkan bendera perang pada dirinya. Aji tidak tau apa maksudnya apakah bocah ini tau kalau Aji memiliki rasa pada nona rumah ini? Tapi ya masak iya, bocah sekecil Sean bisa mengerti perasaannya? Hebat betul tuyul satu ini.
"Udah udah Sean, gak boleh begitu ke Om Aji harus sopan." akhirnya Julian menengahi, memperingati sang putra untuk berlaku sopan pada ajudan sang adik itu.
"Minta maaf sama Om nya." titah Fira juga, ia tak ingin anaknya menjadi kurang ajar pada orang yang lebih tua.
Sean melirik tak suka pada Aji, namun tetap saja mulutnya meminta maaf "maafin Sean Om."
Aji hanya terkekeh "iya, Om maafin."
Moza ikut tersenyum melihat interaksi keduanya "Pagi Lettu Aji, pagi mayor Marwan." sapa Moza pada akhirnya ke dua ajudan itu seperti biasa.
"Pagi nona." balas kedua ajudan itu pada Moza. Wajah Aji makin cerah dengan senyum yang begitu lebar dan detak jantung yang mulai tak tau diri hanya karena di sapa oleh nona cantiknya, wajar diam diam ia mendamba si nona cantiknya sejak lama. Aji tak seperti Marwan berpenampilan rapih saat mengawal, lihat saja ia berpakaian begitu santai tidak ada embel embel baju loreng serta baret di kepala karena Moza yang memerintahkan untuk berpakaian biasa saja seperti itu, dia tidak ingin menjadi pusat perhatian saat berada di luar.
"Mulai makan. Sudah siang." titah Hamzah, ia mulai menyantap sarapan paginya yang tadi sudah di siapkan sang istri dengan lahap.
"Selamat pagi pak, buk. Tadi ada kurir ngantar ini lagi untuk mbak Moza." tiba-tiba pak satpam masuk membopong beberapa buket bunga yang lumayan penuh di tangannya bahkan wajah satpam tersebut sampai ikut tertutup Buket bunga sangking banyaknya, lengan kanan kiri juga penuh denga buket berbentuk keranjang. Aksi makan seluruh keluarga itu langsung terhenti menoleh ke arah pak satpam yang wajahnya sudah tak terlihat.
"Lama-lama bisa buka toko bunga mendadak ini rumah kalau tiap hari begini." keluh Julian, karena sudah enam bulan terakhir ini kediaman keluarga Abraham selalu saja mendapati kiriman bunga, lebih tepatnya setelah Moza membuka studio foto.
"Gak toko lagi bang tapi udah kebonnya mah ini." sahut Clara seraya terkekeh. "Susun di sana aja pak." tunjuk Clara di sudut ruangan dekat dapur.
"Terimakasih pak." Moza mengucapkan terimakasih ketika pak satpam berhasil meletakkan semua buket bunga itu di sana. Moza melirik sang papi yang acuh tak acuh malah lanjut menikmati Sarapan paginya. Agak gereget si Moza sama Hamzah karena tak ada satupun dari para pria itu yang di izinkan Hamzah untuk mendekatinya, bahkan pria lain di luar sana yang berniat mendekatinya saja sudah lebih dulu di depak oleh Hamzah untuk segera get out menjauh dari sang putri. Moza juga ingin segera menikah loh, kalau kelakuan papinya begitu mana ada yang mau meminangnya.
Paham akan tatapan sang adik Julian angkat suara "Papi itu mau cari laki-laki modelan gimana si Pi buat jadi mantu? Tiap hari macem-macem orang anter bunga ke rumah, yang ada nanti jadi kebun bunga ini rumah kita gara-gara papi gak izini oza untuk terima salah satu dari mereka. Kalau sudah begini mau di kemanakan lagi itu bunga-bunganya? Gak ada niatan mau Nerima salah satu di antara mereka buat jadi mantu pi?" Tanya Julian, Hamzah melirik Sang adik yang kini tengah menunduk dalam merenungi hidupnya yang tak tau kapan mendapatkan jodoh.
Moza sampai detik ini masih jadi anak perawan yang tidak tersentuh barang secuilpun oleh para pejantan di luar sana itu akibat papinya yang terlalu menjaganya Moza bak tuan putri, lebih tepatnya sih putri putrinya, karena Hamzah memiliki dua anak perempuan yang satu kembaran Julian, sudah menikah juga, namanya Berlian.
Jangan tanya Dwika–suami Berlian saat itu sampai berjuang segimananya demi mendapatkan restu si bapak jenderal satu ini. Sudah pasti jungkir balik dan seleksi calon mantu ala ala milter pun terjadi saat itu, untungnya Dwika memang anggota militer juga, bahkan ia dari satuan kopassus jadi ya masih bisa di lewati pria itu segala tantangan ala ala militer si bapak jenderal satu ini. Dan setelah menyebrangi lautan, mendaki gunung, terjun dari ketinggian 20.000 kaki dan menjelajahi lembah. Barulah Dwika lulus menjadi mantu idaman. Beh, gak kaleng kaleng memang bapak satu ini dalam hal menyeleksi calon mantu. Kalau kata Hamzah mah, supaya anak gadisnya mendapatkan suami yang tepat, cinta saja tidak cukup, kalau tak mampu menjaga putri putri tercintanya.
Tapi sangat berbeda dengan Julian dulu sewaktu akan berniat menikahi Fira yang saat itu masih jadi kekasihnya. Jujur, saat pertama kali mengatakan pada Hamzah bahwa Julian ada keinginan untuk meminang Fira, ia sudah ketar ketir duluan. Kalau akan melewati hal yang sama dengan apa yang kembarannya rasakan. Namun ternyata ia salah. Malah Hamzah menyarankan untuk mempercepat pernikahan tanpa ada ajang seleksi calon mantu lebih dulu, Hamzah juga berkata seperti ini "papi percaya sama pilihanmu."
Julian berasa lagi menang undian dong. Ia Buru buru menikahi Fira si guru TK untuk di jadikan istri. Takut si bapak berubah pikiran. Tau, jarak dua Minggu setalah mengatakan itu ia langsung menikahi Fira tanpa ada ajang lamar melamar langsung akad dan resepsi. Menikah mendadak udah kayak buntingi anak orang.
Di tanya seperti itu Hamzah mengangkat kepalanya menatap Julian lalu menggeleng "dari mereka semua gak ada yang cocok di jadiin calon mantu." Bukan dia tidak tau bagaimana bentukan pria yang saban hari mengirimi buket-buket bunga untuk Moza. Dari yang playboy sampai yang play store ada, dari yang ngacengan sampai yang gak punya burung pun ada.
Yang seperti itu mau di jadikan menantunya. Sorry ye, gak masuk rekap jadi calon mantu bapak jenderal. Minimal seperti Dwika lah yang di sikat habis pantang mundur sekalipun di suruh terjun ke kurang. Nah, yang begitu yang Hamzah cari, yang tak takut dengan apapun.
"Tapi gak boleh gitu loh pi, kasian ozanya gak ada yang berani deketin. Backingan nya serem." Clara agak khawatir akan putrinya kali ini, bukan bagiamana umurnya sudah 27 tahun loh. Udah Mateng matengnya buat berumah tangga, tapi si bapak jenderal satu ini terlalu overprotektif sama anak gadisnya.
Hamzah mendengus lalu terkekeh remeh "gak ada yang berani dekati? Lah bunga bunga itu apa? Nyasar kesini?" tanyanya sinis, tapi masih tetap lanjut makan.
Clara memutar bola matanya malas "tapi bukan gitu maksud mami–"
"Sst! Gak boleh protes. Suatu saat nanti pasti ada pria yang tepat untuk oza. Toh, papi juga masih mampu membiayai kehidupannya. Mami tenang aja. Lebih baik mami lanjut makan, sudah siang. Kita harus cepat." Final Hamzah, yang akhirnya membuat Clara mau tak mau diam.
Julian melirik sang mami memberi isyarat untuk maminya lebih baik menutup mulut dan dengarkan sang papi saja. Solanya Hamzah itu paling tidak bisa di ajak berkompromi kalau menyangkut anak anak gadisnya.
Sementara Aji di kursinya terus menerus berdoa agar jenderal besarnya itu tak menerima lamaran satu pun pria sampai ia memiliki keberanian untuk meminang si nona cantiknya ini. Iya, Aji juga sedang mengumpulkan keberanian untuk itu, untuk meminang Moza. Tapi karena bapaknya auranya mencekam sekali Aji agak takut. Bisa bisa di kuliti tanpa persiapan dia kalau tiba-tiba berkata ingin meminang Moza.
Acara sarapan pun pagi selesai, semuanya pergi ke rutinitasnya masing-masing. Seperti Hamzah dan Clara yang langsung pergi ke acara kedinasan bersama dengan ajudan mereka. Julian pergi ke perusahaan tapi lebih dulu mengantar Sean kesekolah. Moza yang pergi ke studio di antar oleh Aji tentunya, karena ia pemilik studio foto. Semantara Fira dirumah karena dia sudah tak lagi mengajar sebagai seorang guru TK semenjak menikah dengan Julian karena memang mertuanya tidak mengizinkannya untuk bekerja lagi. Tau sendirilah Fira itu menantu perempuan satu satunya di keluarga Abraham, menjadikannya menantu kesayangan dan tidak di perbolehkan membanting tulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
DozkyCrazy
wah kecil kecil dah pinter gombal ya dee
2024-11-13
1
DozkyCrazy
wkwkwk kuda lumping
2024-11-13
1
💗 AR Althafunisa 💗
Alhamdulillah... dah mulai baca lagi cerita Abang Abri 🥰🥰🥰
2024-08-28
1