Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: PENGHADANG BAYANGAN
Suasana dalam ruang bawah tanah itu berubah menjadi semakin suram. Udara berat, seolah mencekik, membuat mereka semua kesulitan bernapas. Bayangan-bayangan yang membentuk orang-orang tercinta mereka semakin nyata, mendekat dengan langkah perlahan. Bisikan-bisikan penuh kebohongan memenuhi ruangan, berusaha menanamkan keraguan di hati setiap orang.
"Raka, aku kedinginan... kenapa kau meninggalkanku?" Suara lembut itu datang dari bayangan adik Raka. Tubuh kecilnya menggigil, seolah mencari perlindungan. Mata penuh kepedihan itu membuat hati Raka tersayat, tetapi ia tahu, ini bukan nyata.
"Kau bukan dia!" teriak Raka, suaranya bergema di ruangan. Ia menggenggam pedangnya erat-erat, berusaha mengabaikan bayangan yang mendekat. "Aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini!"
Namun, ujian itu jauh lebih sulit bagi Ilya. Bayangan ibunya tampak begitu nyata—dengan wajah lembut yang penuh kasih. "Pulanglah, Nak. Tidak ada gunanya melawan ini. Kau terlalu lemah."
"Tidak... ini tidak benar..." bisik Ilya, air mata mengalir di pipinya. Batu kecil di tangannya mulai meredup, seolah merespons kelemahan hatinya.
Pria tua itu, meski gemetar, tetap berdiri teguh. "Ini ilusi! Jangan biarkan mereka masuk ke pikiranmu!" katanya dengan suara lantang. Ia mulai membaca mantra, menciptakan lingkaran cahaya di sekitar mereka untuk melindungi dari pengaruh bayangan.
Namun, wanita bergaun hitam itu hanya tersenyum sinis. "Mantramu hanya akan memperlambat mereka. Pada akhirnya, semua jiwa kalian akan menjadi milik kami."
---
Tiba-tiba, suara gemuruh mengguncang ruangan. Tanah di bawah mereka mulai retak, dan dari celah-celah itu muncul cairan hitam yang mengalir seperti darah. Cairan itu bergerak dengan sendirinya, membentuk sosok-sosok baru yang jauh lebih menyeramkan daripada bayangan sebelumnya.
"Kita tidak bisa bertahan di sini lebih lama!" teriak wanita penjaga, matanya melirik ke pria tua. "Apa pun rencanamu, lakukan sekarang!"
Pria tua itu mengangguk, tetapi raut wajahnya penuh keraguan. "Mantra ini hanya bisa mengusir mereka sementara. Kita butuh sesuatu yang lebih kuat untuk menghancurkan inti kegelapan ini!"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lando, mengayunkan tombaknya untuk menghalau makhluk-makhluk cair yang semakin mendekat.
Pria tua itu menatap batu kecil di tangan Ilya. "Itu adalah kuncinya. Tapi energi dari batu itu tidak cukup untuk kita semua. Seseorang harus mengorbankan dirinya untuk mengaktifkan kekuatannya sepenuhnya."
Semua orang terdiam, menyadari arti dari kata-kata itu. Mata mereka beralih pada Ilya, yang masih memegang batu tersebut.
"Aku akan melakukannya," kata Ilya akhirnya, suaranya gemetar tetapi penuh ketegasan.
"Tidak! Kita pasti bisa menemukan cara lain!" sergah Raka, menatap Ilya dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini."
"Tidak ada waktu untuk berdebat," balas Ilya. "Jika aku tidak melakukannya, kita semua akan mati. Dunia di luar akan tenggelam dalam kegelapan."
---
Sementara mereka berdebat, wanita bergaun hitam itu mulai mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan besar di atas mereka. Pusaran itu tampak seperti lubang hitam kecil yang perlahan menyerap cahaya di ruangan itu.
"Kalian tidak punya waktu," katanya dengan suara dingin. "Tunduklah, atau hancur dalam kekosongan."
Raka menatap ke arah pusaran itu, kemudian ke arah Ilya. Hatinya berkecamuk—ia tidak ingin kehilangan siapa pun lagi. Namun, pandangan di mata Ilya memberitahunya bahwa keputusan itu sudah bulat.
"Jika kau ingin melakukannya, setidaknya biarkan aku membantumu," kata Raka akhirnya, suaranya serak.
Ilya tersenyum samar, meskipun air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih, Raka. Aku harap kau bisa menyelesaikan ini setelah aku pergi."
Mereka semua berkumpul di tengah lingkaran cahaya yang dibuat oleh pria tua itu. Ilya menggenggam batu tersebut dengan erat, memejamkan matanya sambil mengucapkan doa dalam hati.
"Aku siap."
---
Ketika Ilya mulai mengaktifkan batu itu, tubuhnya memancarkan cahaya yang menyilaukan. Batu kecil itu berubah menjadi bola energi besar yang menyerap kekuatan dari sekitarnya—termasuk dari Ilya sendiri. Cahaya itu membakar bayangan-bayangan di ruangan, memaksa wanita bergaun hitam itu mundur beberapa langkah.
"Tidak! Ini tidak mungkin!" wanita itu berteriak, wajahnya berubah menjadi marah. "Kau tidak akan berhasil!"
Namun, Ilya tidak berhenti. Cahaya dari tubuhnya semakin terang, hingga akhirnya ia lenyap sepenuhnya—bersama dengan batu tersebut. Ledakan energi besar mengguncang ruangan, menghancurkan semua makhluk dan bayangan di sekitarnya.
Namun, ketika semuanya reda, mereka yang tersisa berdiri di tengah kehancuran total. Ilya tidak ada lagi.
"Dia benar-benar... pergi," bisik wanita penjaga, matanya dipenuhi air mata.
Raka jatuh berlutut, tangannya mengepal. "Ini belum selesai. Kita harus menyelesaikan ini... demi dia."
---
Meskipun kehilangan Ilya, mereka tidak menyerah. Di depan mereka, dinding terakhir ruang bawah tanah itu mulai retak, memperlihatkan jalan menuju inti kegelapan. Wanita bergaun hitam itu telah lenyap, tetapi mereka tahu ancaman yang lebih besar menunggu di sana.
"Ini adalah langkah terakhir kita," kata pria tua itu, suaranya penuh kepastian. "Semua yang telah kita lalui mengarah ke sini. Tapi kita harus siap mengorbankan segalanya."
Mereka bertiga—Raka, Lando, dan wanita penjaga—melangkah maju, meninggalkan ruang ritual di belakang mereka. Kegelapan di depan tampak lebih pekat, tetapi semangat mereka tidak lagi bisa digoyahkan.
Di ujung lorong itu, sebuah pintu besar menanti. Dari celahnya, cahaya merah berkilauan, memancarkan kekuatan yang tampaknya mampu menghancurkan segalanya.
"Ayo," kata Raka dengan suara penuh tekad. "Ini adalah akhir dari semuanya."
---