Bukan bacaan untuk bocil.
Setiap manusia terlahir sebagai pemeran utama dalam hidupnya.
Namun tidak dengan seorang gadis cantik bernama Vania Sarasvati. Sejak kecil ia selalu hidup dalam bayang-bayang sang kakak.
"Lihat kakakmu, dia bisa kuliah di universitas ternama dan mendapatkan beasiswa. kau harus bisa seperti dia!"
"Contoh kakakmu, dia memiliki suami tampan, kaya dan berasal keluarga ternama. kau tidak boleh kalah darinya!"
Vania terbiasa menirukan apa yang sang kakak lakukan. Hingga dalam urusan asmarapun Vania jatuh cinta pada mantan kekasih kakaknya sendiri.
Akankah Vania menemukan jati diri dalam hidupnya? Atau ia akan menjadi bayangan sang kakak selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
"Senang bisa bekerja sama dengan anda tuan. Semoga dengan terjalinnya kerjasama ini, perusahaan kita akan menjadi semakin berjaya di mata dunia." Ucap Betrand Sembari menjabat tangan tuan Miller.
"Ini berkat nona Vania tuan Betrand." Tuan Miller menatap ke arah wanita cantik di hadapannya.
"Nona Vania sangat berbakat dalam meyakinkan sesorang, membuat saya tidak merasa ragu lagi untuk meneruskan kerja sama ini." Pujian dari tuan Miller membuat pipi Vania berona merah.
"Terima kasih tuan." Ucap wanita cantik itu sembari menundukan kepalanya.
"Anda benar sekali tuan, nona Vania memang pandai dalam meyakinkan dan mencuri hati seseorang. Termasuk hatiku ini yang telah lama dicuri olehnya." Roy menimpali perkataan tuan Miller sembari tertawa, karna sedari tadi Betrand hanya diam membisu dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.
"Ya anda benar tuan Roy. Seandainya aku punya anak laki-laki yang sudah dewasa, pasti akan aku jodohkan dengan nona Vania. Sayangnya anak laki-laki tertuaku baru berusia 15 tahun sekarang." Ucap Tuan Miller sembari tertawa renyah.
"Apa anda mau jadi istri keduaku saja nona Vania?" Tanya tuan Miller dengan maksud untuk bercanda. Karna yang sesungguhnya tuan Miller tidak mungkin mengkhianati istrinya, karna semua harta kekayaan dan aset milik pria 40 tahunan itu atas nama istrinya.
Candaan tuan Miller membuat Roy dan Vania tertawa renyah, kecuali Betrand yang masih memasang wajah datarnya.
"Ha..ha...anda berani sekali tuan? Bagaimana kalau istri anda mendengarnya?" Cicit Roy sembari tertawa renyah.
"Tentu saja aku tidak berani tuan Roy." Balas tuan Miller sembari tertawa pula.
"Ehem. Apa anda yakin tidak akan ikut makan siang bersama kami tuan?" Tanya Betrand masih dengan wajah datarnya. Betrand mengatakan semua itu agar tuan Miller segera pergi dan berhenti berbicara omong kosong tentang Vania.
Pertanyaan Betrand membuat tuan Miller yang semula asik bersenda gurau dengan Roy dan Vania jadi teringat kembali dengan kesibukannya.
"Maaf tuan Betrand, sepertinya saya tidak bisa ikut makan siang dengan kalian. Karna siang ini juga saya harus pulang kembali ke Malaysia." Ucap tuan Miller dengan wajah penuh rasa sesal.
Sebenarnya tuan Miller ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Roy dan Vania yang menurutnya menyenangkan, tapi apalah daya karna kesibukannya menghalangi keinginan pria itu.
Setelah berpamitan dengan Betrand, Vania, dan juga Roy. Akhirnya pria berwajah oriental itu pergi meninggalkan cafe elegance.
Dengan perginya tuan Miller maka berakhirlah meeting kali ini, dengan keputusan akhir berupa kerja sama antar 2 perusahaan besar di asia tenggara.
"Cepat habiskan makan siangmu, setelah itu ikut aku ke kantor!" Titah Betrand sembari menatap tajam pada Vania.
"Tidak mau! Seharusnya aku sedang cuti hari ini. Tapi tuan malah menarikku ke meja meeting ini." Protes Wanita bermata coklat itu sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kau!" Betrand menunjuk Vania yang sedang menatap intens ke arahnya.
"Berani kau menolak perintahku?!" Pekik Betrand dengan rahangnya yang mengeras.
Pria itu masih tak percaya jika Vania berani menolak perintahnya, karna selama ini wanita itu sangat penurut kepadanya. Bahkan Vania sampai rela tidak menghadiri acara ulang tahun keponakan kembarnya hanya demi menemani Betrand dinas ke luar kota.
"Tentu saja aku berani." Balas Vania, untuk pertama kali dalam hidupnya wanita itu berani menolak perintah pria yang dicintainya.
Namun keberanian Vania tidak berlangsung lama, karna 30 menit kemudian dia sudah berada di kantor Giant Group, lebih tepatnya lagi di dalam ruang kerja sang presdir.
"Duduklah! Kenapa kau hanya diam?" Titah Betrand saat melihat sang sekretaris hanya berdiri mematung sembari menatap lekat ke arah sofa di ruang kerja sang presdir yang telah berubah warna dan bentuknya.
"K-kenapa anda mengganti sofa anda dengan yang baru?" Tanya Vania dengan wajah sendunya. Karna di sofa lama itulah Vania kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.
"Ck. Pertanyaan macam apa itu?" Betrand balik bertanya sembari mengerutkan dahinya.
"Lagipula sejak kapan kau peduli aku mengganti sofanya atau tidak?" Lanjut Betrand lagi. Pasalnya ini sudah yang ke 3 kalinya Betrand mengganti sofa di ruang kerjanya tahun ini, tapi kenapa Vania baru protes sekarang?.
Dan tatapan mata itu? Betrand melihat ada yang berbeda dari cara Vania menatapnya. Jika sebelumnya Vania selalu menatap dirinya dengan tatapan penuh cinta tapi tidak dengan hari ini.
Mata Vania terlihat sendu dan wanita yang selalu terlihat ceria itu menjadi lebih pendiam.
"Hey, apa kau sakit?" Tanya Betrand sembari menangkup wajah Vania yang kini sudah duduk di sebelahnya.
Deg!
Sentuhan Betrand membuat darah Vania berdesir hebat, Vania kembali teringat dengan malam panas yang mereka lalui semalam.
"Kau tidak demam, tapi wajahmu terlihat pucat." Ucap Betrand sembari menatap lekat wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
"Bukannya sudah aku bilang kalau aku sedang tidak enak badan, tapi tuan masih saja memaksaku untuk bekerja." Ucap Vania sembari menepis tangan Betrand dari wajahnya.
"Apa tuan?" Heran Bertand sembari mengerutkan dahinya, karna biasanya Vania akan memanggil dirinya dengan sebutan kakak jika mereka sedang berdua saja.
"Sepertinya kau memang sedang sakit, pulanglah! Satu jam lagi aku juga harus pergi untuk meninjau proyek baru kita di lapangan." Titah Betrand.
"Baiklah." Balas Vania dengan wajah datarnya.
"Aneh? Biasanya dia akan protes jika aku menyuruhnya pulang lebih cepat. Setelah itu dia akan mengikuti kemanapun aku pergi seharian." Gumam Betrand dalam hatinya.
"Tunggu Vania!" Vania yang semula akan keluar dari ruangan sang presdir jadi mengurungkan niatnya karna mendengar panggilan dari pria yang di cintainya.
"Ada apa kak? Apa kakak sudah mengingat kejadian semalam dan akan bertanggung jawab untuk menikahiku." Ucap Vania tapi hanya ia ucapkan di dalam hati saja.
"Ada apa tuan?" Tanya Vania akhirnya.
"Apa, tuan lagi? Ada apa sebenarnya denganmu Vania? Apa kau marah padaku?" Tanya Betrand, ia sungguh tidak terbiasa dengan panggilan tuan dari Vania saat mereka hanya berdua seperti sekarang. Namun gadis itu hanya diam sembari menundukan kepalanya.
"Ini, ambilah Hpmu." Ucap Betrand setelah menghela napas atas sikap diam Vania. Betrand menyerahkan ponsel yang sejak pagi ia simpan di saku celananya pada sang pemilik.
"Sejak tadi Hpmu tidak berhenti bergetar, jadi aku mematikannya saja." Lanjut Betrand lagi.
"Kenapa Hp milikku ada pada anda tuan?" Tanya Vania.
"Kau meninggalkannya di meja kerjamu, jadi aku menyimpannya agar tidak hilang." Jawab Betrand apa adanya.
"Kenapa ponselmu tertinggal di meja kerjamu Vania? Bukannya kemarin kau izin pulang lebih awal. Dan aku tidak melihat ada ponsel ini ada di meja kerjamu kemarin malam." Tanya Betrand.
Setelah Vania pulang, Betrand sempat pergi ke meja sang sekretaris untuk mengambil beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani hari itu. Tapi Betrand tak menemukan ada ponsel Vania di sana.
"Apa anda benar-benar tidak mengingat kejadian semalam tuan?" Tanya Vania dengan wajah sendunya.
Bersambung.