⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercumbu di perjalanan pulang
Studio AoTV
Studio AoTV tampak mewah dan berkilau. Lampu sorot menggantung dari langit-langit, menyoroti pria berjas gelap yang duduk dengan tenang di kursi tengah. Anna berdiri di samping ruangan, menjaga jarak, matanya fokus pada layar tablet yang menampilkan rundown jadwal hari ini.
Acara pun di mulai....
“Mr. Jonathan Vanderlicht,” ucap pembawa acara dengan suara yang begitu dilatih dan manis, “CEO dari Amstel Core Group, pria di balik kejayaan bisnis teknologi dan investasi lintas Eropa. Kami merasa sangat terhormat Anda bisa hadir.”
Jonathan hanya mengangguk tipis. “Terima kasih.”
Wawancara berjalan seperti yang Anna duga—pertanyaan soal keberhasilan, strategi kepemimpinan, krisis yang berhasil diatasi, hingga pandangan Jonathan terhadap masa depan dunia bisnis. Anna mencatat beberapa hal penting, walau sebagian besar jawabannya sudah seperti yang tertulis di laporan tahunan perusahaan.
Namun suasana berubah saat pembawa acara meletakkan kartunya, lalu menatap Jonathan dengan senyum penuh rasa ingin tahu.
“Sebagai penutup Mr.Jonathan. Dan ini pertanyaan yang pasti ditunggu-tunggu oleh penonton wanita kami...”
Anna mengangkat kepala secara refleks menatap kearah Jonathan, mata mereka sempat bertemu beberapa detik, sampai Anna kembali memalingkan arah tahapannya.
“Di usia Anda yang ke-39, Mr. Jonathan... apakah Anda memiliki rencana menikah dalam waktu dekat?”
Hening.
Jonathan menatap lurus ke depan. Suaranya datar saat akhirnya menjawab, “Tidak semua orang ditakdirkan untuk memiliki rumah yang utuh. Beberapa dari kita hanya diciptakan untuk bekerja, bukan untuk dicintai.”
Anna menahan napas. Jawaban itu begitu... dingin. Jauh lebih dingin dari semua briefing yang pernah ia baca tentang pria itu.
"Anna... sebenarnya orang seperti apa boss mu ini." Anna bertanya dalam hati kecilnya.
....
Acara berikutnya berlangsung di pusat kota. Sebuah peluncuran kegiatan sosial yang menggandeng Amstel Core Group sebagai sponsor utama. Jonathan datang tepat waktu, berjalan masuk dengan langkah tegap dan wajah tanpa ekspresi. Ia disambut dengan sambutan hangat dari walikota dan beberapa tokoh masyarakat.
Anna mengikuti dari belakang, mencatat siapa saja yang sempat berbicara dengan bosnya, memastikan jadwal tetap sesuai rencana. Tentu saja Anna tidak sendiri tanpa di ketahui banyak orang dari beberapa sudut, bodyguard Jonathan sudah turun, memastikan keadaan disekitar boss mereka aman.
Dan di tengah keramaian, muncullah sosok yang tidak asing di dunia sosialita—Hellen De Vries, wanita tinggi dengan rambut pirang tergerai dan gaun merah menyala yang nyaris memaksa semua mata untuk melihatnya.
Dia menghampiri Jonathan seperti angin yang tahu ke mana harus berhembus. Menggantungkan tangan di lengannya, tertawa kecil, lalu berbicara pelan di dekat telinga pria itu.
Anna tidak tahu kenapa dia memperhatikan mereka terlalu lama.
Ia memalingkan wajah dan kembali fokus pada catatannya.
Pukul 20.00 malam, Anna mengantar Jonathan dan Hellen ke restoran Luna by the Canal. Restoran bintang lima yang berada tepat di tepi kanal Amsterdam. Tempat itu penuh cahaya lembut dan suara gesekan biola di latar belakang.
“Pesanan untuk dua orang sudah disiapkan atas nama Anda, Mr. Jonathan,” ucap Anna sambil menyerahkan catatan reservasi.
“Baik. Pulanglah.” Suara pria itu pendek.
Anna mengangguk dan berbalik, namun baru beberapa langkah ia menjauh, ponselnya bergetar.
Mr. Jonathan:
“Jangan pulang. Tunggu di sekitar restoran. Aku akan menghubungimu nanti.”
"Tapi di luar ada supir...!"
(Jonathan memotong ucapan Anna)
"Nona Anna bukankah kau adalah asisten ku!."
Anna sempat tertegun, tapi akhirnya memilih duduk di dalam mobil Jonathan yang diparkir tak jauh dari restoran. Ia menunggu. Dan menunggu. Jam di dashboard menunjukkan pukul 22.37 saat panggilan itu akhirnya masuk.
“Antar aku pulang,” ucap Jonathan, suaranya berat dan lamban. “Sekarang.” Titahnya lagi.
Parkiran belakang restoran itu remang dan sepi. Anna membuka pintu belakang mobil. Jonathan masuk lebih dulu... diikuti Hellen. Aroma alkohol langsung menyeruak ke udara.
“Saya akan duduk di depan,” ucap Anna cepat.
“Tidak,” potong Jonathan. “Duduk di belakang. Kau asistenku, bukan supir.”
Anna terdiam, lalu mematuhi. Ia masuk dan duduk di sebelah mereka. Ruangan sempit, udara hangat, dan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Mobil mulai melaju pelan. Hanya suara mesin dan denting angin luar yang menemani... hingga suara Hellen memecahnya.
“Sayang... kau terlalu tegang,” bisiknya. Lalu bibirnya menyentuh pipi Jonathan.
Anna langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Suara kecupan, lalu cengkeraman kecil di jas, lalu napas. Tubuh mereka mulai bergerak.
Hellen mendesah pelan, duduk di pangkuan Jonathan, tubuhnya melingkari pria itu tanpa malu sedikit pun. Anna menahan napas, matanya menatap gelapnya kaca luar. Yang sesekali memantulkan bayangan pasangan yang sedang bercumbu itu. Tangannya mengepal di pangkuannya.
Jonathan tidak berkata apa pun. Ia hanya menerima perlakuan Hellen—dingin, pasif, namun tidak menolak.
Anna ingin berkata untuk berhenti dan turukan saja ia di sini. Tapi bagaimana cara melakukannya.
Ia bukan siapa-siapa.
Sesampainya di apartemen Jonathan, Anna membantu membukakan pintu mobil. Jonathan setengah mabuk, perlahan-lahan mulai sadar.
“Terima kasih, Nona Magie,” ucap Hellen ringan, meliriknya penuh kemenangan.
Jonathan mencegah Hellen turun dari mobilnya.
"Pulang lah. Aku tidak menerima siapapun di apartemenku." Ujar Jonathan dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Tapi..."
"Supirku akan mengantarmu. Aku sudah mengirim bagian mu. Terima kasih nona Hellen."
Jonathan menutup pintu mobil nya tanpa memberi Hellen kesempatan untuk berbicara.
"Dan kau nona Anna. Kau boleh pulang sekarang !."
Anna hanya membungkuk kecil.
Tanpa suara. Tanpa emosi.
Lalu kemudian pergi.