NovelToon NovelToon
Dibayar Oleh CEO Kejam

Dibayar Oleh CEO Kejam

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:264
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Keesokan harinya Velove terbangun di atas ranjang yang sama dengan Dimas karena memang semalam lelaki itu yang menyuruhnya untuk tidur di sana.

Velove juga seperti memiliki kebiasaan baru karena tinggal di apartemen Dimas, yaitu tubuh bagian atasnya yang tidak memakai apapun selain ditutupi selimut karena keinginan sang atasan.

Lelaki itu meminta agar Velove tidak usah memakai pakaian atasannya agar lelaki itu bisa lebih mudah jika ingin menghisap puncak dadanya pada malam hari dan tentu saja Velove hanya bisa pasrah dengan permintaan yang diinginkan oleh lelaki itu.

Soal uang 500 juta, semalam atasannya itu sudah memberikannya, tapi Velove belum sempat mentransfernya pada sang adik karena semalam dia sudah terlalu ngantuk. Perempuan itu kemudian segera beranjak dengan perlahan dari atas kasur setelah memakai kembali bajunya yang semalam dilepas oleh Dimas.

Perempuan itu kemudian mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja nakas, lalu Velove membuka aplikasi mbankingnya karena dia akan segera mentransfer uang yang dia dapatkan dari Dimas pada adiknya yaitu Zea agar sang Ibu bisa segera melakukan tindakan operasi seperti yang disarankan oleh dokter.

Setelah menerima notifikasi transfer berhasil, perempuan itu segera mencari nomor sang adik untuk memberitahunya jika dia sudah mentransfer uang untuk biaya operasi sang Ibu di kampung. Pada panggilan pertama langsung diangkat oleh sang adik yang berada di seberang sana.

“Halo, kak?” Terdengar suara sapaan dari sang adik dari seberang sana.

“Ze, kakak udah transfer uangnya. Kamu langsung urus administrasinya ya, secepat mungkin Ibu harus cepet dikasih tindakan operasi.” Balas Velove.

“Ka—kak, uang sebanyak ini kakak dapet dari mana?”

Mendengar pertanyaan sang adik dari seberang sana membuat Velove bingung harus menjawab apa. Mungkin kebanyakan orang juga akan merasa curiga jika ada yang bisa mendapatkan uang sebanyak itu dengan waktu yang singkat, apalagi Velove bukan seseorang dengan penghasilan yang besar.

Lalu kemudian perempuan itu terdiam sejenak untuk memikirkan alasan yang cocok untuk dia berikan pada adiknya yang berada di seberang sana.

“Eum… itu kakak dapet pinjem dari temen dulu.” Dalam hari Velove banyak berharap semoga adiknya itu percaya dengan apa yang dia ucapkan.

“Ohhh gitu, baik ya temen kakak.”

“I—iya untungnya dia lagi ada uang.” Dengan napas yang seakan tercekat, perempuan itu kembali berbicara. “Eum kalo gitu teleponnya kakak tutup dulu ya? Kakak harus siap-siap berangkat ke kantor, tolong nanti kamu kabarin kakak lagi soal Ibu.”

“Iya, nanti aku kabarin kakak secepetnya dan semoga aja operasi Ibu bisa langsung dilakuin hari ini.”

Setelah itu panggilan kakak adik itu berakhir, Velove kemudian bisa menghela napas lega. Lantas perempuan itu meletakan kembali ponselnya ke atas meja nakas dan dia membawa langkah kakinya mendekat ke arah koper miliknya yang belum dibongkar.

Velove mengeluarkan setelan baju yang akan dia pakai ke kantor hari ini, perempuan itu juga sekalian mengeluarkan alat pemompa ASI-nya dari dalam sana. Setelahnya dia meletakan alat itu di atas ranjang, lalu membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam kamar mandi.

Tidak butuh waktu yang lama untuk perempuan itu menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, pagi ini Velove memilih untuk keramas. Dengan rambut yang tergulung oleh handuk kecil, perempuan itu keluar dari dalam kamar mandi dan duduk di tepi ranjang.

Matanya masih mendapati sosok Dimas yang tertidur di atas sana, dengan gerakan perlahan perempuan itu mengambil alat pompa ASl-nya yang tadi dia letakan di sana. Velove memilih untuk memompa ASl-nya terlebih dulu sebelum memoles wajahnya dengan make up, hal itu juga dia lakukan mumpung Dimas belum bangun dari tidurnya.

Jujur saja, Velove malu jika harus memompa ASl-nya dan diperhatikan oleh atasannya itu. Perempuan itu mulai membuka satu persatu kancing kemejanya, dia hanya membuka tiga kancing paling atas saja.

Lalu setelah itu Velove mengeluarkan kedua bongkahan kembarnya dari dalaman yang dia pakai, sebelum memompanya, perempuan itu memijat-mijat pelan kedua bongkahan kembarnya.

Setelah dia membaca artikel di internet, katanya memijat bongkahan kembarnya sebelum memompa ASl bisa lebih mempercepat ASl-nya keluar, maka dari itu Velove mulai memperaktekannya. Tapi, saat ditengah kegiatannya yang sedang memijat bongkahan kembarnya, Velove merasakan adanya pergerakan di atas ranjang.

Perempuan itu lantas menoleh ke belakang, di mana Dimas sedang beranjak duduk di sana seraya menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

Awalnya Velove ingin menutupi bongkahan kembarnya yang terbuka, tapi perempuan itu urungkan. Lagipula untuk apa dia tutupi? Toh Dimas sudah pernah melihat bahkan merasakannya.

“Kamu udah bangun dari tadi?” Tanya Dimas dengan suara serak khas bangun tidur.

“Lumayan, udah selesai mandi juga.” Jawab Velove seraya kembali melanjutkan aktivitasnya memijat bongkahan dadanya.

Dimas yang penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh sang sekretaris lantas mendekatinya, lelaki itu mengernyitkan keningnya ketika Velove memijat sendiri bongkahan kembar di dadanya.

“Kamu belum puas sama pijatan saya semalem?” Tanya lelaki itu.

Mendengar pertanyaan dari Dimas membuat Velove sedikit kebingungan, tapi kemudian dia langsung menyadari kemana arah pembicaraan lelaki itu saat dia melihat mata Dimas yang sedang menatap dadanya.

“Nggak—eum maksudnya bukan gitu, ini biar pas mompa ASl-nya lebih lancar.” Jelas Velove dengan pipinya yang mulai memerah karena malu.

Dimas yang mendengarnya hanya menganggukan kepalanya paham, setelahnya lelaki itu menjulurkan tangannya untuk menyentuh bongkahan kembar milik Velove yang membuat perempuan itu sedikit terperanjat.

“Biar saya yang pijat.” Ucap Dimas dengan santai seraya memijat dengan perlahan bongkahan kembar sang sekretaris tanpa menunggu izin dari perempuan itu terlebih dulu.

Dan Velove hanya bisa membiarkan Dimas melakukan hal itu. Sampai lima menit kemudian, Velove menahan sebelah tangan Dimas agar menghentikan kegiatannya. “Berhenti dulu Pak, yang sebelah kanan mau saya pompa dulu.”

Lantas Dimas pun menghentikan tangan kirinya yang tadi dia gunakan untuk memijat bongkahan sebelah kanan Velove (kalo kalian bingung, ini posisinya mereka hadap-hadapan ya).

Tangan perempuan itu kemudian mulai memposisikan bentuk corong yang ada pada alat pemompa ASl itu agar ujung bongkahannya pas di tengah-tengah corong itu. Setelah dirasa posisinya sudah pas, Velove mulai menghidupkan alat itu.

“Pak Dimas kalo mau lanjut bisa pijit yang pinggir-pinggirnya.”

Kucing mana yang akan menolak saat diberi ikan? Tentu saja lelaki itu akan menerimanya dengan sepenuh hati. Dengan telaten Dimas memberi pijatan-pijatan di area bongkahan kembar sang sekretaris sambil memperhatikan tetes demi tetes cairan putih yang mulai keluar dan memenuhi gelas penampung yang ada di alat itu.

“Nanti pindahin ke gelas biasa ya.”

Velove sontak mengalihkan pandangannya ke arah lelaki itu dengan raut wajah yang kebingungan. “Buat apa?” Tanyanya.

“Buat saya minum.”

Perempuan itu kira perkataan Dimas kemarin hanya main-main, tapi ternyata lelaki itu serius mengatakannya. “Ta—tapi di kulkas Pak Dimas masih ada yang dari minimarket.”

“Yang itu biar kamu yang minum, saya mau minum yang ini.”

Sepertinya keingin Dimas tidak bisa lagi dia bantah, maka dari itu Velove hanya bisa menurutinya saja daripada suasana hati lelaki itu menjadi buruk pagi ini.”

“Pak Dimas mending mandi sekarang aja, takut kesiangan. Ini bisa saya lanjut sendiri.”

Mendengar perintah dari sang sekretaris, lelaki itu lantas melepaskan tangannya dari bongkahan kembar perempuan itu. Dimas kemudian beranjak berdiri dan membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam kamar mandi sesuai dengan perintah Velove.

Kini Velove tinggal sendirian di atas kasur, sibuk memompa ASl-nya. Setelah dirasa ujung bongkahan sebelah kanannya tidak lagi mengeluarkan ASl, perempuan itu memindahkan alatnya pada puncak dadanya yang sebelah kiri untuk memompanya.

Sebelum Dimas keluar dari dalam kamar mandi, Velove sudah selesai dengan kegiatan memompa ASl-nya. Perempuan itu kemudian kembali mengancingkan kemejanya, lalu keluar dari dalam kamar itu dengan tangan yang membawa alat pemompa ASl yang dia pakai tadi.

Sesuai dengan perkataan Dimas yang menyuruhnya untuk memindahkan ASl-nya ke dalam gelas biasa, maka Velove melakukan hal itu. Setelahnya perempuan itu menyiapkan sarapan pagi untuk keduanya.

Pagi ini Velove hanya menyiapkan roti panggang sebagai menu sarapan mereka, dia tidak memiliki banyak waktu untuk memasak menu sarapan yang berat, lagipula Dimas tidak mungkin akan protes dengan sarapan yang dia siapkan.

Saking tidak ada waktunya, perempuan itu bahkan belum memoles wajahnya dengan apapun, Velove berencana untuk berdandan di dalam mobil saja saat nanti dia dan Dimas berangkat ke kantor.

***

Sesampainya di kantor, mereka berdua kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tapi tadi pagi saat di mobil, Dimas sudah menitip pesan agar Velove ke ruangannya saat jam makan siang dan makan siang bersamanya di sana.

“Vel, mau ke ruangan Pak Dimas gak nanti? Aku mau nitip bawain berkas dong sekalian kalo kamu mau ke sana.” Ucap Naomi yang ada di sebelahnya.

“Emang kenapa nggak kamu aja yang anterin?” Tanya Velove tanpa mengalihkan padangannya sedikitpun dari layar laptop.

“Perut aku keram, lagi dateng bulan. Ini berkasnya cuma tinggal dikasih aja kok, nggak harus digimana-gimanain lagi.” Jawab teman kerjanya itu.

“Ya udah nanti sekalian aku bawa ke ruangan Pak Dimas, taro aja berkasnya di situ.” Ucap Velove seraya menunjuk bagian mejanya yang masih kosong agar meletakan berkas tersebut di sana.

Naomi yang mendengar hal itu lantas berdiri dengan hati-hati dari tempat duduknya dan menyimpan berkas tadi di atas meja Velove. “Makasih ya, nanti siang makan bareng sama aku aja, aku bawa bekel dari rumah.” Ucap perempuan itu.

“Kamu makan sendiri aja atau nanti ajak Mas Gino sama Mas Dewa. Aku soalnya udah disuruh nemenin Pak Dimas makan siang.”

“Sering banget ngajak makan bareng, jangan-jangan Pak Dimas ada maksud terselubung tuh sama kamu.” Tuduh Naomi dengan raut wajah yang penuh rasa curiga.

Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Naomi memang ada benarnya juga karena Velove yakin Dimas tidak hanya sekedar mengajaknya makan siang, tapi lelaki itu pasti menginginkan hal lebih dari dirinya.

“Jangan berburuk sangka gitu deh, Nao. Kali aja Pak Dimas moodnya lagi baik, lagipula ada untungnya juga aku makan sama dia, uang makan aku aman jadinya.” Kilah Velove yang disertai sebuah kekehan kecil di akhir kalimat.

“Bener juga sih, mana makanannya pasti enak-enak. Walaupun tertekan dikit—eh banyak deh, tapi tetep ada perbaikan gizi.” Naomi ikut tertawa begitu selesai mengatakan kalimatnya.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Naomi, selama dirinya makan bersama Dimas, lelaki itu selalu makan dengan menu berbeda setiap harinya dan juga lelaki itu jarang membeli makanan cepat saji, Dimas sepertinya memiliki selera makan yang bagus dan juga sehat.

Kini jarum jam sudah menunjukan waktu jam makan siang, setelah mematikan laptop miliknya, Velove segera beranjak dari tempat duduk dan hendak berjalan ke arah ruangan sang atasan sebelum suara Naomi kembali mengintrupsinya.

“Vel!” Mendengar panggilan dari Naomi membuat langkahnya tertahan. “Ini berkas aku nggak kamu bawa.” Lanjutnya seraya mengangkat berkas yang tadi ada di atas meja Velove.

“Oh iya, lupa.” Dengan cengiran tidak bersalah Velove mengambil berkas itu.

“Lagian kayak gak sabaran banget mau ketemu Pak Dimas, sampe kelupaan segala.” Ledek teman kerja Velove itu.

“Apaan sih kamu!” Sambil mendengus kesal Velove membawa langkah kakinya untuk menuju ruang kerja sang atasan.

Seperti biasa, perempuan itu akan mengetuk pintu tinggi di depannya terlebih dulu sebelum masuk ke dalam sana. Setelah diizinkan untuk masuk, Velove langsung masuk ke dalam dan dirinya langsung mendapati Dimas yang masih duduk di kursi kerjanya.

Ada yang membuat Velove salah fokus, yaitu berbagai macam makanan yang tersaji di meja yang ada di dekat sofa. Kapan atasannya itu membelinya? Dan siapa yang membawanya sampai ke sini? Karena biasanya Velove lah yang melakukan itu.

“Pak Dimas, itu makanan dapet beli siapa?” Ucap Velove seraya berjalan mendekat ke meja lelaki itu.

“Saya.” Balas lelaki itu dengan singkat.

“Bukan, eum maksudnya siapa yang beliin—eh maksudnya…”

“Tadi saya suruh Pak Tono yang beli.”

Barulah setelah itu Velove mengangguk paham. Pak Tono itu supir kantor, tapi terkadang memang Dimas menyuruh lelaki paruh baya itu untuk membelikan sesuatu untuknya jika Velove sedang tidak bisa.

“Itu apa?” Tanya Dimas seraya melirik berkas yang ada di tangan sang sekretaris.

“Oh, ini berkas dari Naomi, katanya Bapak butuh.” Ujar Velove yang kemudian meletakan berkas itu di meja Dimas.

“Kenapa nggak dia aja yang anterin ke sini?”

“Dia lagi nggak enak badan, jadi sekalian aja berkasnya saya yang bawa ke sini.”

Lantas Dimas mengangguk paham. “Kamu duduk di sofa aja, saya masih ada kerjaan sedikit lagi.”

Velove hanya patuh menurutinya, perempuan itu lantas membawa langkah kakinya ke arah sofa yang berada di tengah ruangan. Velove menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa yang empuk, memilih untuk memejamkan matanya sebentar seraya menunggu Dimas yang sedang menyelesaikan pekerjaannya.

Tapi, belum lama matanya terpejam dia langsung terperanjat karena teringat sesuatu yang ingin dia katakan pada sang atasan, Velove melirik ke arah Dimas yang masih fokus di meja kerjanya.

“Pak Dimas.”

Mendengar panggilan dari Velove yang ada di sofa, lelaki itu lantas mengalihkan sebentar pandangannya pada sang sekretaris. “Ada apa?”

“Nanti sore Pak Dimas pulang duluan aja ya, saya nanti ke apartemen Bapak naik ojek online aja.”

“Emang kamu mau kemana dulu?”

“Eum saya nggak kemana-mana sih.”

“Terus kenapa nggak sekalian aja sama saya ke apartemennya?” Kini Dimas sudah beranjak dari tempat duduknya dan membawa langkah kakinya menuju sofa dimana sang sekretaris berada.

“Itu—eum… itu saya takut karyawan lain curiga kalo saya terlalu sering pulang sama Bapak.”

“Emangnya kenapa kalo mereka curiga?” Tanya lelaki itu yang saat ini sudah duduk di sebelah Velove.

“Saya nggak mau karyawan lain tau soal atau curiga soal kita Pak, saya nggak mau kerjaan saya nantinya keganggu.”

Lelaki itu memicingkan matanya menatap Velove yang berada di sampingnya, lantas kemudian Dimas mengangguk paham. “Kamu tetep pulang ke apartemen bareng saya.”

“Tapi Pak—“

“Nanti kamu nyusul ke basemen, saya tunggu di sana.”

Belum sempat Velove melanjutkan kalimatnya, tapi lelaki itu sudah terlebih dulu menyelanya. Dimas kemudian mulai memakan makan siangnya yang ada di atas meja, yang tadi dibelikan oleh Pak Tono. Sedangkan Velove, saat ini perempuan itu masih terdiam di tempatnya.

“Kenapa? Kamu nggak mau makan?”

“Eh? Ma—makan kok Pak.” Perempuan itu langsung tersadar, lantas memakan makan siang miliknya yang sudah ada di sana.

Kegiatan makan siang itu dipenuhi keheningan yang menyelimuti kedua orang itu, memang begini keadaan normalnya. Velove sesekali melirik ke arah sang atasan yang sedang fokus dengan makanannya seakan tidak ingin diganggu.

Perempuan itu berdehem sebentar guna mengusir keheningan yang ada di sana, Velove ingin memulai obrolan tapi dia tidak tahu harus mengobrol soal apa saat ini. Tapi kemudian suara milik Dimas mulai terdengar di indera pendengarannya.

“Obat kamu dibawa?”

Velove lantas menganggukan kepalanya ketika mendengar pertanyaan itu. “Saya bawa kok, ada di tas saya.” Ya, tas miliknya dia simpan di meja kerja miliknya.

“Jangan lupa diminum.” Walaupun kalimat itu terdengar dingin, tapi entah kenapa Velove merasa perasaannya menghangat ketika ada yang memperhatikannya saat ini.

Selama ini Velove tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki manapun, hal itu terjadi karena dirinya terlalu gila berkerja sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan hal hal seperti itu.

Padahal Naomi sudah cukup sering mencomblanginya dengan karyawan dari divisi-divisi lain atau ada beberapa lelaki yang terang-terangan menunjukan rasa ketertarikan pada Velove, salah satunya adalah Dewa, teman satu divisinya. Hanya saja Velove belum tertarik untuk itu.

Velove terlalu takut jika dirinya nanti malah akan menyakiti pasangannya atau membuat pasangannya merasa kesepian ketika menjalin hubungan dengannya, karena memang masih banyak hal yang perlu dia kejar saat ini.

“Keadaan Ibu kamu gimana?” Tanya Dimas disela-sela kegiatan makannya.

“Saya belum tahu Pak, paling nanti saya tanya ke adik saya gimana kondisinya.”

“Kamu nggak ada niatan pulang kampung?”

Mendengar pertanyaan itu entah kenapa dia merasa sedih, sudah hampir setengah tahun dia tidak pulang ke kampung halamannya. Hal itu karena dia belum memiliki jatah cuti, pekerjaannya selalu banyak dan Velove selalu merasa tidak enak jika harus melimpahkan pekerjaannya pada orang lain.

“Saya belum dapet cuti, Pak.” Balasnya.

“Udah ngajuin cuti ke HRD?” Lelaki itu kembali bertanya.

“Kata Pak Candra nggak bisa ambik cuti deket-deket ini, paling nanti akhir bulan depan baru saya bisa cuti.” Jelas Velove agar Dimas tidak langsung menbicarakannya pada Pak Candra.

“Nanti biar saya yang bicara langsung sama Candra.” Tapi upaya Velove itu sepertinya tidak berhasil ketika Dimas malah mengucapkan hal demikian.

“Eh? Nggak usah, Pak. Nanti saya cutinya akhir bulan depan aja gapapa, lagipula di kantor emang lagi banyak kerjaan.” Velove berusaha untuk kembali melarang atasannya itu.

“Ya udah kalo itu mau kamu.”

Setelah itu keduanya kembali diselemuti dengan keheningan, sampai makanan mereka habispun tidak ada lagi yang membuka suara. Dimas mengendorkan ikatan dasi di lehernya, lalu lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada senderan sofa.

Sedangkan Velove saat ini sedang membereskan bekas mereka makan, membiarkan sang atasan yang sedang santai di atas sofa. Saat tangan Velove sibuk membereskannya, tiba-tiba Dimas menghentikan kegiatan perempuan itu.

“Kamu nanti suruh OB aja yang beresin.”

“Nggak apa-apa Pak, biar saya aja—“

“Dengerin apa kata saya.” Lelaki itu menyela dengan suara dinginnya membuat Velove mau tidak mau harus menghentikan kegiatannya.

“Buka kemaja kamu.” Titah Dimas pada sang sekretaris.

Velove seakan tahu dengan apa yang akan dilakukan Dimas setelah ini, dengan helaan napas pasrah, perempuan itu membuka satu persatu kancing kemejanya. Velove melepaskan kemejanya, lalu menyimpannya di tempat yang aman agar tidak kusut nantinya.

Sekarang bagian atas perempuan itu hanya tertutupi dengan sebuah dalaman. Tangan besar Dimas kemudian mulai meraba-raba di daerah sana, memberikan pijatan-pijatan lembut di sekitar bongkahan kembarnya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan bongkahan kembar Velove dari dalam sana, memilin ujung bongkahan perempuan itu hingga membuat Velove mendesis keenakan.

Sepertinya Velove mulai menikmati apa yang dilakukan oleh sang atasan terhadap dirinya. Tapi sebisa mungkin perempuan itu menahan suaranya dikarenakan saat ini mereka masih berada di area kantor, apalagi saat ini masih siang bolong, masih banyak karyawan yang berkeliaran di sana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!