Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 — Tantangan Baru
DAVIN hanya berduaan dengan Rayan di ruang santai keluarga. Keduanya asyik dengan laptop masing-masing. Namun fokus perhatian mereka pada dua hal yang berbeda. Davin terus sibuk menyelesaikan programnya untuk mengacaukan gelombang suara Umbral. Sementara Rayan asyik membalas komentar di akun medsos-nya.
Pada malam hari seperti sekarang, para cewek jarang muncul. Meskipun pada hari libur, mereka tetap malas datang ke rumah Rayan kecuali ada hal-hal yang urgen.
“Kayaknya kita udah ketemu lokasi challenge baru, Prof,” ujarnya sambil menyeringai puas. “Fans udah nentuin pilihan mereka. Hasil polling-nya udah nggak bisa dikejar lagi.”
“Sebentar.” Davin meraih ponselnya, lalu membuka saluran WA. Dia melihat pilihan fans tertumpuk di nomor tiga. “Wow. Mereka ingin kita ke pabrik gula angker itu.”
“Coba lihat chat mereka di grup WA. Di Tele juga. Berisik banget.”
“Ada apa sama pabrik gula itu?”
Rayan tertawa hambar. “Mana gue tahu? Kita sama-sama belum pernah ke sana, Prof. Ceritanya sih serem-serem. Katanya pabrik gula itu tutup setelah terjadi banyak kecelakaan. Roh-roh penasaran suka gentayangan di sana katanya. Warga sekitar nggak berani dekat-dekat sama tempat itu. Bahkan pada siang bolong pernah ada anak hilang di situ.”
“Dan nggak pernah balik lagi?”
“Syukurnya balik lagi. Tapi katanya baru ketemu dua hari kemudian. Ada cerita-cerita serem lain. Tapi menurut gue, lebih serem cerita di kolam renang kemarin. Lelaki tua itu beneran real.”
“Dan lo beneran halu.”
Mereka tertawa. Davin mengernyitkan alisnya ketika melihat ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Pesannya singkat: “Datanglah.”
“Bro…?” bisiknya tegang.
Rayan langsung melemparkan laptopnya ke kursi, lalu berpindah ke samping sahabatnya. Dia menarik napas panjang—berusaha meredam rasa gugup yang mulai merayap di dadanya. “Ini beneran creepy, Prof,” bisiknya dengan nada sedikit bergetar. “Dia kayak bisa baca pikiran lo.”
Mereka terdiam ketika muncul pesan lain—koordinat sebuah lokasi.
“Oh, really?” cetus Rayan antara kaget dan kuatir. Dia langsung menyambar ponselnya. Dia membuka peta lokasi tantangan baru yang digambar seadanya tapi nama-nama jalannya tertera jelas. “Kalau lokasinya sama, si Umbral ini beneran lebih canggih dari Freddy Krueger!”
Dan ternyata… lokasinya sama!
Davin dan Rayan saling bertukar pandang.
“Apa… dia fans kita, Prof?” bisik Rayan agak lirih. “Atau kita diawasin? Atau dia bisa baca pikiran kita?”
Davin belum sempat membuka mulut, ketika mereka dikejutkan oleh sosok Tari yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka. Tari sama sekali tak menimbulkan suara seperti langkah kucing—dan pakaiannya yang serbahitam membuat dia tampak seolah datang dari alam lain.
“God!” sembur Rayan marah dengan napas agar tersengal. “Apa lo nggak pernah ngetuk pintu, Ri? Lo beneran bikin gue jantungan!”
“Sori,” ucap Tari datar sambil menjatuhkan tubuh di kursi. “Pintu depan nggak dikunci. Aku tadi buru-buru ke sini.”
Rayan menghembuskan napas agak keras. “Oke. Ada yang baru meninggal dunia?”
Tari tak meladeni guyonan Rayan. Tatapan datarnya terus tertuju pada Davin. “Kalian jangan pergi ke sana.”
Davin dan Rayan kembali bertukar pandang.
Davin berusaha tetap tenang. “Ke sana ke mana maksud lo, Ri?”
Rayan menggelengkan kepalanya dengan gugup. “Ngapain lagi lo nanyain hal itu ke dia, Prof? Dia udah tahu.” Dia menoleh ke arah Tari. “Lo beneran bikin gue serem, Ri. Untung gue nggak pernah naksir lo.”
Tari menatap Rayan sekilas, dan tatapan datarnya cukup untuk membuyarkan seringai lebar yang nyaris terlihat di bibir Rayan.
“Umbral ingin kamu datang ke sana, Dev,” ujarnya pelan. “Aku nggak tahu dari mana datangnya suara-suara itu. Dari tadi aku terus mendengarnya. Makanya aku langsung buru-buru ke sini.”
Rayan menyandarkan tubuhnya di kursi. “Kayaknya udah telat untuk opsi lain. Lo udah lihat hasil polling fans, kan?”
“Ya, sudah. Tapi feeling-ku benar-benar nggak enak sama pabrik gula itu. Tapi kalian tetap akan pergi ke sana, kan?”
Rayan mendengus pelan. “Feeling kita nggak pernah enak di lokasi mana pun. Lokasi yang kita datangin emang penuh cerita horor. Penuh cerita berdarah. Gue juga nggak enak—serius. Tapi kita harus datang ke sana. Atau kita jadi pengangguran kalau fans tahu kita keder.”
“Aku oke-oke saja pergi ke sana. Tapi kita harus pakai perlindungan yang cukup.”
“Maksud lo—?”
“Aku mohon jangan membantah—demi kebaikan kamu sendiri.”
Rayan menarik napas panjang lagi. “Oke, oke. Gue nggak ada masalah. Gue nggak keberatan pakai rajah. Tapi gue nggak mau pakai jimat atau sejenisnya. Gue nggak mau berlindung sama benda-benda aneh yang bisa gue injak-injak.”
Davin tersenyum kecil pada Tari. “Lo tahu, gue nggak pernah ragu sama kemampuan indera keenam lo.”
“Aku cuma mau ngikutin cara papa kamu.”
“Hmm. Ngomong-ngomong, lo ada nemuin sesuatu dari simbol-simbol di buku catatan Papa?”
Tari mengangguk pelan. “Banyak.”
“You see, Prof? Tari is really cool. Jangan salah paham, Ri. Itu pujian gue buat lo. Sumpah.”
“Ya, kayaknya kamu serius.”
“Kok kayaknya? Gue emang serius. Tim kita nggak komplit tanpa lo.”
Ponsel Davin tiba-tiba berdering. Ternyata video call dari Sasha. Wajahnya menghangat ketika tatapan Rayan dan Tari tertuju pada dirinya. Dia terpaksa menjawab panggilan gadis itu. Tanpa sadar dia mengusap rambutnya seolah cara begitu bisa mengurangi rasa gugupnya.
“Hmm, aku tahu kamu pasti di markas,” ujar Sasha dengan nada lincah. “Kalian cuma berduaan?”
Tanpa menjawab, Davin mengarahkan lensa kamera ke wajah manis Tari. Tahu-tahu Sasha langsung mematikan video call-nya.
Tari merogoh ponselnya ketika ada pesan masuk. Persis seperti tebakannya, pesan dari Sasha. Sasha mengetik tegas: “Jangan ke mana2. Tunggu sampai aku datang.”
Tari membalas singkat: “Oke.”
“Apa mungkin dia datang ke sini cuma pake daster?” gumam Rayan setengah berharap.
Tari menggelengkan kepalanya dengan sebal. “Kamu pikir dia pengen beli mie instan di warung sebelah?”
“Yah, kali aja. Gue masih enak ngomongin tentang Sasha karena dia belum jadian sama Profesor. Paling nggak, saat ini dia masih kayak cewek nggak bertuan.”
“Nggak ada urusan begituan, Bro,” ralat Davin cepat. “Lo terus asyik sama asumsi konyol lo. Lo nggak tahu apa yang ada di pikiran dia, kan?”
“Lo perlu bukti? Tembak aja langsung. Habis perkara.”
“Kalau dia tolak?”
“Prof, lo bukan takut ditolak. Tapi lo takut ngomong soal hati di depan Sasha Gue berani taruhan, jangan harap lo berani nembak dia.”
Davin terus membalas tatapan sahabatnya. “Bro, gue berani kalau gue mau. Ngapain takut?”
“Halo, guys,” gumam Tari. “Aku masih ada di sini.”
Davin dan Rayan mendadak terdiam—seolah baru sadar kalau gadis itu bukan sekedar pohon hiasan.
“Aku nggak mau ngurusin hal ini,” gumam Tari. “Dan aku nggak peduli sama urusan cinta kalian. Tapi biar perdebatan konyol kalian nggak terus berlanjut, aku kasih tahu satu rahasia. Itu kalau kalian mau dengar.”
“Jangan,” tolak Rayan tegas. “Nanti nggak seru lagi. Biar Prof A tetap kayak orang bego.”
Davin mendelik jengkel. “Thanks, Bro. Atensi lo pada gue, benar-benar bikin gue terharu.”
Rayan tertawa gelak. “You’re welcome. Itulah gunanya gue hidup, Prof.”
Mereka diam ketika mendengar deru mobil Sasha berhenti di halaman. Tak lama terdengar ucapan salam gadis itu. Tanpa sadar Rayan menoleh ke arah Tari—seperti hendak mengatakan bahwa begitulah cara sopan ketika masuk ke rumah orang. Tapi tatapan tajam Tari membuat dia urung bersuara.
Sasha muncul di ruang santai keluarga dengan senyum ceria. Dia hanya mengenakan celana pendek denim dan sweater tebal. Wajahnya tampak segar dan rambutnya dikuncir rendah.
“Well, what did I miss?” tanyanya sambil ikut duduk di sofa.
Davin hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menunduk ke laptopnya. Dia merasa gugup gara-gara percakapannya dengan Rayan tadi—dan bukan mustahil sahabatnya tega mempermalukan dirinya di depan Sasha!
“Kami barusan ngomongin tentang hasil polling,” sahut Tari seperti berusaha mengurangi kegugupan Davin.
Sasha mengangguk pelan. “Ya, aku juga udah lihat hasilnya. Kayaknya semua orang milihin pabrik gula.”
“Ada yang lebih serem,” celetuk Rayan berlagak serius. “Ceritain ke Sasha, Prof.”
Davin mengangkat wajahnya. “Lo kan bisa ngomong sendiri, Bro. Lo malah lebih jago cerita.”
Sasha menatap mereka satu per satu. Dia merasa seperti ada kecanggungan samar di antara mereka. Bukan cuma karena kehadirannya. Tapi dia merasa ada sesuatu yang lain—dan itu mungkin terkait dengan dirinya.
“Prof D mau ngomong sama lo,” ujar Rayan ringan. “Ups, gue salah ngomong. Maksud gue, dia mau cerita sama lo.”
Sasha menatap Tari dengan lekat. “Kamu tahu sesuatu, Ri? Kenapa tingkah mereka berdua aneh banget?”
“Nggak.”
“Kamu bohong. Kamu sering sekongkol sama mereka.”
“Di tim kita,” ujar Tari tenang, “nggak ada rahasia yang lo nggak tahu. Semua kayak kartu terbuka. Jadi aku nggak perlu bohong.”
Sejenak hening.
Davin berdehem pelan. Mendingan dia angkat suara ketimbang percakapan mereka digiring Rayan ke zona yang berbahaya. Dia membuka ponselnya untuk memperlihatkan pesan aneh yang diterimanya. Tapi dia tertegun.
“Bro,” ujarnya tegang, “pesan tadi hilang.”
Rayan langsung meloncat bangun. Dia menyambar ponsel sahabatnya. Dia menggulir pesan-pesan terakhir yang masuk ke WA Davin. Tak ada jejak dari nomor asing.
“Apa… kita barusan halu?”
Davin terdiam. Dia tak punya gagasan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi pada ponsel dan dirinya.
“Sebelum Tari datang tadi, ada pesan masuk ke WA Prof D,” jelas Rayan cepat. “Isinya singkat: “Datanglah.” Lalu masuk pesan kedua. Koordinat lokasi. Pas Prof D cek di Maps, ternyata lokasinya sama dengan peta pabrik gula. Tapi sekarang… pesannya lenyap.”
“Ya Tuhan,” bisik Sasha tegang. “Baru lima menit aku di sini, kalian sudah bikin bulu kudukku berdiri.”
Hening.
Tiba-tiba, layar ponsel Davin bergetar sendiri. Semua refleks menoleh.
Tapi tidak ada pesan—tidak ada panggilan. Hanya layar kosong—hitam.