Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Sore itu, Anjani tampak anggun dengan balutan busana formal dan jilbab krem yang rapi. Ia bersiap menuju agenda pertemuan dengan Bu Menteri.
"Mau ke mana, Bu?" tanya Firman, pengurus kontrakan sekaligus orang yang sering Anjani andalkan.
"Ada pertemuan dengan Bu Menteri, bahas program pertanian," jawab Anjani sambil membetulkan sisi jilbabnya.
Firman menelan ludah. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Sendiri, Bu?"
"Iya, dijemput ajudan Bu Menteri," jawab Anjani santai.
"Kenapa nggak sama Pak Jamal aja, Bu?" Tanya Firman mengerutkan dahi
"Lho, kenapa? Emangnya kenapa kalau sama ajudan?" Anjani menatapnya, heran.
"Perasaan saya nggak enak, Bu. Mending sama Pak Jamal aja. Dia kan digaji buat jagain Ibu."
"Firman, kamu kenapa sih tiba-tiba jadi bawel begini?" Anjani menatap intens firman tidak biasanya firman seperti ini, apa mungkin karena di tinggal nikah jadi otak firman aga bermasalah.
"Maaf, Bu. Tapi beneran, saya merasa nggak tenang. Malam pula. Pak Jamal itu lebih bisa diandalkan, Bu..."
"Firman, aku dikawal ajudan resmi negara, latar belakang mereka rata-rata tentara. Aman, ya?"Anjani tersenyum tipis, menahan kesal.
"Tapi tetap aja, Bu... Saya nggak sreg."Firman masih tak menyerah.
"Firman!" suara Anjani mulai meninggi. "Kalau kamu nggak ada urusan penting, mending kerjain laporan keuangan daripada ngatur-ngatur saya."
.......
Sementara itu, di salah satu hotel mewah milik Viona, suasana tampak tenang dari luar—namun di balik dinding-dinding marmer dan lampu kristal yang berkilau, rencana licik sedang disusun dengan matang. Viona telah mengondisikan semua staf. Satu per satu kepala departemen dipanggil dan diberi peringatan keras.
“Satu kata saja keluar dari mulut kalian, hidup kalian habis,” ancam Viona dingin kepada para staf. Mereka hanya mengangguk takut, tahu betul reputasi wanita itu—tajam dan tanpa ampun.
Di ruang VIP, Karisma duduk sambil menyeruput teh hangat yang disuguhkan dengan porselen mahal. Ia tampak gelisah.
“Viona, sebenarnya kenapa kamu meminta aku memanggil Anjani? Bukankah kamu bilang ini hanya silaturahmi biasa?” tanya Karisma curiga.
Viona tersenyum kecil, lalu duduk di samping ibunya sambil menyentuh tangan Karisma dengan lembut.
“Aku hanya ingin mendengar langsung dari Anjani soal formula pertanian barunya. Siapa tahu aku tertarik untuk mengembangkan bisnis ke sektor itu. Lagipula... kalau misi ini sukses, aku akan kasih Hermes limited edition buat Ibu,” jawab Viona dengan nada manja, mencoba mengalihkan fokus ibunya.
Karisma masih menyipitkan mata, tak sepenuhnya percaya, tapi sajian lobster butter garlic dan teh premium perlahan mengalihkan perhatiannya.
Sementara Karisma menikmati jamuan, Viona keluar dari ruangan dan menuju kamar lain tempat Tiara menunggu. Tiara, perempuan berwajah dingin dan riasan tegas, adalah eksekutor utama rencana kotor itu.
“Aku sudah siapkan pria bejat itu. Dia akan mengatur semua sesuai skenario. Tinggal tunggu Anjani masuk perangkap,” ucap Tiara tanpa emosi, seolah merusak hidup orang lain adalah rutinitas biasa.
“Kamera bagaimana? Sudah dipastikan aman?” tanya Viona waspada.
“Santai saja. Orang-orangku semua profesional. Kamera tersembunyi, tidak ada suara, hanya visual. Tidak akan jejak yang bisa menjerat kita.”
Viona mengangguk. Wajahnya tampak serius.
“Pastikan tidak ada kesalahan. Kalau sampai rencana ini gagal, aku bisa kehilangan banyak hal—termasuk reputasiku di depan investor.”
Tiara mendekat, menatap mata Viona dengan penuh keyakinan.
“Tenang saja. Anjani itu pintar, iya. Tapi dia terlalu polos. Dia datang tanpa pengawal, tanpa kekuatan. Kita punya segalanya—uang, pengaruh, dan strategi.”
“Bagus. Setelah malam ini, Anjani tak akan punya ruang untuk bicara. Formula itu akan jadi milik kita, dan dia… hanya akan jadi wanita tercela di mata publik.”Viona tersenyum puas.
....
Pukul delapan malam, kontrakan sederhana Anjani kedatangan sebuah mobil Mercedes hitam mengilap. Dua orang ajudan bertubuh tegap keluar lebih dulu, disusul satu mobil pengawal yang berhenti tak jauh di belakang.
Anjani yang mengintip dari balik gorden, menghela napas lega.
“Ternyata Firman terlalu berlebihan... mereka terlihat profesional, dan aku hafal betul nomor punggung mobil pengawal itu. Kalau ada yang aneh, aku bisa lapor.”
Tok-tok-tok.
“Bu Anjani... Bu Karisma sudah menunggu,” ucap salah satu ajudan, suaranya datar namun sopan.
“Siap, Pak,” jawab Anjani sambil menarik napas dalam.
Ia melangkah keluar. Malam terasa sedikit menekan, namun Anjani berusaha tetap tenang. Ada tiga ajudan—dua pria dan satu wanita—yang menyambutnya. Melihat kehadiran ajudan perempuan, Anjani merasa sedikit lebih aman.
“Setidaknya ada perempuan di antara mereka. Kalau ini jebakan, terlalu rapih dan terang-terangan.”
Ia duduk di kursi belakang, bersebelahan dengan ajudan perempuan yang tampak muda dan sangat menghormatinya. Tak banyak percakapan terjadi, hanya sesekali basa-basi seputar lalu lintas dan cuaca.
Sesampainya di hotel, Anjani sempat melirik sekeliling. Hotelnya megah—mewah di setiap sudut. Tapi entah kenapa, ada hawa ganjil yang menyusup perlahan.
Private room tempat ia dijemput tampak eksklusif. Di sana, Bu Karisma berdiri menyambutnya dengan senyum ramah.
“Anjani, akhirnya datang juga. Silakan duduk,” ucapnya hangat.
Anjani tersenyum, meski ada rasa ganjil mengendap di hatinya.
“Kenapa cuma beliau sendiri? Bukankah sebelumnya disebut akan ada tamu lain? Teman-teman sesama pelaku bisnis katanya...”
...
Obrolan antara Anjani dan Bu Karisma berlangsung hangat. Mereka duduk berhadapan di ruangan ber-AC dengan pencahayaan hangat, ditemani teh melati dan aneka kue mahal yang belum disentuh Anjani.
“Jadi, saya tuh lagi suka banget sama bonsai jenis Serut, Mbak Anjani,...Katanya sih jenis ini bisa hidup puluhan tahun. Keren ya? ucap Bu Karisma sambil tersenyum. Tangannya mengambil sepotong kue, lalu meletakkannya lagi
“Iya, Bu. Bonsai Serut memang termasuk jenis lokal yang punya daya tahan kuat. Banyak petani di daerah yang sekarang mulai budidaya juga.”jawab Anjani mengangguk sopan.
“Oh ya?”Wah, Mbak Anjani ini memang pintar ya. Saya suka deh kalau ngobrol soal tanaman.” ucap karisma sambil terseyum formal
Anjani tersenyum lagi. Tapi dalam hati, ia melirik jam tangannya sekilas. Sudah lewat tiga puluh menit sejak ia tiba. Padahal dalam undangan resmi, pertemuan ini dijadwalkan untuk membahas program peningkatan pertanian di wilayah selatan.
“Kapan masuk ke inti pembicaraan? Apa ini cuma basa-basi? Tapi... kenapa suasananya terlalu santai?”
“Ada bonsai favorit, Mbak? Mungkin saya bisa pesan juga. Kan katanya Mbak Anjani punya jaringan langsung dari petani?”
“Iya Bu, saya biasa ambil dari petani binaan. Tapi saya pikir kita akan bicara soal program bantuan pupuk dan pelatihan lahan kering...” ucap Anjani hati-hati.
“Oh, iya iya. Itu juga penting sih... nanti kita obrolin ya,” jawab Karisma cepat, lalu kembali ke topik dekorasi taman rumahnya.
Anjani menarik napas pelan. Ia tetap tersenyum, berusaha menjaga etika.
“Sebagai istri pejabat, harusnya beliau paham masalah petani lebih dari sekadar bonsai. Tapi ya sudahlah. Aku di sini sebagai tamu...” ucap Anjani dalam hati
Tiba-tiba ponsel Karisma berdering. Ia melihat layarnya, lalu ekspresinya berubah tegang.
"Astaga, Anjani! Maaf sekali, aku baru ingat malam ini ada janji penting dengan anakku," katanya terburu-buru sambil berdiri.
Ia meraih tangan Anjani, menggenggamnya singkat. "Maaf ya, aku harus pergi dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Karisma bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Anjani sendirian.
Anjani sempat terdiam beberapa detik, lalu berdiri dan meraih ponselnya. Ia hendak menelpon Pak Jamal, tapi belum sempat menekan tombol, tiga pria berbadan kekar bersafari hitam menghampirinya.
"Mohon maaf, Ibu Anjani,Kami diperintahkan Bu Menteri untuk mengantar Anda pulang."
ucap salah satu dari mereka, suaranya datar.
Anjani menatap mereka satu per satu. Wajah mereka asing. Bukan ajudan yang menjemputnya tadi, dan tak ada satu pun dari mereka yang membawa tanda pengenal resmi.
"Baik," jawab Anjani pelan, meski hatinya mulai tidak tenang.
Ia mengikuti mereka keluar. Mobil yang terparkir di depan bukan Mercedes seperti sebelumnya, melainkan SUV hitam tanpa logo resmi. Tak ada iring-iringan pengawal.
Tapi.. kayanya bakalan lucu kalau si Firman yg dan bucin duluan nantinya 😂😂👍