Siapa sangka, menabrak mobil mewah bisa berujung pada pernikahan?
Zuzu, gadis lugu dengan serangkaian kartu identitas lengkap, terpaksa masuk ke dalam sandiwara gila Sean, cassanova yang ingin lolos dari desakan orangtuanya. Awalnya, itu hanya drama. Tapi dengan tingkah lucu Zuzu yang polos dan penuh semangat, orangtua Sean justru jatuh hati dan memutuskan untuk menikahkan mereka malam itu juga.
Apakah pernikahan itu hanya permainan? Atau, sebuah takdir yang telah ditulis untuk mereka?
Mampukan Zuzu beradaptasi dengan kehidupan Sean yang dikelilingi banyak wanita?
Yuk, ikuti kisah mereka dengan hal-hal random yang dilakukan Zuzu!
Happy Reading ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelramstrong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Presentasi Zuzu
Zuzu menarik nafas dalam-dalam sejenak saat tiba di depan pintu yang tertutup. Tangan yang terkepal kuat dengan ragu terangkat, dan mengetuk pintu ruangan suaminya. Setelah mendapat sahutan dari dalam, dia membuka pintu dan masuk sambil mengulas senyuman tipis, namun penuh kegugupan.
Melihat ekspresi wajah mertua dan suaminya yang serius, membuat jantung berdegup kencang, keringat dingin membasahi punggungnya. David telah menyelamatkan dia dari semua orang, tapi siapa yang akan menyelamatkan dia dari papa mertuanya itu?
Zuzu menelan salivanya dengan kasar, lalu berjalan dengan ragu menghampiri pria paruh baya yang duduk di kursi CEO. Dia melirik ke arah Sean sekilas, lalu menundukkan kepala.
"Pa, aku minta maaf. Aku sudah sangat mempermalukan kalian."
David mengulas senyuman tipis. Kedatangan yang tiba-tiba itu atas desakan dari istrinya, karena mengkhawatirkan Zuzu.
"Nggak masalah, Zu. Kamu sudah berusaha. Papa melihat sendiri perjuangan kamu mempelajari materi presentasi itu. Kamu hanya butuh seorang guru untuk menyempurnakan presentasi tadi," sahut David, sambil melirik santai ke arah putranya.
"Zuzu, kamu sudah tahu 'kan seberapa sulitnya menjadi seorang sekretaris? Jadi, berhenti merengek seperti anak kecil. Nggak mudah melakukan tugas itu," timpal Sean, dengan ekspresi datar, namun sorot matanya menunjukkan kepuasan.
Meskipun kasihan pada Zuzu, namun sebagian hatinya merasa lega. Sebentar lagi dia akan bebas dari bayang-bayang istrinya yang lugu, dan bebas berkencan dengan wanita manapun.
Zuzu menaikan pandangan. Wajahnya nampak sendu, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Maksudnya bagaimana? Apa aku akan dipecat? Aku baru saja kerja satu hari, Sean." Suara Zuzu bergetar lirih, dia melirik suami dan mertuanya bergantian.
"Ya, tentu. Kamu nggak bisa..." Ucapan Sean menggantung di udara, ekspresinya tampak keheranan saat melihat sang ayah bangkit dari kursi.
David menggelengkan kepala, lalu mendekat ke arah Zuzu. "Kalau kamu masih ingin bekerja di sini, nggak masalah. Nggak akan ada yang memecat kamu." David membimbing tubuh menantunya duduk di kursi, di samping Sean yang memandang dengan ekspresi bingung pada ayahnya.
"Tapi, kamu harus bekerja sesuai keahlian kamu, Zu!" Nada suara David lembut, namun tegas.
"Jadi, apa aku akan jadi tukang bersih-bersih di perusahaan ini?" Mata Zuzu membelalak lebar saat memandang wajah mertuanya.
Ia kemudian menggeleng, air mata yang sejak tadi ditahan tumpah. Wanita itu mengigit bibir bawah, untuk meredam suara isak tangisnya.
"Aku nggak mau kalau disuruh jadi bagian kebersihan! Aku nggak mau! Sejak sekolah, kenapa aku selalu saja diberi tugas untuk bersih-bersih? Padahal aku masih bisa masak. Aku sekolah jurusan tata boga," tutur Zuzu, lalu mengusap cairan hidung yang ikut turun dengan punggung tangan.
"Kalau begitu, mending kamu jadi ibu rumah tangga saja, Zu. Atau, aku akan carikan restoran. Kamu bisa bekerja sebagai chef di sana," usul Sean, berusaha mengambil kesempatan untuk menjatuhkan Zuzu dari perusahaannya.
Zuzu menoleh, menunjukkan wajahnya yang sembab. "Aku nggak mau, Sean. Memangnya nggak ada pekerjaan lain yang bisa aku lakukan di perusahaan kamu ini, selain jadi tukang bersih-bersih?" tanya Zuzu di sela isak tangisnya.
"Memang nggak ada! Sudah, jangan memaksa. Nggak mungkin juga kamu aku tempatkan dibagian keuangan. Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut dalam satu hari," kata Sean, sarkas. Dia berharap perkataannya yang tajam, membuat Zuzu menyerah. Namun, ternyata tak semudah itu menyingkirkan Zuzu dari hidupnya.
Kali ini, David kembali membuka suara, "Papa ada ide," kata pria itu sambil tersenyum lebar. Dia kembali duduk di kursi milik putranya, da menatap Zuzu dengan ekspresi sumringah.
"Apa, Pa? Aku akan berusaha menjadi pegawai yang baik." Zuzu siap menyambut usulan ayah mertuanya dengan antusias.
Sementara Sean, detak jantung pria itu meningkat. Dia merasa rencana sang ayah akan kembali merugikannya.
"Kamu bisa menjadi sekretaris pribadi Sean!" tegas David, sambil menaik-turunkan alis.
Mata Zuzu berbinar cerah, lalu menoleh ke arah Sean sambil tersenyum lebar.
"Pa, aku gak setuju dia jadi sekretaris pribadiku?" bisik Sean, dia membawa ayahnya menjauh dari Zuzu, menuju sudut ruangan. Sesekali, ia melirik wanita itu yang melihat ke arahnya dengan ekspresi penasaran.
"Kenapa, Sean?" tanya David, datar. Kedua tangan berada di dalam saku celana, tatapannya tertuju pada wajah polos Zuzu.
"Dia hanya akan menyulitkan aku, Pa. Ayolah, sudah cukup kerjaan kantor yang menumpuk. Jangan tambah bebanku dengan mengurusi Zuzu," bujuk Sean, ekspresi wajahnya memohon, merasa putus asa.
David mengalihkan pandangan ke arah putranya. Tatapan pria itu memicing, penuh selidik. "Menyulitkan kamu, karena nggak bisa bermain dengan wanita-wanita itu lagi?" Sebelah alis David terangkat, tanda bertanya.
Senyumnya tipis, lebih terlihat seperti ejekan, saat melanjutkan, "Justru itu alasan kenapa Papa ingin Zuzu jadi sekretaris pribadi kamu. Jadi, kamu nggak akan membutuhkan wanita lain. Saat kamu ingin menyalurkan hasrat kamu itu, kamu bisa pakai saja istrimu."
"Pa..." Sean mengiba, sambil memasang wajah frustasi.
David menghembuskan napas panjang, cukup lelah menghadapi putranya yang tak kunjung mau berubah. "Berhenti, Sean! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kamu sudah berkeluarga sekarang. Apa kamu tega menyakiti istrimu?"
"Lihat dia!" David menunjuk ke arah Zuzu dengan mengangkat alis. "Dia bahkan rela mempermalukan dirinya sendiri agar bisa tetap di sampingmu. Dia ingin menjaga rumah tangga kalian, dari kemunculan orang ketiga."
"Apa kamu nggak bisa melihat itu?!"
Sean memalingkan wajah, nafasnya tercekat. Tidak tahu harus mengatakan apalagi untuk membujuk ayahnya. Pria itu... jelas sudah mengetahui alasan sesungguhnya dibalik penolakan dia terhadap Zuzu.
David berjalan mendekati Zuzu. Sorot mata pria itu teduh. "Papa akan pulang. Kamu bisa pulang nanti bersama Sean," ujar David sambil mengusap pundak menantunya.
Zuzu mengangguk, lalu memiringkan kepala. Dia melihat Sean masih berdiri di dekat pintu. Ekspresi wanita itu cemas juga kecewa saat melihat wajah suaminya yang tampak kesal.
"Ada apa dengan Sean? Apa dia gak setuju aku jadi sekretaris pribadinya?" gumam Zuzu, dan masih bisa didengar oleh David.
David tersenyum tipis, dia menoleh sesaat ke arah putranya, dan kembali memandang wajah Zuzu sambil berkata, "Dia cuma nggak terbiasa punya sekretaris pribadi. Kamu nggak perlu khawatir, lakukan saja tugasmu sebagai seorang istri."
Mata Zuzu mengerjap, ekspresinya penuh tanya saat menatap wajah David.
"Tugas sekretaris pribadi dan tugas seorang istri itu nggak ada bedanya. Kamu mengerti?" bisik David sambil menaik-turunkan alis dengan kerling mata penuh arti.
David menepuk pundak Zuzu lalu berbalik dan melangkah menuju pintu keluar. Sebelum membuka pintu, dia menoleh ke belakang pada Zuzu lalu beralih pada putranya.
"Jangan main-main, Sean. Sekarang kamu sudah nggak punya alasan untuk bermain dengan wanita lain. Kamu sudah punya istri!" ucap David santai, namun penuh peringatan. Dia berdehem keras sambil membetulkan jas yang dikenakannya, lalu keluar dari ruangan.
Sean menatap pintu yang sudah kembali tertutup dengan tatapan tajam. Dia kemudian membalikkan tubuh, menghadap ke arah Zuzu. Tangan terkepal di samping tubuh, rahangnya mengeras. Dia menatap istrinya dengan sorot mata yang menyala. Pria itu mendekat dengan langkah berat, dada kembang kempis.
"Apa yang mereka katakan? Kenapa Sean terlihat sangat marah?" gumam Zuzu sambil meremas ujung bajunya.
Ia hanya bisa menelan ludah saat melihat sorot mata suaminya seperti bara api yang siap membakar apa saja. Tubuh bergetar, keringat dingin mulai bermunculan di dahi. Padahal dia berdiri di bawah pendingin ruangan.
"Sean? A-apa kamu alergi? Ke-kenapa wajah kamu merah?" Zuzu berusaha mencairkan suasana, di tengah ketakutan dan kebingungan yang mendera.
Sean tiba-tiba menggebrak meja dengan kuat, membuat barang-barang di atasnya bergetar hebat. Bahkan cangkir kopi di sudut meja hampir terjatuh.
Bersambung...