"Papa, mama jadi hantu," ujar anakku seraya memandang sesosok bayangan putih tepat di depan kami. Hal ini terjadi setelah pesawat yang kami tumpangi jatuh akibat kecelakaan udara yang parah dan tak bisa di atasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 3112, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Aku membuka mata.
Tak tahu dimana. Lokasi ini demikian asing. Jauh dari mana-mana. Yang ada hanya tumbuhan. Dan agak jauh sedikit ada air yang berlimpah. Semacam danau atau telaga. Pohon di depanku juga menyeramkan. Besar-besar. Walau di selingi dengan semaki belukar serta pohon kecil sejenis perdu yang membuat demikian rapat keadaannya.
Pohon besar itu kebanyakan di hutan, setahu kita semua. Karena untuk ukuran yang besar-besar tadi membutuhkan waktu untuk tumbuh. Serta tak banyak gangguan. Di hutan semua serba memenuhi syarat. Sebab selain lokasinya yang luas, terpencil, juga kebutuhan akan makanan yang di butuhkan pepohonan itu sungguh merupakan suatu hal yang terpenuhi kalau berada di lokasi yang di sebut hutan. Bayangkan jika berada di Tengah pemukiman, maka gangguan dan godaan membuat pohon itu susah tumbuh dengan sempurna, karena banyak manusia, juga keramaian yang terjadi membuatnya semakin berat untuk berkembang. Karena tanah yang menjadi sumber utama tersedianya makanan, sudah terpadat kan, baik oleh beban berat dari berbagai keperluan perkotaan, maupun tanah yang sudah bercampur dengan materi asing yang berhubungan dengan Pembangunan pemukiman. Maka ketersediaan makan dari tanah yang subur semakin menurun. Sehingga, kalaupun pohon itu tumbuh, akan tidak menjadi sesubur jika berada di hutan. Sebab di hutan dengan sendirinya, dedaunan maupun ranting lapuk akan menjadi makanan mahluk kecil yang kemudian menjadikannya sebagai makanan dalam tanah yang akan di serap akar menuju batang dan akhirnya menjadi makanan dari pohon tersebut hingga menjadi tumbuh subur, berkembang hingga sebesar yang Nampak di depan ku itu.
“Aduh dimana ini?“
Sendirian. Tak ada siapapun. Kemana para penumpang itu. Yang kuingat begitu terlempar, langsung gelap. Ada luka memang di tubuh ini. Yang entah seberapa banyak. Yang jelas jidatku juga perih. Darah sudah mengental. Bukan merah lagi, namun kehitaman.
Ini mungkin yang langsung membuatku tak ingat. Karena benturan yang keras. Entah dengan pohon atau sekedar batu, dan bisa juga hanya tanah yang keras. Sebab selunak apapun, dengan kecepatan pesawat yang tak terkendali membuat segalanya menjadi buruk. Dan keras yang sanggup membuat tempurung manusia biasa akan cedera.
“Kenapa aku sendirian?“
Masih tak bisa mengerti, namun banyak pertanyaan yang akhirnya keluar dari dalam batin. Sebab tak ada juga yang bisa di ajak bicara. Kesendirian ini, diantara hutan yang luas, dan banyak misteri di sekeliling, membuat semakin pusing saja kepala ini.
Belum lagi tubuh yang mulai melemah, nampaknya sudah cukup lama juga aku berada di situ dalam kondisi tak sadar. Sehingga makanan dalam perut juga mulai habis. Nampak perut yang kempes, serta tenaga yang jelas-jelas menurun, tapi mau bagaimana lagi, taka da yang menggantikannya untuk memulihkan tenaga. Yang ada hanya dedaunan hutan, yang tentu saja tak layak makan, apalagi untuk mengganti tenaga. Selain daun itu tak jelas, bisa saja yang semestinya layak konsumsi, namun tak adanya benda serta alat yang bisa di gunakan untuk menjadikannya masakan yang lezat, membuat jelas-jelas hanya sebuah makanan yang tak Nampak, dan kelihatan hanya tumbuhan hutan yang keras saja. Padahal kalau di masak, menjadi lunak, dedaunan begitu masih bisa masuk ke perut. Walaupun mungkin bukan yang sempurna, tapi untuk mengganjal perut rasanya sedikit layak. Dibandingkan hanya membawa batu untuk menahan buang air besar.
“Mana kedua anakku, istriku?“
Celingukan. Tak ada sesi apa.
