Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Julian hanya senyum-senyum aneh. Dan hal itu cukup memberi jawaban bagi Artha jika apa yang temannya katakan benar adanya.
"Sejak kapan?" tanya Artha kemudian.
Semua mata tertuju pada Julian, termasuk Mahesa dan Dirga. Kini, lelaki itu mulai menarik napas panjang, seakan-akan sedang berusaha mencari kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang teramat besar dari sebuah rahasia kehidupannya.
"Sejak tragedi itu," kata Julian singkat.
"Tragedi itu?" Artha mengerutkan kening. Sejak kapan Julian bertemu Naira? Setahu Artha, Julian belum berkenalan dengan Naira. Mereka hanya tak sengaja berjumpa saat tawuran antara anak-anak Mahattan dengan Geng Deon.
"Pas celana lo melorot itu?" celetuk Artha dengan suara keras.
Sontak saja Julian membungkam mulut Artha. Keterlaluan sekali. Bagaimana Artha membahas hal memalukan itu dengan gamblang. Padahal di sini bukan hanya ada cowok saja, tetapi ada juga anggota cewek yang ikut bergabung di basecamp.
"Gila lo! Bikin malu," kata Julian menegur Artha.
"Sorry, gue nggak nyangka. Bagaimana lo bisa jatuh cinta padahal lo sendiri nggak pernah berinteraksi sama dia?"
Julian tersenyum. Matanya tampak berbinar.
"Menurut lo, gue cocok nggak sama Naira?" Bukanya menjawab pertanyaan Artha, Julian malah membayangkan wajah Naira.
"Bentar-bentar. Ini sepertinya tidak masuk akal." Artha kembali mempermasalahkan perasaan Julian yang dinilai tak logis.
"Mengapa lo tiba-tiba suka sama dia?"
"Cinta itu nggak butuh alasan, Ta! Kalau lo merasa ada seseorang yang getarin hati lo, lo akan mengenyampingkan alasan lo untuk bisa cinta sama dia." Dasar bucin. Semua kata-katanya bikin mual yang mendengar.
"Kalian bahkan belum pernah bicara." Artha menggeleng pelan.
"Awalnya gue malu banget saat kejadian itu. Bayangin, baru Naira doang selain orang tua gue, sama dokter yang udah nyunat gue waktu kecil yang pernah lihat senajata gue. Itu artinya Tuhan ngasih petunjuk kalau Naira adalah jodoh yang sengaja Tuhan pertemukan pada kejadian tak terduga itu."
"Anjay!" Mahesa tergelak setelah mendengar alasan Julian yang konyol.
"Bisa-bisanya lo ngehubung-hubungin seseuatu yang tidak masuk akal. Eh, masuk akal maksud gue."
Dirga pun turut terkekeh. Dia menyomot cemilan yang baru datang diantar oleh penjual yang tadi sempat dipesan sebagai teman ngobrol.
“Ya, emang nggak masuk akal. Tapi, semua tidak sesederhana itu. Kami pernah bertemu untuk kedua kalinya."
Artha tak berekspresi. Dia hanya menatap penuh ke arah Julian, menyimak akan apa yang lelaki itu ceritakan. Entah mengapa, saat hari-harinya bersama Naira, dia tak merasakan apapun, mengangggap Naira hanya cewek yang membuatnya berkewajiban untuk dijaga. Masalah hubungan pernikahan yang pernah mereka lakukan, sama sekali tak pernah tebersit di kepala Artha mengenai ke depannya. Bahkan, dia dengan jelas mengatakan pada Naira bahwa hubungan mereka ini hanyalah masalah status. Tidak boleh baper dan menganggap lebih.
Namun, ketika Julian dengan mudahnya jatuh cinta pada Naira, mengapa perasaan Artha mendadak sebal?
"Kalian pernah bertemu lagi?" tanya Artha kemudian.
"Heem." Julian mengangguk yakin. Senyum ceria tampak mengembang begitu saja.
"Lo pernah denger dongeng seorang pangeran berkuda putih menyelamatkan seorang putri? Gue ngerasa saat itu momen yang pas. Sepertinya Tuhan ngasih petunjuk agar gue bisa nyelametin Naira."
"Apa? Lo nyelametin Naira?" Jelas saja Artha tak percaya. Menyelamatkan apa? Menyelamatkan yang bagaimana? Perasaan Naira selalu ke mana-mana bersamanya. Kapan Julian bertemu Naira?
"Nggak usah ngegas kali, Ka? Lo kayaknya penasaran banget dengan kisah cinta gue. Bagi nomor ponsel Naira, dong!" Julian malah nyari kesempatan.
"Males banget. Minta sendiri sana!"
"Ah, lo nggak bisa mempermudah jalan cinta temen." Julian merengut seketika. Sekali lagi tangannya menyomot cemilan yang ada di meja, mengunyahnya dengan gaya serampangan.
"Jadi, kapan lo ketemu Naira?" Artha masih belum melepaskan Julian terkait pertemuan misterius lelaki itu dengan Naira. Sangat aneh jika tiba-tiba Julian mengatakan pernah menyelamatkan Naira, padahal akhir-akhir ini Naira selalu bersamanya.
Sebenarnya Julian masih kesal, tetapi perasaannya meledak-ledak saat mengingat kejadian tak terduga itu mengalahkan segalanya. Dia merasa seperti superhero yang telah berhasil menyelamatkan seorang putri dari bullyan orang orang jahat. Keren banget, kan?
"Saat pulang sekolah. Itu hari pertama lo masuk di sekolah itu. Gue kebetulan lewat sana. Ya, hanya sekadar lewat. Entah lo udah pulang atau enggak, gue nggak tahu. Saat di jalan, gue nggak sengaja nemuin motor Naira dan beberapa motor lain terparkir pada bangunan tua."
"Bangunan tua?"
"Ya! Bangunan tua." Suara Julian dibuat seseram mungkin. Seakan apa yang akan dia ceritakan adalah momen paling menyeramkan yang sempat dialami Naira. Dan dia berhasil menyelamatkan gadis itu dengan gagah berani.
"Gue menelusuri jalan setapak yang dipenuhi tumbuhan dan rumput-rumput liar. Perlahan, dan sangat perlahan, gue denger suara cewek membentak. Juga beberapa cowok yang tertawa. Gue udah ngerasa nggak beres, sih. Untung insting gue kuat. Lo tahu kan gue suka banget dengan cerita detektif?"
Artha mendengkus. Tampaknya cerita yang Julian tunjukkan nggak akan kelar-kelar. Padahal dia hanya membutuhkan jawaban terkait bagaimana bisa dia menyelamatkan Naira. Dan apa yang terjadi sehingga Naira butuh diselamatkan.
"Langsung ke intinya, dong! Lo kayak DEBM yang suka ditonton emak gue," ungkap Mahesa yang turut tak sabar dengan cara Julian bercerita.
Konten yang sudah keluar jalur, yang mana harusnya menyuguhkan menu-menu pilihan demi membuat tubuh langsing dan sehat dengan cara enak, tetapi berubah menjadi video masak yang dengan konsep
"kalau ada yang ribet, mengapa nnyari yang mudah". Namun, tetap saja video itu selalu ditonton oleh emak-emak walaupun berakhir dengan marah-marah karena paket internetnya cepat habis setelah menonton video sampai selesai.
"Ya, sabar, dong! Gue kan sedang mendalami cerita." Julian menekuk kedua tangan, dan menggunakan siku sebagai tumpuan di atas meja.
"Tangan Naira dicekal oleh dua orang cowok. Dan satu cewek ngerusak seragamnya. Gue lihat gunting di tangan cewek itu. Tapi saat gue dateng, mereka buru-buru pergi. Pasti mereka ketakutan lihat gue."
"Apa? Seragam Naira dirusak?" Artha bertanya memastikan.
"Apa yang lo maksud rok abu-abunya?"
"Lo kok tahu?" Julian bertanya dengan memasang wajah curiga.
"Jadi benar? Seragam yang dirusak itu rok abu-abu?" Mengabaikan pertanyaan Julian, Artha masih memastikan apa yang membuatnya tertarik.
"Ya, gue miris ngelihatnya. Sayangnya Naira enggak mau gue anterin pulang."
Artha terdiam, cerita Julian tak lagi menarik baginya. Artha ingat benar bagaimana kondisi rok abu-abu Naira yang dijahit tangan oleh gadis itu. Dia mengira rok yang rusak itu karena kecerobohan Naira sendiri, tetapi ternyata tidak. Naira lagi-lagi menjadi korban pembullyan.
Saat pikiran Artha masih melayang tentang Naira, dering telepon mengalihkan perhatiannya. Ada nama Mama terlihat pada layar yang tengah menyala itu. Lekas diangkat olehnya agar tidak membiarkan sang mama menunggu.
"Ya, Ma?"
"Artha, apa kamu bersama Naira sekarang?" terdengar suara Siena agak cemas di seberang sana. Artha mengerutkan kening, lantas menggelengkan kepala pelan.
"Memang kenapa, Ma?" Tidak ingin segera menjawab, Artha lebih memilih bertanya terlebih dulu.
"Ada masalah di rumah sakit. Mama perlu bicara dengan Naira. Tapi sudah tiga kali menghubungi Naira, dia tidak mengangkat panggilan Mama. Apa sekarang Naira bersamamu?"
Saat itu juga mata Artha membulat sempurna. Bukan hanya panggilan dan pesan Artha saja yang diabaikan, tetapi panggilan mamanya juga. Ini sangat mustahil. Naira bukan gadis yang tidak mengerti sopan-santun. Dan lagi, perempuan itu sangat menghormati mama Artha. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan Naira?
"Sebenarnya ... Naira tidak bersama Artha sejak pulang sekolah," jawab Artha ragu.
"Apa?"
"Tapi jangan cemas. Artha akan nyari Naira sampai ketemu. Mama tenang, ya! Naira akan baikbaik saja."
Percakapan Artha dan mamanya didengar oleh Julian, Dirga, dan Mahesa. Mereka semua tampak penasaran terkait hubungan Artha dan Naira. Mengapa mama Artha mencari Naira dan begitu mencemaskan gadis itu?
Setelah penggilan berakhir dengan serangkaian pesan dari Siena yang tentunya sangat panjang kali lebar, mengatakan bahwa seharusnya Artha menjaga Naira, mengingat gadis itu tak memiliki keluarga lain selain dirinya. Juga beberapa ultimatum andalan mamanya. Jika terjadi sesuatu pada Naira, maka Artha harus bertanggung jawab. Artha mengesah kasar. Sebenarnya Siena itu mamanya siapa, sih? Mengapa sepertinya lebih sayang pada Naira daripada dirinya yang merupakan anak kandung?
"Kenapa, Ta? Lo kok nyebut-nyebut nama Naira?" Julian orang pertama yang menanyai. Dia merasa curiga dengan percakapan yang didengar antara Artha dan mamanya.
"Lo nguping?" tanya Artha, enggan menjawab pertanyaan Julian.
"Nggak nguping pun bisa denger. Lo nerima telepon di depan kami. Ototmatis kami diem biar lo nggak keganggu dengan obrolan kami."
Artha tiba-tiba berdiri setelah Julian menyelesaikan perkataannya.
"Gue cabut dulu!"
"Ke mana? Ya, elah. Kita baru ngumpul, lo main cabut aja!" Mahesa menimpali.
"Apa ini ada hubungannya dengan Naira?" tanya Julian lagi. Dia tampak antusias jika berhubungan dengan Naira.
Artha melihat satu per satu wajah teman-temannya, lalu menggeleng pelan.
"Gue ada urusan. Kalian kepo banget. sih!"
"Tapi, Ta, gue denger semua apa yang lo katakan di telepon tadi. Ada apa dengan Naira. Kalau ada apa-apa dengan dia, gue wajib tahu, dong!"
Artha menaikkan satu alisnya menanggapi pertanyaan Julian.
"Emang lo siapanya Naira? Cowoknya juga bukan?"
Julian hanya meringis mendengar jawaban Artha.
"Bukan cowoknya, mungkin calon suami. Gue kan belum PDKT sama dia."
"Jangan mimpi lo! Udah gue cabut dulu! Nyokap udah nungguin." Artha tak lagi mendengar permintaan Julian yang ingin mengetahui tentang masalah Naira. Lelaki itu tak mengerti, mengapa dia menjadi kesal jika ada cowok lain menanyakan perihal Naira kepadanya. walaupun itu sahabatnya sendiri.
Artha Mengenakan helm dengan cepat, Artha segera menyalakan mesin motornya. Kini tujuan awal adalah mencari Naira di rumah kontrakannya. Dia harus segera menemukan Naira dan menanyakan alasan gadis itu mengabaikan panggilannnya dan juga panggilan mamanya.
Perjalanan cukup singkat mengingat lalu lintas kebetulan tak terlalu padat. Memang sangat jarang terjadi. Mungkin ini adalah keberuntungan bagi Artha. Setidaknya dia tak terlalu lama menghabiskan waktu di jalan.
"Nai, buka pintunya!" Artha mengetuk pintu rumah Naira yang ternyata dalam posisi terkunci. Tidak biasanya Naira jam segini sudah menutup rapat rumahnya. Apalagi lampu depan rumah kontrakannya dimatikan.
"Nai, buka pintunya. Ini gue, Artha!" Ketukan dipercepat, lebih terlihat seperti menggedor. Namun, tetap saja tiada seseorang pun yang menjawabnya.
Rumah Naira memang dikelilingi oleh tembok tinggi menjulang. Rumah kontrakan sempit yang ada di gang kecil itu diapit oleh rumah besar nan mewah, sehingga tiada tetangga yang peduli apa yang terjadi pada rumah kecil tersebut.
"Nai!" Panggilan terkahir yang Artha lakukan tak kunjung mendapat respon. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengembuskannya. Barulah pikiran buruk terkait Naira terintas di kepala.
"Jangan-jangan!" Mulut Artha ternganga, lantas kepala menggeleng cepat dua kali. Memeriksa ponselnya, lelaki itu mengaktifkan sistem pelacak untuk mencari keberadaan Naira berdasarkan nomor telepon. Jika pa ayang dipikirkan olehnya benar, maka Naira memang sedang dalam bahaya.
Ponsel Naira ternyata masih aktif. Dan dia berhasik mendapatkan lokasinya. Sekali lagi Artha menggeleng tak percaya. Naira masih berada dikawasan sekolah.
"Sial!"
Saat Artha berbalik, ternyata ada keempat temannya sudah berdiri di belakangnya.
"Kalian?"
Mahesa, Dirga, Julian, dan teman si paling soleh, Nizan juga turut di sana.
"Gue mencemaskan Naira. Apa lo butuh bantuan?" Julian berkata lirih. Dia tak ingin membuat Artha marah karena tanpa sepengetahuan, lelaki itu dibuntuti sejak tadi.
Mata Artha menatap lurus ke depan. Napasnya terdengar berat, kemudian bibirnya berkata,
"Naira... hilang."
****
Kelima motor sport melaju gesit dijalanan. Mereka semua pergi menuju ke sekolah Artha. Mungkin memang terdengar aneh. Mana mungkin jam segini Naira masih berada di sana? Ini sangat bertentangan dengan logika. Apa yang gadis itu lakukan malam-malam di sekolah? Namun, mengabaikan semua itu, Artha lebih memercayai instingnya. Naira berada dalam bahaya.
"Ta, gerbangnya dikunci!" Mahesa memberi tahu setelah memeriksa pagar besi yang tertutup itu.
"Gue tahu." Dengan modal nekad, Artha memanjat gerbang sekolah yang memiliki ujung lancip itu. Tidak masalah baginya. Dia sudah terbiasa memanjat seperti ini di sekolah lama. Hanya sebuah gerbang, bukan pekara sulit.
"Lo mau masuk apa pulang?" kata Artha setelah berhasil mendarat di dalam gerbang tersebut.
Mahesa, Dirga, Julian, dan Nizan saling beradu pandang.
"Gue jadi kangen masa-masa bolos pelajaran," ucap Mahesa sembari tertawa.
"Jadi, tunggu apa lagi?" kata Nizan menimpali.
Keempat pria itu akhirnya ikut memanjat pagar sekolah, sama seperti apa yang baru saja Artha lakukan. Mereka berjalan cepat menuju tempat di mana lokasi ponsel Naira berada.
"Lo yakin Naira masih di sekolah? Ini gelap banget loh, Ta."
Artha tak menghiraukan perkataan teman-temannya. Dia hanya fokus melihat layar smartphone-nya. Dan dia menghentikan langkah ketika berada di depan ruang kelas. Ruang kelasnya masih dalam posisi terkunci.
"Nai, Naira! Lo ada di dalam enggak? Nai, buruan jawab! Gue Artha!" Tak ada jawaban dari dalam. Artha menghela napas panjang.
"Ta, gue nggak yakin Naira ada di sini." Mahesa kembali menyangsikan dugaan Artha. Melihat ruang kelas dalam kondisi gelap gulita, mana mungkin cewek seperti Naira berani sendirian di tempat seperti ini?
"Kita butuh kunci. Ian, lo biasa nyolong, kan?" ucap Artha tanpa perasaan. Seenaknya saja menuduh anak baik hati suka nyolong.
"Lo bisa nyari kalimat yang lebih kerenan dikit, nggak, sih?" Julian melayangkan protes.
Namun, tampaknya hal itu tak membuat Artha menarik kembali perkataannya.
"Ambil kunci di kantor TU. Gue yakin kuncinya ada di sana."
"Hah?" Julian melongo. Jadi benar dia sekarang ditugaskan untuk mencuri?
"Buruan! Gue takut Naira kenapa-kenapa?"
"Tapi ...." Julian hendak bicara, tetapi Nizan kemudian menyelanya.
“Lo kata cinta sama Naira. Mana buktinya? Disuruh gitu aja nyalinya mengerut."
Merasa tertantang, Julian kemudian mengangguk yakin.
"Okey, siapa takut?"
"Gue temenin. Kali aja lo takut sama hantu-hantuan," kata Mahesa kemudian.
"Lo doang?" Julian melirik ke arah Nizan. Dia si paling soleh. Paling enggak kalau ada hantu, Nizan
bisa dijadikan tameng karena hafal banyak doa, sehingga diletakkan pada garda terdepan.
"Iya, iya, gue ikut!" celetuk Nizan yang merasa mereka semua menunggu jawaban darinya.
"Ta, lo nggak papa di sini sendiri?" Dirga bertanya pada Artha yang terlihat mulai tak fokus. Sejujurnya di antara teman Artha yang lain, Dirga lah yang menaruh curiga antara hubungan Artha dan Naira yang dinilai tidak biasa.
"Lo cabut aja. Gue tunggu di sini." Dirga mengangguk. Dia turut membantu teman-temannya yang sedang berusaha mencuri kunci sekolah, meninggalkan Artha di tempat yang belum tentu ada Naira.